Perempuan Indonesia ini dedikasikan hidupnya selamatkan bekantan di Kalimantan Selatan
Bekantan adalah maskot resmi Provinsi Kalimantan Selatan, namun jumlah hewan langka ini di alam liar makin berkurang.

Amalia Rezeki adalah pendiri kelompok sukarelawan teman-teman bekantan. (Foto: SBI/Amalia Rezeki)
BANJARMASIN: Karena hidungnya yang besar dan bulunya yang berwarna coklat kemerahan, orang jarang menyebut bekantan sebagai binatang favorit mereka.
Namun Amalia Rezeki, perempuan konservasionis dan pendiri sebuah kelompok sukarelawan sahabat bekantan, mempunyai tekad untuk menyelamatkan spesies endemik ini.
Bekantan adalah jenis monyet asli Kalimantan yang bisa ditemukan di kelima provinsi Indonesia di pulau raksasa tersebut.
Provinsi Kalimantan Selatan telah mengadopsi bekantan menjadi maskot resmi mereka, karena dulu hewan ini sangat gampang ditemui di sana. Terutama di hutan bakau, rawa, dan hutan di area pesisir.
Menurut Rezeki, provinsi ini mempunyai beberapa pusat konservasi bagi binatang yang terancam punah, namun kebanyakan dari mereka mengurusi binatang langka lain seperti orang utan.
“Itulah sebabnya kami memilih berkonsentrasi menyelamatkan bekantan. Juga karena saya sendiri memang asli Kalimantan Selatan,” kata Rezeki kepada CNA.
Menurut Daftar Merah Spesies Yang Terancam dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam, bekantan digolongkan sebagai binatang langka.
Kehilangan habitat dan pemburuan adalah penyebab utama populasi bekantan menyusut lebih dari 50 persen pada 50 tahun terakhir.
Menurut perkiraan, jumlah bekantan – monyet pemamah daun, terutama daun bakau, dan biji-bijian – tersisa kurang dari 20.000 ekor di seluruh dunia.
Rezeki memperkirakan dua tahun lalu jumlah bekantan di Kalimantan Selatan tinggal 3.200, menurun dari 5.000 di tahun 2013.
Kekhawatirannya akan populasi bekantan yang makin menurun mendorong Rezeki mendirikan kelompok sukarelawan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) pada tahun 2013, di tengah-tengah ia sedang menyelesaikan kulian master di bidang biologi.
Misi utama SBI: menyelamatkan bekantan dari kepunahan.
“Ini adalah tanggung jawab kami sebagai warga negara Indonesia. Kami sadar banyak orang asing bekerja bagi Lembaga Swadaya Masyarakat di sini yang mengurusi konservasi.
Namun, yang sedang terancam adalah keanekaragaman hayati Indonesia. Kitalah yang harus melakukan sesuatu,” ujar Rezeki.

DEFORESTASI DAN KRIMINALITAS
Awalnya, Rezeki dan sukarelawan SBI lain terpaksa merogoh kantong sendiri untuk membiayai program-program mereka. Sekarang, SBI beroperasi sebagai sebuah yayasan.
Organisasi ini memiliki 20 pegawai permanen selain 200 sukarelawan yang dijadwalkan membantu secara berkala.
Program yang dilaksanakan SBI termasuk penyuluhan tentang bekantan di sekolah-sekolah, kursus pendek, program magang, dan program sukarelawan.
SBI juga membuka pusat penyelamatan bekantan di Banjarmasin, ibukota lama Kalimantan Selatan.
Diwawancarai CNA di pusat penyelamatan SBI, Rezeki menjelaskan bahwa fasilitas ini menangani rehabilitasi bagi bekantan yang diselamatkan dari kebakaran hutan, perdagangan ilegal, dan konflik dengan masyarakat di tepi hutan.
Sejak 2015, sukarelawan SBI telah menangani hampir 50 kasus. Mereka bergerak setelah mendapatkan laporan dari masyarakat tentang bekantan yang perlu diselamatkan.
Menurut Rezeki, ada bekantan yang ditabrak mobil, diracun oleh masyarakat asli yang percaya daging bekantan mempunyai khasiat khusus, atau bekantan yang disita dari penduduk yang menyimpan mereka sebagai binatang peliharaan.
“Macam-macam kasusnya. Ada bekantan yang mengalami luka bakar, cedera fisik lain, juga trauma,” katanya.
Jika tidak terlalu parah, bekantan yang cedera akan dirawat di pusat penyelamatan SBI oleh dokter hewan kemudian dilepaskan kembali ke alam bebas setelah beberapa bulan.
Namun jika luka-luka mereka terlalu membahayakan, bekantan yang cedera akan diinapkan di klinik hewan.
“Pernah ada bekantan dibawa ke sini dengan luka tembak, total ada sebelas peluru bersarang di badannya. Macam-macam memang musibah yang menimpa hewan ini.
Kami mencoba mengedukasi masyarakat bahwa memelihara bekantan termasuk perbuatan yang melanggar hukum. Mereka bisa dijebloskan ke penjara karenanya,” jelas Rezeki.
Saat ini, ada empat bekantan yang dirawat di pusat penyelamatan SBI, sebuah indikasi bahwa jumlah insiden yang menimpa bekantan sedang menurun.
“Ini patut disyukuri. Pernah ada 14 bekantan yang harus dirawat di sini,” kata Rezeki.

SELAMAT DATANG, BAYI BEKANTAN
Bulan Maret tahun ini, seekor bayi bekantan bernama Hanny dilahirkan di pusat penyelamatan SBI. Ini kejadian yang langka terjadi. Nama bayi bekantan ini hadiah dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Pedro dan Mimin, ayah induk Hanny, keduanya dirawat di pusat penyelamatan SBI setelah disita dari pemilik mereka di dua tempat terpisah.
“Mereka keduanya sudah dewasa waktu dievakuasi. Kemudian mereka kawin dan Mimin melahirkan bayi Hanny,” kata Rezeki.
Menurut Rezeki, ini bukti bahwa pusat penyelamatan SBI mampu menyembuhkan trauma yang dialami kedua bekantan tersebut – mengurangi stres mereka sehingga berhasil melahirkan bayi.
Keluarga kecil bekantan ini sampai sekarang masih dirawat di sana bersama satu lagi bekantan hasil penyelamatan dari kasus lain.

Hingga sekarang ada 12 pusat konservasi hewan langka di Kalimantan Selatan, namun menurut Rezeki kelangsungan hidup bekantan masih terancam karena tidak cukup tempat perlindungan bagi mereka.
“Ancaman bagi populasi bekantan berasal dari perubahan drastis penggunaan lahan, kebakaran hutan, dan juga beberapa hal lain.
“Kami berusaha melindungi zona penyangga bagi bekantan, karena mereka sangat rentan,” kata Rezeki, yang sekarang menjabat sebagai dosen biologi di Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
SBI juga telah membuka pusat riset di Pulau Curiak, sebuah pulau kecil di Kalimantan Selatan, di mana bekantan yang telah direhabilitasi bisa dilepaskan kembali ke hutan tropis.
Pusat riset ini dibuka tahun 2018 dengan hanya 14 ekor bekantan. Sekarang ada 33 bekantan yang bernaung di sini.
SBI juga telah merehabilitasi hutan bakau di Pulau Curiak sejak tahun 2015.
“Kunci penyelamatan bekantan adalah dengan menyelamatkan habitat mereka,” jelas Rezeki kepada CNA.
Menurutnya, SBI selalu mencoba melestarikan hutan bakau yang menjadi tempat tinggal bekantan.
“Mimpi kami adalah masyarakat bisa hidup bersama bekantan tanpa menjadikan mereka sebagai binatang peliharaan.
Banyak orang menganggap bekantan sebagai hama karena mereka sering melintas di kebun, padahal bisa jadi mereka hanya numpang lewat saja,” kata Rezeki.

EKOWISATA PENDUKUNG KONSERVASI
Begitu menyadari bahwa mereka tidak mungkin terus membiayai program-program SBI dengan uang dari kantung sendiri, Rezeki dan timnya mulai mengembangkan program ekowisata bekantan sejak tahun 2018.
Program tersebut mengembangkan tiga desa di Pulau Curiak menjadi tujuan wisata dengan melibatkan penduduk lokal.
Karena bekantan sangat sensitif terhadap kehadiran makhluk asing – termasuk wisatawan mancanegara – SBI membatasi jumlah pengunjung sebanyak 100 orang setiap hari.
Sebelum pandemi COVID-19, ketiga desa ini dikunjungi banyak wisatawan mancanegara yang ingin mempelajari kehidupan bekantan. Mayoritas dari mereka berasal dari Australia, Eropa, dan Amerika Serikat.
Namun program ekowisata ini terpaksa dihentikan sejak awal pandemi di tahun 2020, bertepatan dengan keputusan pemerintah untuk menutup perbatasan.
SBI baru mulai menjalankan lagi program tersebut di akhir tahun 2021, waktu perbatasan Indonesia dibuka kembali.
Bekantan, hewan yang bernama ilmiah Nasali larvatus, adalah makhluk unik yang mampu berenang dengan baik dan juga bisa menyelam.
Cara hidup mereka juga beragam, termasuk mengikuti sistem keluarga unik yang mirip dengan pola keluarga manusia, menurut Rezeki.
“Mereka punya sistem pembantu. Jika induknya sibuk, maka bekantan perempuan yang lebih muda akan mengambil alih pekerjaannya mengasuh anak,” Rezeki menjelaskan.
Menurut dosen biologi ini, bekantan bisa hidup hingga 30 tahun dan mencapai tinggi badan 75 cm dan berat 25 kg.
Namun menurut Rezeki masih banyak lagi segi kehidupan bekantan yang perlu digali lebih jauh.
Ia berharap makin banyak masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap nasib bekantan, sehingga lebih banyak lagi upaya untuk melindungi hewan langka ini.
Upaya yang sebaiknya termasuk melestarikan habitat bekantan dan lingkungan di sekitarnya serta menyelamatkan keseluruhan lingkungan hidup.
“Kita harus menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia juga peduli lingkungan.
Jangan sampai orang lain hanya mengenal kita sebagai perusak lingkungan,” kata Rezeki.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai ancaman bahaya lenyap satu-satunya gletser tropis Indonesia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.