Ritual maut Jember sibak sisi gelap kelompok-kelompok spiritual Indonesia
Masyarakat diimbau agar lebih waspada terhadap ajakan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok serupa, terutama yang mengajukan syarat finansial.

JAKARTA: Imam Safii masih tertidur di rumahnya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, saat panggilan penting itu masuk pada 13 Februari dini hari.
Penelepon mengabarkan bahwa tak jauh dari situ, tepatnya di Pantai Payangan, sekelompok orang telah tersapu gelombang pasang. Bantuan Imam selaku sukarelawan badan SAR setempat tengah dibutuhkan.
Ia pun bergegas. Setibanya di lokasi kejadian, Imam melihat dua sosok terbaring lunglai di tepi pantai. Ada yang tengah melakukan pertolongan pertama berupa resusitasi jantung paru (RJP) pada salah satu dari keduanya.
"Tapi orang itu bilang mereka sudah satu jam di air, jadi saya pikir enggak mungkin mereka masih hidup," tutur Imam kepada CNA.
Fajar menjelang, dan korban tenggelam lainnya telah ditemukan. Secara keseluruhan, mereka yang tewas akibat gelombang pasang berjumlah 11 orang.
Bersama 13 orang lain yang terhindar dari maut, mereka adalah anggota kelompok spiritual yang tadinya tengah bermeditasi dan menggelar ritual diselimuti kegelapan.
Pemimpin mereka ikut selamat, dan pihak kepolisian kemudian mengungkapkan bahwa kelompok spiritual ini dikenal dengan nama Padepokan Tunggal Jati Nusantara.
Media lokal melaporkan bahwa ritual tersebut dipimpin oleh seorang pria yang mengaku sebagai paranormal. Ajarannya menggabungkan rapalan-rapalan bernuansa Islam dengan berbagai jampi dan aji-aji Jawa.
Menurut Kapolsek Jember AKBP Hery Purnomo, para pengikut yang ditanyai alasan bergabung dengan kelompok dan ritual tersebut memberikan jawaban yang berbeda-beda.
Secara garis besar, mereka berharap bisa kaya raya, sembuh dari penyakit, atau menemukan solusi bagi berbagai masalah dalam keluarga.
Peristiwa tragis ini menggugah kesadaran akan maraknya kelompok-kelompok yang meyakini dan menjalankan beragam bentuk kegiatan spiritual. Sebagian bercorak sinkretisme antara agama dan aliran-aliran klenik atau kebatinan.
Selain tragedi 13 Februari ini, kejadian serupa merenggut nyawa tiga orang di pantai lain di Jember pada tahun 2018.
Sebelumnya di tahun 2016, seorang pria yang mengaku dapat melipatgandakan uang secara gaib ditangkap di Probolinggo, Jawa Timur, atas tuduhan pembunuhan dan penipuan.
Taat Pribadi, yang menggelari dirinya Dimas Kanjeng, mengejutkan masyarakat luas setelah ia terungkap membunuh dua orang pengikutnya yang berniat membeberkan kebohongannya. Kedua korban sempat menyatakan bahwa lelaki tersebut sama sekali tidak mampu menggandakan uang.
Di tahun yang sama, ramai diberitakan bahwa Gatot Brajamusti — seorang pemimpin spiritual sekaligus mantan aktor — divonis penjara karena kepemilikan senjata ilegal, pemerkosaan anak, dan penyalahgunaan narkoba.
Para pakar mengimbau masyarakat untuk tidak begitu saja percaya dan bergabung dengan kelompok-kelompok semisal, terutama yang mengajukan syarat finansial.

APA DAYA TARIK MEREKA?
Kelompok-kelompok spiritual dengan tendensi pengultusan sudah ada di seantero Nusantara selama ratusan tahun, ujar antropolog Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dari Universitas Ar-Raniry, Banda Aceh.
“Isu ini sudah lama ada di Nusantara, bahkan sebelum kedatangan Belanda (di abad ke-16).
“Sekarang orang-orang ingin mendefinisikan, 'Apa ini?' Dan yang jadi masalah, ini hal yang lumrah meskipun bertentangan dengan rasionalitas kita,” jelas Kamaruzzaman kepada CNA.
Kondisinya sangatlah kompleks, sebab terdapat ratusan etnis di Indonesia yang sebagian besar memiliki kepercayaan leluhurnya sendiri-sendiri, ujar Kamaruzzaman.
Di sisi lain, Indonesia juga mengakui agama-agama besar yang pada dasarnya berasal dari luar, seperti Islam dan Kristen, yang telah melalui berbagai proses adaptasi dan asimilasi dengan berbagai adat istiadat, kepercayaan, dan praktik warisan leluhur.
Seiring waktu, sebagian pembauran tersebut bisa saja berkembang menjadi kelompok-kelompok spiritual dengan sejumlah kecil pengikut yang berbagai kegiatannya sering kali berlangsung jauh dari perhatian masyarakat awam.
Kamaruzzaman mengatakan bahwa beberapa kelompok berbasis agama mungkin telah ada di Nusantara selama berabad-abad, dan modus operandi mereka dalam menarik pengikut pun berevolusi dari zaman ke zaman.
Sebagai contoh, dahulu para pengikut perempuan biasanya diserahi peran semata-mata sebagai pelayan bagi sang pemimpin. Namun, berbagai penyesuaian mungkin telah dibuat mengingat kita hidup di era digital, jelasnya.
“Sekarang ini kalau Anda punya kemampuan tertentu, itu bisa jadi kekuatan di media sosial, dan sesuatu yang kesannya mistis itu menarik (bagi pengguna media sosial),” ujar pakar studi antropologi dan sosiologi agama-agama di Asia Tenggara tersebut.
Terlepas dari cara mereka beroperasi, loyalitas kepada pemimpin serta kemampuan untuk menghasilkan pemasukan bagi kelompok merupakan elemen penting bagi keberlangsungan mereka.
Proses pembentukan ikatan emosional yang kuat dan mantap antara pemimpin dan pengikut juga menjadi komponen kunci dari cara mereka beroperasi, imbuh Kamaruzzaman.
Meski agama merupakan daya tarik utama kelompok-kelompok spiritual dalam menarik pengikut, Kamaruzzaman yakin bahwa agama pun telah mengalami komodifikasi.
Menurutnya, sudah banyak contoh di mana agama dieksploitasi untuk berbagai tujuan finansial, entah itu agar banyak yang berdonasi, berlangganan produk atau jasa, atau tergiur tawaran-tawaran palsu.
“Semakin mahal suatu kelompok, semakin rumit situasi yang akan Anda hadapi. Semakin sulit untuk bergabung dengan suatu kelompok, maka semakin kentara kalau ada apa-apanya di situ,” jelas Kamaruzzaman.
Pada konferensi pers yang digelar beberapa hari setelah insiden Pantai Payangan, Kapolres Jember Hery Purnomo menyebutkan detail bahwa setiap anggota kelompok spiritual tersebut diharuskan membayar iuran bulanan sebesar Rp20.000 selama bergabung.
Mereka juga dimintai Rp20.000 untuk dapat ikut serta dalam ritual pantai itu.
Hery juga mengungkapkan bahwa pemimpin Padepokan Tunggal Jati Nusantara mendirikan kelompok ini sekembalinya ia dari Malaysia pada tahun 2015. Awalnya ia mempromosikan diri sebagai praktisi pengobatan alternatif.
“Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatanya, dia menggabungkan kegiatan keagamaan dan kemudian juga, ini yang nanti perlu kita teliti kembali, bahwa yang bersangkutan juga memiliki semacam aliran kepercayaan yang di situ menggunakan bahasa-bahasa Jawa dalam pelaksanaan ritualnya, seperti pembacaan mantra, kidung,” jelas Hery.
Ia menambahkan bahwa guna menarik anggota baru, kelompok ini mengandalkan promosi dari mulut ke mulut tentang keberhasilan penyembuhan penyakit-penyakit tertentu.
“Tidak ada pemaksaan, tidak ada formulir pendaftaran. Jadi semua dilakukan oleh anggota-anggotanya yang menyebarkan berita kepada orang lain seperti keluarga atau teman mereka. Pada dasarnya semua anggotanya punya masalah,” katanya.
Salah satu korban selamat dalam peristiwa Pantai Payangan, yang dikutip dengan nama depan Feri (20), menyatakan kepada media lokal bahwa dia telah bergabung dengan kelompok tersebut selama dua tahun. Mereka telah beberapa kali melakukan ritual di tepi pantai dengan tujuan buang sial.
Korban selamat lain bernama Bayu (21) mengatakan kepada media lokal bahwa mereka pergi ke pantai untuk sekadar bermeditasi.
Menurut sosiolog Profesor Sunyoto Usman dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terdapat kecenderungan untuk mencari solusi spiritual atau magis ketika cara-cara rasional atau ilmiah dianggap tidak dapat menuntaskan masalah.
“Ini tidak ada korelasinya dengan tingkat pendidikan. Yang dilibatkan adalah pemahaman mereka, dan ini bisa rasional, bisa irasional, sebab metode pemecahan masalah yang biasa tidak berhasil,” jelas Prof. Sunyoto.
Dalam kelompok yang dipimpin oleh Taat Pribadi di Probolinggo, misalnya, terdapat beberapa jenderal tentara dan perwira polisi, dan ada nama-nama selebritas di antara para pengikut Gatot Brajamusti.
Prof. Sunyoto lebih lanjut menjelaskan bahwa kelompok semacam ini biasanya tumbuh di masyarakat yang cenderung liberal.
“Ketika penguasa sangat otoriter, mereka biasanya tidak eksis karena para pengikutnya bisa dikenakan sanksi.
“Tapi ketika pihak yang berkuasa lebih liberal, mereka diperbolehkan untuk eksis,” katanya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yusnar Yusuf mengatakan kepada CNA bahwa banyak orang di Indonesia menaruh keyakinan kepada tokoh spiritual akibat tidak mengikuti ajaran agama dengan benar.
“Fenomena seperti ini tidak asing di Indonesia. Ketika ada kekosongan kejiwaan pada orang-orang yang belum menganut agama dengan benar, maka mereka akan mencari-cari apa yang kurang dalam diri mereka.
“Mereka ini orang-orang yang terjebak dalam suatu keinginan, sementara keinginannya itu tidak bisa dicapainya dengan satu kajian rasional, lewat cara yang rasional … Mereka ini orang-orang yang tidak mengikuti apa yang diajarkan oleh agama.”
PENANGGULANGAN DAN TANTANGANNYA
Bagi paranormal kondang Permadi, periode meyakini dan menekuni praktik-praktik paranormal dan perdukunan telah usai beberapa tahun lalu. Ia mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan praktik-praktik penipuan yang ada di dalamnya.
“Mereka (paranormal dan dukun) itu minta uang banyak. Padahal mereka sebenarnya enggak punya kemampuan yang diharapkan oleh masyarakat. Itu makanya saya memutuskan untuk menjauhi mereka,” ujar politisi sekaligus mantan paranormal berusia 82 tahun tersebut kepada CNA.
Permadi kini tak lagi memberikan konsultasi paranomal secara cuma-cuma.
Sebagian besar kelompok spiritual dapat bertahan di Indonesia karena banyak yang meyakini faedah mereka dalam meringankan kekhawatiran akan berbagai masalah dan urusan sehari-hari.
Kalaupun terdapat kelompok dengan kegiatan-kegiatan janggal dan motif-motif tercela, tidaklah mudah untuk mendeteksi keberadaanya sampai benar-benar terjadi pelanggaran hukum.
Yusnar selaku Ketua MUI pun mengatakan bahwa selama kelompok-kelompok tersebut tidak mengganggu atau menyesatkan ajaran Islam, MUI tidak dapat mengambil tindakan.
“Masalahnya di sini, kelompok-kelompok semacam itu kan dibuat di rumah, dan kami tidak tahu apa dasarnya, apa tujuannya. Dan karena dibentuknya di rumah pribadi, mereka jadi tidak bisa diawasi,” ujarnya.
Meski demikian, ia menambahkan bahwa pihak-pihak berwenang seperti kepolisian atau kementerian dalam negeri dapat mengambil tindakan apabila diketahui ada kelompok-kelompok dengan ajaran yang menyimpang dari norma-norma.
Jika ajarannya diyakini sesat, maka MUI bisa turun tangan untuk menindak mereka.
Yusnar mengatakan MUI dapat memecat anggotanya yang terlibat praktik-praktik penipuan, dan seingatnya hal ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Sementara itu, antropolog Kamaruzzaman mengatakan bahwa masyarakat perlu berhati-hati.
"Masyarakat harus waspada. Kalau ada yang terasa menyimpang dari akal sehat atau kewajaran, bisa tanya dan bisa langsung ke MUI, ke pemuka agama setempat atau ke polisi untuk menyampaikan informasi sebelum hal itu berubah jadi bom waktu.”
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini bagaimana sebuah komunitas menggali sejarah dengan mengunjungi makam-makam.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.