Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Maluku Utara salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia, tapi apakah masyarakatnya sejahtera?

Maluku Utara salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia, tapi apakah masyarakatnya sejahtera?
Truk-truk di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), kawasan industri terintegrasi untuk pengolahan logam berat di Maluku Utara, Indonesia. (Foto: CNA/Kiki Siregar)

MALUKU UTARA, Indonesia: Waktu sudah menunjukkan pukul 20:15 WIT, namun Imah Fatmalati masih harus lanjut bekerja.

Perempuan berumur 39 ini masih sibuk menjahit kemeja di rumah kecilnya yang terletak di distrik Weda, Pulau Halmahera. 

Imah baru dua bulan menjadi penjahit. Katanya kepada CNA: “Uangnya lumayan. Saya bisa dapat sekitar Rp 200 ribu per hari.”

Imah pindah ke Maluku Utara dari Gorontalo di Pulau Sulawesi, meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai staf administrasi di sebuah rumah sakit, demi mencari penghasilan yang lebih layak. 

“Pendapatan saya lebih banyak di sini. Sebagai staf kontrakan di rumah sakit gaji saya hanya Rp 800 ribu per bulan,” kata Imah. 

Imah Fatmalati berasal dari Provinsi Gorontalo di Pulau Sulawesi. Ia mencari nafkah di Halmahera sebagai penjahit. (Foto: CNA/Kiki Siregar)

Sejauh ini, pelanggan Imah kebanyakan adalah pekerja di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), kawasan industri di Halmahera Tengah. 

Dibuka tahun 2018, IWIP adalah kawasan industri terintegrasi untuk peleburan nikel (smelting) yang digunakan dalam baja dan komponen baterai kendaraan listrik. 

IWIP adalah bagian dari proyek nasional prioritas sejak Indonesia bertekad menjadi pemain global dalam industri kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Nikel adalah komponen utama dalam baterai EV. Saat ini, kira-kira 22 persen dari persediaan nikel di seluruh dunia terdapat di Indonesia. 

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sekitar 30 persen dari bijih nikel yang ditambang di Indonesia berasal dari Maluku Utara. 

Indonesia berencana suatu saat memproduksi EV secara lokal, namun saat ini pemerintah masih berfokus mengembangkan pusat peleburan nikel. 

Kebanyakan dari mereka berlokasi di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, IWIP di Maluku Utara, serta di Sulawesi Tenggara, daerah-daerah utama penghasil nikel di Indonesia. 

IWIP menurut keterangan pengelolanya adalah kawasan industri terintegrasi pertama untuk peleburan mineral dan produksi komponen baterai kendaraan listrik di Indonesia, dan yang terbesar kedua setelah IMIP. 

Perusahaan yang beroperasi di IWIP termasuk usaha patungan (joint venture) dengan perusahaan China seperti Huayou Group dan Tsingshan Group. Yang terakhir adalah produsen baja terbesar di dunia. 

Dengan hadirnya modal dari China, ekonomi di Maluku Utara berkembang pesat. 

Tingkat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini mencapai 6 persen pada 2019, dan melonjak menjadi 23 persen tahun lalu. 

Pekerja perusahaan tambang di distrik Weda, Maluku Utara. (Photo: CNA/Kiki Siregar)

Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara adalah yang tertinggi di dunia. Pendorongnya adalah hilirisasi industri nikel, di mana bahan mentah diproses secara lokal hingga menjadi produk siap pakai. 

Indonesia kaya akan sumber daya alam namun selama bertahun-tahun hanya menjadi eksporter bahan mentah dan importer produk siap pakai. Presiden Joko Widodo berniat memperbaiki keadaan ini dengan mengembangkan industri hilir agar mampu menciptakan produk bernilai lebih. 

“Ada industri smelter di sana yang akan tumbuh lebih besar lagi jika jumlah smelter diperbanyak. Semua proses industri nikel turunan bisa dilaksanakan di Maluku Utara,” kata Presiden Joko Widodo di sebuah acara November lalu. 

Pabrik-pabrik baru yang disebutkan Presiden Jokowi kebanyakan terletak di Weda, tempat tinggal baru Imah si penjahit di awal cerita ini. 

Namun menurut beberapa ahli, kesejahteraan ekonomi yang meningkat pesat di Maluku Utara masih belum dirasakan oleh masyarakat bawah. 

KAYA BUKAN BERARTI SEJAHTERA

Sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Maluku Utara diperintah oleh beberapa kesultanan termasuk Tidore dan Ternate. 

Weda terletak di daerah kesultanan Tidore, yang masih hidup hingga sekarang. Sultan Tidore tidak mempunyai kekuasaan politik namun menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah yang bekerja membentuk usulan undang-undang. 

Sultan Tidore Husain Alting Sjah mengatakan kepada CNA bahwa hanya sedikit dari 1,3 juta penduduk Maluku Utara telah mencicipi keuntungan dari pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut. 

“Sumber (kekayaan) ada di sini, tapi hasilnya tidak… yang kelihatan di sini hanya smelter dan pendatang. Kami menyambut investasi, tapi jauh lebih penting jika masyarakat (di sini) hidup makmur,” katanya. 

Pada 2022, sekitar 6,2 persen dari penduduk Maluku Utara tergolong miskin menurut badan statistik provinsi tersebut. Angka ini berkurang sedikit dari 6,9 persen pada tahun 2021. 

Tingkat kemiskinan di provinsi ini masih konstan di level sekitar 6 persen dalam beberapa tahun terakhir, walaupun investasi makin banyak mengalir. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh pembangunan infrastruktur, sehingga beberapa layanan publik, seperti sinyal internet, masih sangat minim. 

Reynald Manggis, pemilik warung bubble tea di dekat kawasan IWIP, mengatakan bahwa jaringan telekomunikasi di daerah ini masih sangat kurang. 

“Sinyalnya jelek di sini, apalagi kalau mau pakai internet.”

“Kalau sinyalnya bagus, kalau internetnya bagus… mungkin masyarakat di sini bisa lebih sejahtera,” katanya. Menurut Reynald, koneksi internet yang bagus akan melancarkan aktivitas bisnis, termasuk bagi pengusaha kecil. 

Reynald Manggis (kiri), pemilik warung bubble tea di dekat kawasan industri IWIP, Maluku Utara. (Foto: CNA/Kiki Siregar)

Selain masalah ketimpangan ekonomi, penduduk Maluku Utara juga harus menghadapi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh smelter. 

Menurut Sultan Husain, kehadiran industri hilir di Weda akan memperparah kerusakan lingkungan, seperti yang telah terjadi di beberapa daerah lain di provinsi ini. 

Menurut kesaksiannya, waktu perusahaan negara ANTAM melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Gebe, juga di Maluku Utara, kerusakan lingkungan di sana sangat nyata. 

“Alamnya hancur,” kata Sultan Husain. 

Waktu dihubungi oleh CNA, manajer utama unit bisnis pertambangan nikel ANTAM di Maluku Utara, Ery Budiman, mengatakan bahwa kegiatan perusahaan mereka menambang nikel di daerah tersebut berlangsung dari tahun 1997 hingga 2005. 

Sekarang ANTAM menambang nikel di tiga daerah berbeda di Maluku Utara dan mengirimkan hasilnya ke smelter di Weda, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. 

Menurut Ery, ANTAM telah berusaha mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan. 

“Lingkungan sangat penting bagi kami. Jangan sampai kegiatan pertambangan merusak lingkungan hidup di sini,” katanya. 

ANTAM menjalankan program untuk merevitalisasi area yang dirusak tambang. Mereka juga memonitor keadaan air di sekitar tambang dan menanam kembali hutan bakau, menurut Ery.

Ery Budiman, manajer utama unit bisnis pertambangan nikel ANTAM di Maluku Utara. (Foto: CNA/Kiki Siregar)

PENCABUTAN LARANGAN EKSPOR NIKEL DAPAT MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara disebabkan antara lain oleh usaha Presiden Jokowi mengembangkan kemampuan beberapa industri hilir — terutama di sektor pertambangan dan mineral. 

Indonesia juga menerapkan larangan ekspor bijih nikel sejak bulan Januari 2020 sebagai bentuk dukungan bagi industri hilir. Tujuannya agar proses hilirisasi bisa menghasilkan komoditas yang bernilai lebih waktu dijual. 

Larangan ekspor bijih nikel ini pernah diprotes oleh Uni Eropa, yang melancarkan tuntutan hukum di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). UE berargumen bahwa pembatasan ekspor Indonesia mengancam industri baja mereka. 

Putusan WTO memihak UE namun Indonesia mengajukan banding pada bulan Desember tahun lalu. 

Jika Indonesia kalah banding, maka pemerintah akan kehilangan investasi yang cukup besar, kata Bhima Yudhistira, ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta. 

Perusahaan asing yang telah berinvestasi di pusat smelter seperti IWIP dan IMIP bisa jadi akan menarik diri dan beralih mengimpor material mentah saja.

“Contohnya, China mungkin akan mengimpor bijih nikel mentah saja daripada harus membangun lebih banyak pabrik smelter di Indonesia,” kata Bhima. 

Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, lembaga riset yang berfokus pada ekonomi dan industri, mengamini pendapat Bhima.

“Hal ini akan mengganggu pertumbuhan proses smelter dan turunannya, serta merugikan daerah yang telah berinvestasi lebih banyak di tambang-tambang hilir di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara,” kata Faisal. 

Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara — yang digembar-gemborkan Presiden Jokowi sebagai yang tertinggi di dunia — kemungkinan tidak akan bisa bertahan lama. 

Kepala badan statistik Maluku Utara Aidil Adha mengatakan kepada CNA bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tahun lalu disebabkan oleh volume ekspor dan pertambangan ferro nikel yang meningkat. Ferro nikel adalah logam campuran yang mengandung 25 hingga 40 persen nikel dan sekitar 60 persen besi.

“Produk baru pasti akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi begitu produksi sudah stabil, pertumbuhan akan stagnan lagi,” kata Aidil. Saat itu terjadi, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di provinsinya akan berkisar antara 10 dan 15 persen. 

Aidil menunjukkan hal yang sama terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah, di mana industri hilir awalnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 20 persen. Sekarang pertumbuhan di daerah ini sudah stabil di tingkat 10 hingga 14 persen. 

Kekayaan yang dihasilkan industri di Maluku Utara belum mengalir sampai ke bawah. (Foto: CNA/Kiki Siregar)

Agar masyarakat di Maluku Utara dapat ikut merasakan keuntungan dari proses industrialisasi di provinsi mereka, Bhima dari CELIOS beranggapan seharusnya lebih banyak pekerja lokal yang diangkat memegang posisi-posisi perusahaan yang lebih tinggi. 

“Tetap boleh ada pekerja asing, namun fungsi mereka seharusnya dibatasi untuk transfer pengetahuan bagi pekerja lokal di Maluku Utara,” katanya. Sebagai catatan, pekerja asing yang berasal dari China kebanyakan memegang posisi manajer senior di kawasan industri seperti IWIP.

Bhima juga mengatakan bahwa institusi pendidikan sebaiknya merancang kurikulum mereka untuk menjawab kebutuhan industri. 

Sementara itu, Faisal dari CORE Indonesia berpendapat bahwa perusahaan dan komunitas lokal harus dilibatkan dalam pembangunan di Maluku Utara. 

“Seharusnya pemasok lokal dilibatkan dalam industri itu sendiri atau menjadi bagian dari infrastruktur pendukungnya, misalnya sebagai pemasok makanan (untuk pekerja di kawasan industri).”

“(Efeknya) industri makanan dan perikanan lokal juga akan mengalami lonjakan permintaan. Ini pengaruhnya besar (bagi penduduk lokal),” kata Faisal.

Kepala badan pertambangan Maluku Utara, Suriyanto Andili, menyetujui. Menurutnya, pertanian dan perikanan masih menjadi industri yang terbesar di provinsinya. 

“Kami berharap ada sinergi (di antara industri). Kehadiran perusahaan besar seharusnya juga memakmurkan petani dan nelayan… mereka bisa menjadi pelanggan baru hasil panen dan tangkapan,” katanya. 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.  

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai usaha pemerintah Indonesia mendorong pembelian motor listrik. 

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/ks(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement