Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Bukan kriminal biasa: Serangan bom Bali 2002 dentang peringatan bagi aparat keamanan Indonesia

Tanggal 12 Oktober menandai 20 tahun peristiwa Bom Bali 2002. Laporan CNA ini menilik upaya badan-badan keamanan Indonesia mengidentifikasi pihak-pihak bertanggung jawab dan dalam memperkuat mekanisme menghadapi ancaman teror.
 

Bukan kriminal biasa: Serangan bom Bali 2002 dentang peringatan bagi aparat keamanan Indonesia
Seorang relawan Palang Merah Indonesia berdiri di lokasi ledakan bom mobil di satu kawasan wisata di Kuta, tak jauh dari ibu kota Bali, Denpasar, 14 Oktober 2002. (Foto: AFP/Oka Budhi)

JAKARTA: Berminggu-minggu para penyidik dari kepolisian menyisiri tumpukan puing dan serpihan yang terserak di sepanjang Jalan Legian, Bali, demi mengumpulkan petunjuk untuk mengungkap pihak di balik serangan bom yang menewaskan 202 orang pada tahun 2002.

Di tengah perhatian media dan tekanan internasional, terutama dari 22 negara asal para korban, pihak berwenang Indonesia menyadari ada tugas berat yang harus dituntaskan dengan cepat.

Akan tetapi, ledakan bom tersebut merupakan serangan teroris besar pertama di Indonesia. Meski kepolisian lantas mengerahkan 300 penyelidik terbaiknya, sebagian besar sekadar pernah berurusan dengan penjahat biasa dan jaringan perdagangan narkoba.

“Kita baru punya UU terorisme tahun 2003. Kepolisian baru membentuk satuan antiteror tahun 2005. Itu pertama kalinya pemerintah menyadari bahwa kita butuh undang-undang untuk menangani kasus-kasus semacam itu, juga tim khusus untuk menangani kasus-kasus terorisme di Indonesia,” jelas Adhe Bhakti, peneliti senior di Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, kepada CNA.

Pengeboman 12 Oktober 2002 membunyikan dentang nyaring bagi pihak berwenang serta publik bahwa jaringan terorisme yang menyebut diri Jemaah Islamiyah (JI) telah menancapkan pengaruhnya di Nusantara yang berpenduduk mayoritas Muslim.

“Sebelumnya tidak ada yang tahu apa itu teroris.  Tidak ada yang paham apa yang memotivasi orang sampai bisa melakukan tindak kekerasan semacam itu,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ahmad Nurwakhid, kepada CNA.

Ketiadaan payung hukum untuk mengusut dan mengadili kasus-kasus terorisme mendorong pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu untuk buru-buru merumuskan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pemberantasan terorisme.

Perppu tersebut disahkan pada tanggal 18 Oktober 2002, hanya enam hari setelah pengeboman. Pada bulan Maret tahun berikutnya, parlemen Indonesia bersuara bulat mengadopsi peraturan tersebut sebagai undang-undang permanen.

Langkah itu menandai dimulainya perang melawan teror di Indonesia. Sepanjang dua dekade berikutnya, ribuan tersangka ditangkapi atau ditembak mati oleh pihak berwenang. Di saat bersamaan, berbagai upaya dilakukan untuk membendung ideologi radikal para teroris.

Akan tetapi, perang melawan teror di Indonesia membawa konsekuensi tersendiri.

Saat pihak berwenang mulai menyapu JI, serangan-serangan balasan bermunculan. Di antaranya adalah pengeboman hotel JW Marriott pada tahun 2003 yang memakan 12 korban jiwa; serangan terhadap kedutaan Australia pada tahun 2004 yang menelan sembilan nyawa; dan rangkaian bom Bali kedua pada tahun 2005 dengan 23 korban jiwa.

Penangkapan maupun terbunuhnya beberapa tokoh JI akhirnya melemahkan jaringan ini, memorak-porandakan kekuatannya, serta memaksa para anggotanya untuk bersembunyi.

Sebagian mantan militan JI lantas melanjutkan gerakan dan membentuk kelompok teror baru, seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Mujahidin Indonesia Timur. Masing-masing telah melancarkan serangan sendiri-sendiri.

Polisi Indonesia dan petugas penyelamat di lokasi ledakan bom di kawasan wisata Kuta, Bali, 13 Oktober 2002. (Foto: AFP/Cyril Terrien)

TEROBOSAN BESAR

Dalam buku terbitan 2017 berjudul “Misi Walet Hitam” tentang perburuan para tersangka serangan bom Bali 2002, pensiunan jenderal polisi Arif Wachyunadi menulis bahwa para penyidik membuat terobosan pada tanggal 2 November 2002.

Mereka menemukan sertifikat laik jalan yang hangus di bawah reruntuhan dan serpihan di dekat lokasi ledakan.

Dokumen tersebut berasal dari satu van Mitsubishi putih yang digunakan para teroris untuk melancarkan serangan bom mobil guna menghancurkan sebuah klub malam di Jalan Legian. Kendaraan itu dipenuhi ratusan kilogram bahan peledak.

Wachyunadi menulis bahwa kepolisian dapat memastikan identitas pemilik terakhir van tersebut, seorang anggota JI bernama Amrozi bin Nurhasyim.  Amrozi ditangkap tiga hari kemudian, 5 November 2002, di rumahnya di Lamongan, Jawa Timur.

Di rumah itu ditemukan bukti-bukti penting yang membantu polisi menumpas anggota-anggota JI lainnya.

Di antaranya terdapat kuitansi pembelian bahan kimia untuk membuat bom dan telepon genggam berisi banyak nama dan kontak rekanan Amrozi.

Pada tanggal 26 November 2002, polisi menangkap dalang penyerangan, Imam Samudra. Sementara itu, dua saudara kandung Amrozi – Ali Ghufron dan Ali Imron – masing-masing ditangkap pada tanggal 3 dan 4 Desember tahun itu.

Ali Imron berperan sebagai operator lapangan utama dalam serangan tersebut. Tugasnya mengawasi dua pelaku bom bunuh diri, memastikan mereka berhasil mendetonasi bahan peledak.

Tak banyak yang diketahui tentang para pelaku bom bunuh diri selain bahwa keduanya bernama Iqbal.

Sementara itu, Ali Ghufron alias Mukhlas bertanggung jawab mengumpulkan beberapa ahli bahan peledak untuk merakit bom.

Di antara para ahli itu terdapat nama Djoko Pitono alias Dulmatin; Hisyam bin Ali Zain alias Umar Patek; dan dua pakar bom kelahiran Malaysia: Azahari Husin dan Noordin Muhammad Top.

Umar Patek, militan Indonesia yang didakwa dalam serangan teroris Bali 2002, kiri, duduk bersama pengacaranya selama persidangan di Jakarta, Kamis, 8 Maret 2012. (AP Photo/Tatan Syuflana, File)

Semua sosok ini punya satu kesamaan: Mereka adalah lulusan kamp paramiliter yang dioperasikan oleh Al Qaeda di Afghanistan.

“Di situlah pihak berwenang Indonesia sadar kalau yang mereka hadapi bukan kelompok penjahat biasa, tapi jaringan terorisme yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda,” ujar Taufik Andrie, direktur eksekutif lembaga wadah pemikiran keamanan Yayasan Prasasti Perdamaian, kepada CNA.

Azahari nantinya tewas dalam penyergapan polisi pada tahun 2005; Noordin terbunuh tahun 2009; sedangkan Dulmatin tewas tahun 2010. Sementara itu, Umar Patek ditangkap oleh otoritas Pakistan di Abbottabad pada Maret 2011 dan diekstradisi ke Indonesia beberapa bulan kemudian.

Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas akhirnya dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada tahun 2008. Ali Imron, yang memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak berwenang, dijatuhi hukuman seumur hidup.

Umar Patek yang telah bekerja sama dengan kepolisian divonis 20 tahun penjara pada tahun 2012.

Tokoh kunci lain adalah Encep Nurjaman, lebih dikenal dengan alias Hambali. Ia diduga merupakan utusan dan kurir utama yang menghubungkan JI dengan Al Qaeda.

Dia ditangkap di Thailand pada tahun 2003 sebelum ditempatkan di bawah tahanan militer Amerika Serikat dan dibawa ke kamp tahanan Teluk Guantanamo, tempat dia berada sampai saat ini.

Polisi juga menangkap pemimpin JI saat itu, Abu Bakar Bashir, pada tahun 2004. Namun, menurut catatan pengadilan, jaksa hanya mampu membuktikan bahwa Bashir mengetahui rencana peledakan bom 2002 – tidak lebih.

Ia pun hanya dijatuhi hukuman kurungan dua setengah tahun dan dibebaskan pada tahun 2006, disambut sorak-sorai ratusan pendukungnya yang menanti-nantinya di luar penjara. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung membatalkan putusan bersalahnya.

MEREBAKNYA JARINGAN TEROR

Selama Bashir di penjara, pucuk pimpinan JI diambil alih oleh Abu Rusydan yang saat itu baru saja dibebaskan. Ia tadinya dipenjara karena terbukti menyediakan tempat persembunyian bagi tersangka serangan bom Bali 2002, Mukhlas.

Pengambilalihan tersebut mendorong Bashir untuk membentuk JAT pada tahun 2008. Kelompok ini kemudian mendirikan kamp paramiliter di dalam hutan di Aceh pada tahun 2009.

Kamp tersebut diserbu kepolisian pada bulan Maret 2010. Bashir lantas dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena keterlibatannya dalam kamp pelatihan di Aceh tersebut.

Abu Bakar Bashir (tengah) dianggap sebagai tokoh kunci dalam jaringan teror regional yang bertanggung jawab atas Bom Bali 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. (Foto: AFP/Adek Berry)

Menyusul jatuhnya kamp di Aceh, beberapa anggota JAT mengalihkan perhatian ke Poso, Sulawesi Tengah, dengan harapan dapat mendirikan kamp pelatihan paramiliter di sana.  Poso pernah menjadi lokasi konflik sektarian berdarah yang menewaskan 700 orang antara tahun 1998 dan 2001.

Para anggota JAT itu kemudian membentuk Mujahidin Indonesia Timur pada tahun 2010.

Saat ini, kelompok tersebut diyakini mengoperasikan kamp paramiliternya sendiri di pedalaman hutan Poso dan di dua kabupaten terdekat, Sigi dan Parigi Moutong.

Tahun 2014, lahirlah kelompok terorisme lain: JAD. Kemunculannya terinspirasi oleh kebangkitan Islamic State (IS) yang berhasil berkuasa di sebagian Irak dan Suriah.

JAD didirikan oleh anggota JAT bernama Aman Abdurrahman.

Menurut BNPT, JAD nantinya bertanggung jawab atas pengiriman lebih dari 2.000 orang Indonesia untuk bergabung dengan IS di Irak dan Suriah.

Atas perannya di kelompok tersebut, Aman divonis hukuman mati pada tahun 2018, dan kini menanti eksekusi.

Dalam foto berkas tertanggal 26 Agustus 2010 ini, ulama radikal Aman Abdurrahman menghadiri persidangannya di pengadilan negeri di Jakarta. (Foto: AP Photo/Achmad Ibrahim)

Kebangkitan JAD membuka jalan bagi Indonesia untuk merevisi Undang-Undang Terorisme, yang pada saat itu tidak melarang siapa pun untuk bergabung dengan organisasi teroris di luar negeri.  Revisi tersebut dilakukan pada tahun 2018.

BADAN-BADAN KEAMANAN KIAN EFEKTIF

Apakah Indonesia sudah lebih siap menghadapi serangan-serangan teror skala besar?

Dua puluh tahun setelah serangan bom Bali 2002, Densus 88 Antiteror Polri kini merupakan salah satu unit keamanan paling terlatih dan tercanggih di Indonesia.

Sementara itu, BNPT pun menuai pujian atas keberhasilannya dalam upaya deradikalisasi terhadap beberapa sosok paling radikal di negeri ini.

Di antara para tokoh yang disebut telah menanggalkan paham ekstrim mereka adalah pelaku bom Bali 2002, Umar Patek, yang secara resmi bersumpah untuk setia kepada Republik Indonesia selagi berada di balik jeruji.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia baru-baru ini menyatakan bahwa tak lama lagi Umar Patek akan layak untuk pembebasan bersyarat.

Tokoh kunci lain yang tampaknya telah melunak secara ideologis adalah salah satu pendiri dan mantan pemimpin JI, Abu Bakar Bashir.

Pria 84 tahun tersebut baru-baru ini menjadi sorotan karena mengakui Pancasila sebagai ideologi nasional. Ia menyatakan bahwa Pancasila selaras dengan Islam setelah bertahun-tahun mengingkari hal tersebut.

Agustus lalu, ia menggelar perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia di Pesantren Al Mukmin miliknya di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Perayaan tersebut merupakan yang pertama kalinya dilakukan dalam 40 tahun sejarah Al Mukmin, pesantren yang pernah dianggap sebagai pusat perekrutan JI.

Salah satu pendiri Jemaah Islamiyah, Abu Bakar Bashir (ujung kiri), berpartisipasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia di Pesantren Al Mukmin miliknya di Sukoharjo, Jawa Tengah, bersama beberapa pejabat tinggi Polri dan tokoh Muslim lain. (Foto: Kepolisian Negara Republik Indonesia)

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa jaringan JI masih aktif.

Di bawah kepemimpinan Para Wijayanto, JI membentuk beberapa organisasi amal sebagai kedok dan mampu mengumpulkan miliaran rupiah per tahun.

Sebagian uang tersebut digunakan untuk melatih kombatan dan mengirim anggota JI ke Suriah kala dilanda perang guna mengasah keterampilan tempur mereka. Sebagian lain dibelanjakan untuk bahan peledak dan senjata api.

Akan tetapi, menurut para analis, pihak berwenang Indonesia sudah lebih efektif dalam menumpas jaringan terorisme di negara ini selama 20 tahun terakhir, sehingga kecil kemungkinan serangan teroris skala besar seperti serangan bom Bali 2002 bisa terulang.

“UU Terorisme 2018 memungkinkan kepolisian untuk bertindak lebih cepat serta melakukan penangkapan sejak dini. Sekarang ini sulit sekali untuk mengumpulkan uang dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan serangan sebesar bom Bali pertama tanpa mengundang perhatian (kepolisian),” kata pakar terorisme Taufik.

Akan tetapi, menurut Adhe dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, bukan berarti beberapa individu radikal tak akan mencoba sama sekali.

“Pada titik ini, tidak ada kelompok dengan kemampuan membuat kerusakan serupa bom Bali pertama. Tapi ancaman serangan skala kecil masih ada,” ujarnya.

“Bagi sebagian militan, ini bukan soal berapa banyak orang yang bisa jadi korban serangan. Ini soal mengirim pesan: 'kami masih ada'."

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggeris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai nasib mereka dengan gangguan jiwa yang hidup dalam pasungan.   

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel. 

Source: CNA/nv(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement