Takut, tertekan, lega: Pengalaman Nivell Rayda yang dinyatakan positif COVID-19 saat jumlah kasus melonjak di seluruh Indonesia
Bagaimana situasi lapangan di Jakarta seiring meningkatnya kasus COVID-19 secara tajam? Koresponden CNA Nivell Rayda menuliskan pengalamannya.

Tenaga kesehatan memindahkan seorang pasien perempuan dari tenda darurat yang didirikan untuk mengakomodir meningkatnya jumlah penderita COVID-19 di sebuah rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia, Senin, 28 Juni 2021. (AP Photo/Achmad Ibrahim)
JAKARTA: Seakan-akan jantung ini mencelat dari dalam dada kemudian jatuh terhempas ke lantai.
“Bu, Ibu hasilnya positif (COVID-19) ya,” kata seorang dokter berpelindung diri lengkap kepada istri saya yang terbaring di meja pemeriksaan. Istri saya terlalu lemah untuk menanggapi ataupun menunjukkan sebentuk emosi.
Demamnya tinggi selama dua hari terakhir. Sekujur tubuhnya begitu nyeri dan tenggorokannya sakit. Saking keringnya, kulit bibirnya pun mengelupas.
Pagi itu dia sebenarnya merasa mendingan, namun kondisinya memburuk seiring berjalannya hari. Saya curiga dia terkena demam berdarah atau tifus.
Kami telah mengikuti protokol kesehatan dengan ketat – begitu pikir kami – sehingga tidak ada rasa curiga akan kemungkinan telah tertular virus corona.
“Saya perlu dites juga?” tanya saya kepada dokter.
“Iya dong,” jawabnya.
Saat tersadar bahwa saya pun berpotensi mengidap COVID-19, saya mendadak tertegun. Hampir tak terasa apa-apa ketika dokter mengambil sampel dari belakang pangkal hidung saya.
Dengan cemas saya menyaksikan bagaimana bahan kimia dalam tabung uji cepat antigen bereaksi terhadap sampel yang baru saja diambil. Dalam beberapa menit, dua garis merah terpampang, membenarkan dugaan dokter. Saya pun positif COVID-19.
Pada surat resep, dokter menuliskan nama beberapa obat dan suplemen untuk kami. Sementara itu, pikiran saya berkecamuk.
“Inilah waktu terburuk untuk terkena COVID-19,” pikir saya. Di seantero Indonesia, jumlah kasus harian baru terus meningkat menyusul dugaan abainya masyarakat terhadap pembatasan mudik Idul Fitri dan laporan telah terdeteksinya varian Delta di Indonesia.
BACA:Â Sedih bayi dilahirkan buta tapi kini mereka sedar potensi yang ada pada si anak
Pada tanggal 24 Juni ketika kami dinyatakan positif, Indonesia mencatat 20.574 kasus yang terkonfirmasi dalam periode 24 jam, sekitar dua kali lipat tingkat infeksi harian pada minggu sebelumnya. Pekan ini, beban kasus harian telah melonjak di atas 50.000.
Jumlah kasus melambung sedemikian drastisnya sehingga di seluruh Jakarta, kota domisili saya, semua rumah sakit kepayahan menghadapi gelombang masuk pasien baru.

Tiga hari sebelum kami dinyatakan positif, dinas kesehatan Jakarta mengumumkan bahwa dari 9.000 tempat tidur isolasi COVID-19 di kota ini, sekitar 90 persen telah terisi. Lembaga yang sama menyarankan agar pasien dengan gejala ringan melakukan isolasi mandiri alih-alih ke rumah sakit.
Akibatnya, klinik-klinik kecil seperti yang kami datangi untuk tes dipenuhi pasien dengan gejala COVID-19.
Puluhan orang mengantri, dan terbaca dari kebingungan di wajah mereka ketika keluar dari bilik tes, mereka pun kiranya positif.

Meski istri saya demam tinggi, dokter menyatakan gejala-gejala kami tergolong ringan. Kami diminta untuk melakukan isolasi mandiri. Ia menambahkan, jika kami sampai kesulitan bernapas, barulah nanti kami dirujuk ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah, gejala-gejala itu mulai terasa. Kepala saya pening dan tubuh menghangat.
Saya juga sulit tidur, bukan karena efek virus pada tubuh, namun pada pikiran.
“Bagaimana kalau kondisi kami menurun?” pikir saya. “Apa saya bisa mencari pertolongan dan perawatan yang kami butuhkan?”
ORANG-ORANG DEKAT BERTUMBANGAN
Meski tidak merasa separah kondisi istri, saya demam dan sering batuk di hari-hari berikutnya.
Selepas empat hari, saya menyadari indra penciuman saya hilang. Saya kesulitan untuk membedakan mana makanan yang masih bisa dikonsumsi dan mana yang sudah basi.
Secara keseluruhan, saat itu saya tetaplah lebih bugar daripada pasangan saya, maka berbagai pekerjaan rumah saya ambil alih, meskipun nantinya dia menyindir bahwa hasilnya kurang memuaskan.
Tak lupa saya siapkan makanan dan air minum hangat untuk istri yang harus terus berbaring dan lebih banyak tertidur.
Alasan di balik lebih ringannya gejala-gejala saya mungkin terletak pada vaksinasi lengkap yang telah saya terima. Sebagai jurnalis, saya mendapat prioritas dalam program vaksinasi nasional. Saya disuntik Sinovac, merek vaksin terbesar yang digunakan dalam upaya inokulasi massal di Indonesia.
Indonesia baru memulai pemberian vaksin untuk kelompok non-prioritas beberapa pekan sebelum kami tertular COVID-19. Istri saya punya masalah alergi, dan dokter alerginya tidak memberi dia izin untuk menerima vaksin.

Nyaris tidak ada gejala lain yang saya rasakan di hari kelima selain hilangnya indra penciuman. Akan tetapi, istri saya tidak kunjung membaik meski kami telah mengunjungi dua klinik yang berbeda untuk konsultasi kedua dan ketiga.
Sementara itu, situasi pandemi secara keseluruhan kian buruk.
Setelah diagnosis kami waktu itu, beban kasus terus meningkat. Saya menyaksikan angka-angka bergulir dari 20.574 kasus harian pada 24 Juni menjadi 38.391 pada 8 Juli.
Dalam rentang dua minggu, lebih dari 300.000 orang terinfeksi, dan lebih dari 7.000 orang meninggal dunia.
BACA:Â Tanpa Haji dan Umrah, kehidupan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi tambah sulit
Di antara mereka yang dinyatakan positif COVID-19 adalah kawan-kawan dekat dan kerabat. Di lingkungan rumah, 12 orang tertular virus corona, termasuk satu orang yang mengalami sesak napas dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Saya mencoba untuk tetap berpikiran positif. Akan tetapi, setiap hari muncul berita tentang banyaknya rumah sakit yang kebanjiran pasien sehingga para petugas kesehatan harus merawat mereka di tenda-tenda yang didirikan di area parkir.
Raungan ambulan pun setiap jam terdengar melintas di sepanjang jalan utama yang jaraknya tak sampai satu kilometer dari rumah. Nama-nama warga sekitar yang meninggal diumumkan dari pengeras suara masjid terdekat saban malam.
Sementara itu, tempat-tempat pemakaman – bahkan yang baru saja dibuka – dikabarkan kehabisan lahan.

OVERKAPASITAS RUMAH SAKIT
Membuka media sosial, perhatian saya kerap tertuju pada akun-akun yang menulis perihal mereka yang telah tertular virus corona atau kehilangan orang-orang yang mereka cintai akibat COVID-19.
“Ibu mertua saya meninggal karena kami tidak bisa menemukan rumah sakit yang bersedia merawatnya,” kata seorang teman di laman Facebook-nya. “Kami sudah mendatangi 15 rumah sakit yang berbeda.”
Kawan lain mengisahkan bagaimana tingkat saturasi oksigen ibunya jauh di bawah normal. Wanita itu sulit bernapas dan harus dirawat selama empat hari di ruang gawat darurat karena unit perawatan intensif rumah sakit penuh. Perawatan medis yang ia butuhkan tidak kunjung datang, dan akhirnya ia pun menyerah pada penyakitnya.
Di media sosial saya juga berseliweran para pencari informasi tentang ketersediaan tempat tidur rumah sakit dan tangki-tangki oksigen.

Pada akhirnya, tiba giliran saya untuk mencari informasi tentang rumah sakit yang masih menerima pasien.
Di hari kedelapan, istri saya mengalami gejala lain – dia mual-mual parah. Tak ada yang berhasil ditelannya kecuali dua sendok oatmeal dan beberapa tetes madu. Dia juga menolak minum obat karena hanya akan membuatnya muntah.
Dia yakin dia takkan bisa sembuh apabila tidak dirawat di rumah sakit.
Malam itu, saya jelajahi internet untuk mencari tahu ketersediaan tempat tidur rumah sakit. Saya menelepon lima rumah sakit berbeda, namun tidak ada yang menjawab. Saya coba pula hubungi teman-teman dokter yang saya kenal untuk mengecek apakah ada tempat tidur kosong di rumah sakit tempat mereka bekerja.
“Bahkan nakes (tenaga kesehatan) saja kesulitan mencari tempat tidur untuk keluarga mereka,” seorang dokter yang juga teman memberi tahu.
BACA:Â Di tengah hiruk pikuk Jakarta, relawan pengendara motor membantu ambulans menembus kemacetan
Saya pun mencoba mencari dokter yang bersedia melakukan kunjungan rumah untuk pasien COVID-19 agar istri saya bisa mendapatkan obat dan nutrisinya melalui infus. Dokter-dokter kunjungan rumah begitu sibuknya, kemungkinan ada yang bisa datang adalah tiga hari kemudian.
Seorang kawan mendengar kabar adanya beberapa tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sekitar 20 kilometer dari rumah. Akan tetapi, kebutuhan tempat tidur di sana sangat tinggi; satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan datang langsung agar dokter jaga dapat menentukan apakah istri saya betul-betul butuh rawat inap.

Kami menjajal peruntungan keesokan paginya.
Setibanya di rumah sakit, terlihat antrean panjang pasien COVID-19 yang menunggu diperiksa. Istri saya berdiam di mobil sementara saya bergabung dengan antrean. Tapi dia tidak sendirian. Di parkiran itu, terdapat lebih banyak orang sakit yang menunggu di dalam mobil masing-masing.
Ada sekitar 20 orang yang mengantri sebelum saya. Seorang perawat memberi tahu bahwa saya sepertinya akan mengantri selama tiga hingga empat jam.
Di dalam mobil, istri saya mulai gelisah. Hari panas menyengat dan dia terus berkeringat. Namun menyalakan AC akan membuatnya menggigil. Satu jam berlalu, dan dia muntah. “Ayo kita pulang saja,” katanya.
Saya masih tidak paham apa yang terjadi. Tapi dia merasa mendingan malam itu, dan kondisinya perlahan makin baik.
LEBIH SEHAT MESKI TAK SESEHAT DULU
Saat menuliskan ini, bisa saya katakan bahwa hari-hari terburuk kami telah berlalu. Saya sudah kembali dites dengan hasil negatif. Istri saya, yang masih merasakan beberapa gejala sangat ringan, tampak kian pulih.
Kami merasa beruntung, tak satu pun dari kami memiliki kondisi medis bawaan. Gejala kami pun dianggap ringan dan tidak mengancam nyawa.
Kami juga beruntung hidup di zaman ketika makanan, obat-obatan dan bahan makanan bisa datang hanya dengan beberapa klik.
Istri dan saya senantiasa bersyukur dikaruniai teman-teman dan tetangga yang secara rutin mengirimkan makanan, suplemen serta obat-obatan herbal. Bahkan ada kawan-kawan yang sukarela membantu bilamana kami membutuhkan barang-barang yang tidak dapat dipesan secara online.
Kami mungkin sudah merasa lebih sehat, namun ada yang terasa berbeda pada tubuh ini. Saya cepat lelah. Napas terasa sedikit sesak, dan sulit rasanya mengucapkan kalimat-kalimat panjang atau menaklukkan nada-nada tinggi ketika saya bernyanyi sambil bermain gitar.
BACA:Â 'Baunya luar biasa' -Â Sukarelawan bertekad untuk membersihkan sungai Indonesia dari popok bekas
Hal-hal tadi mungkin akan hilang. Akan tetapi, saya harus bersiap untuk kemungkinan bahwa kami akan mengalami “sindrom panjang COVID”, yakni bertahannya beberapa gejala selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah hilangnya infeksi.
COVID-19 juga telah mengubah kami secara mental. Kami harus jauh lebih berhati-hati. Tak boleh lagi makan di luar. Jangan membukakan pintu tanpa mengenakan masker. Selalu pakai dua masker saat keluar rumah, dan bawa penyanitasi tangan serta semprotan desinfektan ke mana saja.
Tidak terbayang jika istri saya atau diri saya sendiri terinfeksi untuk kedua kalinya, sebab tak ada jaminan kami akan seberuntung kali pertama.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai Elliot, bayi yang terlahir buta di Singapura, dan lika-liku pengalaman ayah-ibunya membesarkan buah hati mereka.
Ikuti akun CNA di Facebook dan Twitter untuk membaca artikel-artikel terkini.