Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Asia

Barter plastik dengan beras tangani polusi sekaligus dampak COVID-19 terhadap ekonomi Bali

Barter plastik dengan beras tangani polusi sekaligus dampak COVID-19 terhadap ekonomi Bali

Made Janur Yasa mendirikan Plastic Exchange pada tahun 2020 ketika COVID-19 mendera bisnisnya. (Foto: Brittany Bullard)

JAKARTA: Tahun lalu, Made Janur Yasa mengimbau warga di kampung halamannya di Tabanan, Bali, untuk menghimpun limbah plastik. Dalam lima hari, mereka berhasil mengumpulkan 500 kilogram plastik dalam bentuk sedotan, kantong, botol, dan sebagainya.

Sebagai imbalan, Made memberi mereka 500 kilogram beras.

Made, 55 tahun, memprakarsai gerakan Plastic Exchange yang memberdayakan masyarakat Bali untuk mengumpulkan plastik dan menukarkannya dengan beras.

Sang ayah tiga anak memulai inisiatif ini ketika COVID-19 mendera bisnisnya. Hingga hari ini, 50 ton limbah plastik yang berhasil dikumpulkan turut membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Ketika COVID-19 melanda, restoran vegan milik Made yang berlokasi di Ubud, pusat kebudayaan Bali yang mendunia, menerima pukulan hebat — sama halnya dengan banyak bisnis lain di pulau tersebut.

“Restoran saya enggak kebal pandemi. Orang-orang stop datang kemari dan saya jadi mikir: ‘Wah, gimana ini?’

“Tapi saya selalu terkesan dengan ungkapan: di mana ada kesulitan, pasti ada jalan.”

Sebagai penganut Hindu Bali, Made mengimani konsep Tri Hita Karana yang mengajarkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui keselarasan tiga hubungan — antara manusia dan Tuhan, antar-sesama manusia, dan antara manusia dengan lingkungan.

Ia lantas berpikir, bagaimana kiranya kearifan tersebut dapat terejawantah dalam tindakan.

“Kadang-kadang ketiga unsur ini tidak seimbang. Kadang orang terlalu memikirkan lingkungan sampai-sampai mengorbankan manusia.

“Terkadang kita memikirkan masyarakat dan profit, tapi malah tidak memperhatikan lingkungan,” ujarnya.

Meski pendapatannya menurun akibat pandemi, ia tahu banyak warga Bali yang bernasib lebih nahas.

Di pulau primadona pariwisata Indonesia ini, mereka yang telah kehilangan pekerjaan terpaksa pulang berbondong-bondong ke kampung halaman dengan tabungan seadanya.

Masalah-masalah lain yang merongrong Bali, seperti sampah plastik, juga menjadi perhatian Made.

Sementara itu, menurutnya, banyak orang bergantung pada bantuan, terutama selama pandemi, tanpa merasa perlu turut menjaga kelestarian bumi atau berbagi dengan masyarakat sekitar.

Plastic Exchange menawarkan satu kilogram beras untuk empat kilogram limbah plastik. (Foto: Facebook/Plastic Exchange)

Maka dari itu, Mei tahun lalu, Made meluncurkan Plastic Exchange di kampung halamannya di Kabupaten Tabanan dengan menawarkan satu kilogram beras sebagai imbalan untuk satu kilogram limbah plastik.

“Inisiatif ini berawal dari mulut ke mulut. Sekarang, kami punya grup-grup WhatsApp, jadi orang-orang bisa berbagi info di grup mereka.

“Program ini tidak mengikat. Siapa mau beras, silakan kumpulkan plastik.

“Mereka yang mau bersih-bersih rumah (dari sampah plastik), kami kasih imbalan baik,” katanya kepada CNA.

Sebagian warga bahkan membantu menggalakkan gerakan ini dengan menempelkan pengumuman di warung-warung.

Bermula dari satu desa, prakarsa ini telah menyebar ke 200 desa di Bali.

"SISTEM BARTER MEMBANGUN HUBUNGAN ANTARMANUSIA”

Pencemaran laut akibat limbah plastik di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di dunia setelah Cina, dan alam Bali yang asri termasuk pantai-pantai indahnya tak luput dari sampah jenis ini.

Ketika Made dilahirkan pada tahun 1966, masalah plastik Bali belum segenting sekarang.

Dulu hidup terasa sederhana, kenangnya.

 “Di desa saya, kami tumbuh tanpa uang. Kami hidup di desa kami dengan sistem barter.

 “Jadi, kalau butuh sesuatu, bumbu atau beras misalnya, kami tinggal pergi ke tetangga lalu saling tukar. Sistem barter membangun hubungan antarmanusia dan itu tidak ternilai harganya,” ujar Made. 

Sistem barter yang dipelajarinya semasa kecil akhirnya menjadi landasan Plastic Exchange.

Di bangku kuliah, Made menyadari bahwa pencemaran lingkungan akibat plastik telah menjadi isu serius di Bali.

Dari tahun ke tahun, masalah ini kian meningkat. Pada tahun 2019, pemerintah Bali akhirnya melarang penggunaan plastik sekali pakai.

TERIMA SEGALA JENIS PLASTIK

Masyarakat pun merasakan dampak nyata dari Plastic Exchange dalam bentuk beras gratis dan rumah yang lebih bersih.

Karena sifatnya tidak mengikat, gerakan ini tidak membebani siapa pun, tegas Made.

Plastic Exchange menerima segala jenis plastik, termasuk plastik sekali pakai berupa kemasan atau yang dapat digunakan kembali seperti ember.

Bahan-bahan daur ulang lain — kardus, kertas, kaleng, dan botol bir — juga diterima, meski penyetor harus memilahnya terlebih dahulu sebelum diserahkan ke bank plastik di masing-masing desa.

Masyarakat diimbau untuk menyetorkan limbah ke bank sampah setidaknya sekali dalam sebulan, dan mereka akan memperoleh imbalan beras sesuai jumlah dan jenis plastik yang diserahkan.

Awalnya, satu kilogram limbah plastik dihargai satu kilogram beras, cukup untuk kebutuhan makan empat orang dalam sehari.

Dengan makin banyaknya orang yang mengikuti program ini, Made mengubah aturan menjadi empat kilogram limbah untuk satu kilogram beras.

Plastic Exchange menerima plastik dan bahan-bahan daur ulang lain. (Foto: Facebook/Plastic Exchange)

Karena Bali belum memiliki pabrik daur ulang, ia pun bekerja sama dengan perusahaan pengepul limbah plastik yang kemudian mengirimkannya ke Jawa untuk diproses lebih lanjut.

Awalnya, Made membeli beras untuk barter dengan uangnya sendiri.

Meski bisnisnya terimbas COVID-19, ia bertekad membeli beras dari para petani lokal serta memilih yang berkualitas baik sebagai alat tukar.

 “Berasnya harus berasal dari desa tertentu. Harus dibeli dari petani lokal supaya ada perputaran ekonomi.”

Banyak pihak telah mendengar gerakan ini dan tergerak untuk membantu secara finansial, dan Made pun dapat menggunakan donasi yang terkumpul untuk membeli beras.

 “Masih saja ada yang tanya ke saya: ‘Dari mana saya memulai? Bagaimana caranya dapat plastik?’ Ya saya bilang: ‘Kalau mau membersihkan dunia, bersihkan rumahmu dulu. Kalau mau mengubah dunia, mulailah dari diri sendiri dulu.”

BATA DARI PLASTIK UNTUK BANGUNAN

Berkat kerja kerasnya, Made diganjar nominasi CNN Hero of the Year. Pemenangnya akan diumumkan pada pertengahan bulan ini.

Nominasinya telah menarik perhatian donatur-donatur baru dari luar negeri. Kini dua per tiga donaturnya berasal dari Kanada, Australia, dan negara-negara Eropa. 

Meski berharap menang, Made mengaku tidak pernah mengharapkan pengakuan apa pun.

Target Made berikutnya adalah memanfaatkan limbah plastik Bali untuk pembuatan bata guna membangun rumah bagi keluarga miskin.

Ia juga ingin mereplikasi inisiatif ini di berbagai kawasan di Indonesia.

 “Program ini bisa terus berjalan selama masih ada plastik, karena sekarang orang-orang mulai memperlakukan kredit plastik seperti kredit karbon.

 “Selama masih ada plastik, selama masyarakat ingin melihat lingkungan yang bersih, saya kira program ini bisa berlanjut seumur hidup saya… karena plastik toh akan terus ada.”

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai kerja keras para pemengaruh pemula Indonesia demi capai citra mereka.   

 Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/ks(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement