Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Asia

Lonjakan limbah medis ikut ancam kesehatan masyarakat di tengah merebaknya COVID-19 di Indonesia

Lonjakan limbah medis ikut ancam kesehatan masyarakat di tengah merebaknya COVID-19 di Indonesia
Kantong plastik kuning dengan simbol biohazard dan tulisan “limbah infeksius” tergeletak di kaki gunungan sampah di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

BEKASI, Indonesia: Kantong-kantong plastik berisi masker medis putih dan biru teronggok di atas gundukan tanah — dikelilingi aneka sisa kemasan makanan, mainan rusak, dan sampah domestik lainnya — di satu sisi tempat pembuangan akhir (TPA) seluas 11 hektar, tak jauh dari Jakarta.

Beberapa meter dari situ, lusinan katriji tes bertuliskan “COVID-19” tampak berserakan di tepi jalan yang dipadati truk-truk pengangkut sampah. Antrean kendaraan itu siap menurunkan tumpuk demi tumpuk sampah berbau busuk yang telah dikumpulkan dari seantero Kabupaten Bekasi, kawasan yang bersisian dengan Ibu Kota.

“Ini cuma puncak gunung es. Di dalam sana ada lebih banyak lagi limbah medis, tertimbun oleh berlapis-lapis sampah biasa,” kata aktivis Bagong Suyoto kepada CNA.

Yang ia maksudkan adalah satu gunungan sampah tak jauh dari situ. Menjulang lebih dari 20 meter, timbunan limbah itu ramai oleh pemulung serta para pekerja yang mengoperasikan setengah lusin ekskavator.

 

Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional, menunjukkan beberapa dari sekian banyak katrij tes COVID-19 yang ia temukan di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

Menurut perundangan, limbah medis masuk kategori limbah berbahaya dan beracun, dan semestinya dibakar demi menghentikan penyebaran penyakit dan mencegah kontaminasi.

Akan tetapi, lemahnya pengawasan dan penegakan aturan, berikut kurangnya insinerator bersertifikat di Indonesia, mengakibatkan berakhirnya sebagian limbah medis di tempat pembuangan akhir yang sejatinya hanya untuk limbah rumah tangga.

Kini, pandemi COVID-19 telah memperparah keadaan.

Menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), sebelum pandemi, rumah sakit di seantero Indonesia menghasilkan sekitar 290 ton limbah medis dalam sehari. Angka tersebut kini membengkak menjadi 493 ton per hari.

Seiring merebaknya COVID-19, limbah infeksius tidak hanya dihasilkan oleh rumah sakit dan klinik, tetapi juga oleh berbagai fasilitas isolasi yang nyaris tidak terawasi. Selain itu, banyak rumah tangga yang tidak memilah sampah infeksiusnya dari sampah biasa.

Bobot limbah medis dari rumah tangga maupun berbagai fasilitas isolasi belum dapat dipastikan besarnya. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan bahwa setiap pasien COVID-19 dapat menghasilkan hingga 1,7 kilogram sampah infeksius per hari.

Sejak awal pandemi, sekitar empat juta orang di Indonesia telah terjangkiti COVID-19.

KEKURANGAN INSINERATOR

Di seluruh Indonesia, terdapat 3.000 rumah sakit, 8.000 puskesmas, dan 9.000 klinik swasta. Dari total angka tersebut, hanya 120 rumah sakit yang mengoperasikan insinerator sendiri untuk memusnahkan limbah medisnya.

“Sulit bagi rumah sakit untuk mengoperasikan insineratornya sendiri. Kalau beli sih mudah. Yang sulit itu mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengoperasiannya. Banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi,” kata dr Lia Partakusuma, Sekretaris Jenderal PERSI, kepada CNA.

Selebihnya bergantung pada perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki izin untuk mengangkut dan memusnahkan limbah berbahaya. Hingga Desember tahun lalu, hanya ada 17 perusahaan semacam ini di Indonesia. Kapasitas gabungan seluruh perusahaan ini dalam memusnahkan limbah medis adalah 252 ton per hari.

Akan tetapi, perusahaan-perusahaan tersebut hanya terdapat di tujuh dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar beroperasi di Pulau Jawa yang notabene terpadat dan paling berkembang di negara ini.

“Tidak semua provinsi punya insineratornya sendiri,” ujar dr Lia. 

Katrij bekas tes COVID-19 ditemukan di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

Rumah sakit di provinsi terpencil dan tertinggal seperti Papua, misalnya, harus membayar Rp110.000 kepada perusahaan pengelolaan sampah untuk sekadar memusnahkan satu kilogram sampah medis karena prosesnya melibatkan pengiriman sejauh 3.000 kilometer ke Jawa.

Selama pandemi, satu rumah sakit dapat menghasilkan antara 50 kilogram hingga dua ton limbah medis per hari, tergantung ukuran fasilitasnya.

“Jumlah limbah medis meningkat akibat COVID-19. Rata-rata, limbah medis rumah sakit bisa membengkak dua sampai lima kali lipat, apalagi kalau rumah sakitnya dijadikan rumah sakit khusus COVID-19,” ujar dr Lia.

“Gara-gara pandemi, pemerintah memperluas definisi ‘sampah infeksius’ menjadi segala sesuatu yang bersentuhan dengan pasien COVID-19. Jadi bukan cuma alat-alat medis kayak botol infus atau jarum suntik, tapi juga serbet, popok dan sisa makanan.”

Ditambahkannya: “Sementara itu, penggunaan APD (alat pelindung diri) juga meningkat. Makanya jumlahnya (limbah medis) jadi membengkak.”

Ia juga mengatakan bahwa kapasitas insinerator begitu penuh sehingga pengangkutan limbah medis kadangkala tidak tepat waktu. Hal ini membahayakan pekerja medis dan pasien karena sifat limbah yang sangat menular.

“Bayangkan rumah yang toiletnya mampet,” katanya. “Kayak gitulah kondisi rumah sakit sekarang ini.”

 

Dengan meningkatnya limbah medis akibat COVID-19, sebagian berakhir di berbagai tempat pembuangan akhir di seluruh Indonesia — seperti obat-obatan di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia, ini. (Foto: Nivell Rayda)

Rosa Viven Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa pemerintah telah mengambil sejumlah langkah dalam rangka mengatasi masalah tersebut.

“Kita meminta fasilitas-fasilitas kesehatan untuk membakar sendiri limbah medis mereka menggunakan insinerator dengan suhu minimal 800 derajat celsius. Biasanya mereka butuh perizinan untuk penggunaan insinerator ini, namun kita sudah lakukan relaksasi persyaratan ini dan mengeluarkan izin sementara untuk sekitar 200 rumah sakit,” jelasnya.

“Kita juga sudah meminta bantuan dari pabrik-pabrik semen. Tanur mereka bisa mencapai 1.500 derajat celsius, dan sejauh ini sudah ada 13 perusahaan yang siap membantu. Kita akan segera mengeluarkan peraturan (menteri) supaya pabrik-pabrik ini bisa membakar limbah medis.”

Kementeriannya juga berencana membeli sejumlah insinerator berukuran kecil dan mendistribusikannya ke wilayah-wilayah terpencil. “Kita sedang mapping daerah yang enggak punya layanan pembuangan limbah medis atau pabrik semennya. Kita masih mendiskusikan berapa banyak yang dibutuhkan, berapa biayanya, dan berapa anggaran yang harus kita alokasikan,” jelasnya.

Meski kini rumah sakit telah memiliki izin sementara untuk mengoperasikan insinerator secara mandiri, tak banyak yang serta-merta mengupayakannya, ujar dr Lia.

“Tidak semua daerah mau ada insinerator di tempatnya. Tidak semua orang mau wilayahnya jadi lokasi pembuangan limbah berbahaya,” ujarnya.

“Insinerator menghasilkan abu, dan abu ini hanya bisa dibuang di tempat-tempat tertentu saja. Inilah alasannya kenapa banyak rumah sakit lebih suka bekerja sama dengan pihak ketiga. Kebanyakan rumah sakit enggak mau repot sama masalah ini, karena kan ada masalah yang lebih besar yang perlu mereka pikirkan, yaitu memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.”

MASALAH BESAR MASKER

Karena pemakaian masker wajah kian umum, benda yang satu ini memunculkan masalah lingkungan baru.

Penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di awal pandemi tahun lalu menunjukkan bahwa dari seluruh sampah yang ada di tempat pembuangan akhir, sungai, jalan, dan pantai di seluruh Indonesia, 16 persen di antaranya adalah masker.

Sejumlah ekskavator bekerja berbarengan memindahkan sampah yang baru saja dibuang ke puncak gunungan sampah di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

“Sebelum pandemi, angkanya nol,” ujar Reza Cordova, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian tersebut, kepada CNA. Reza memperkirakan bahwa kini, dengan munculnya varian Delta yang lebih ganas, jumlah masker bekas yang mencemari lingkungan bisa jadi telah berlipat ganda.

“Dibandingkan awal pandemi, masyarakat sudah lebih sadar pentingnya memakai masker, dan masker pun sekarang lebih mudah didapat,” katanya.

“Orang-orang bisa pakai dua atau tiga masker sehari kalau mereka di luar rumah seharian. Tetapi pemerintah tidak menyediakan cara bagi kita untuk membuangnya.”

Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan bahwa masker wajah menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar daripada jenis limbah medis lainnya.

“Dengan begitu banyaknya orang yang melakukan isolasi mandiri di rumah, masker menjadi masalah besar. Ketika masker bersentuhan dengan pasien COVID-19, bisa dipastikan masker itu sudah terkontaminasi virus corona. Mereka yang menemukan masker ini pun berisiko kena infeksi,” ujar penasihat di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tersebut.

“Masker-masker ini harus dimusnahkan secara benar. Jika tidak, virusnya bisa bertahan selama tiga atau empat jam di udara terbuka. Di dalam ruangan, virus bisa bertahan selama delapan jam. Kalau di ruangan lembab dan sempit, kemudian dia ditumpuk dengan benda-benda infeksius lain, misalnya di tempat sampah atau tempat pembuangan akhir, virusnya bisa bertahan selama dua sampai tiga hari.”

LIMBAH MEDIS SULIT DILACAK

Seiring meningkatnya masalah limbah medis, melacak tempat pembuangan akhirnya pun menjadi dilematis.

Vivien, Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa keluarnya izin sementara bagi rumah sakit serta diperbolehkannya pabrik semen untuk membakar limbah medis seharusnya cukup untuk mengatasi masalah meningkatnya limbah infeksius.

“Setidaknya itu cukup untuk mengelola limbah medis yang dihasilkan oleh fasilitas kesehatan,” katanya. “Sampah medis tidak boleh berakhir di tempat pembuangan akhir.”

Akan tetapi, dalam kenyataannya, limbah medis — termasuk yang dihasilkan oleh berbagai fasilitas kesehatan — sudah sampai ke berbagai TPA.

Saat berkunjung ke TPA Burangkeng di Kabupaten Bekasi, CNA menemukan kantong plastik warna kuning cerah dengan simbol biohazard dan tulisan “sampah infeksius” di kaki gunungan sampah. Kantong itu kosong.

Tak jauh dari kantong kuning itu, teronggok botol-botol infus kosong, sebagian dengan selang dan kateter yang masih tersambung. Obat-obatan serta hasil pemindaian sinar-x tulang panggul seseorang terselip di antara tumpukan sampah yang sama. Terdapat pula toples-toples lima literan kosong yang sedianya digunakan untuk menampung cairan hemodialisis.

Dalam catatan dr Lia, bahkan sebelum pandemi terdapat perbedaan antara jumlah limbah yang dihasilkan oleh penyedia layanan kesehatan dengan jumlah yang benar-benar dimusnahkan dengan insinerator.

 “(Perbedaan) ini bisa mencapai 70 sampai 90 ton per hari. Ini tidak jelas ke mana,” katanya.

“Ini bukan masalah baru. Ini masalah lama yang jadi semakin buruk karena COVID-19.”

Vivien dari PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji untuk menyelidiki masalah ini. “Itu seharusnya tugas pemda (untuk melakukan pengawasan). Pemerintah pusat tidak mungkin melacak semua limbah di 550 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Bagong, aktivis senior yang telah meneliti permasalahan limbah di Indonesia selama lebih dari 20 tahun, mencatat bahwa menyelidiki bagaimana sampah medis bisa sampai ke tempat pembuangan akhir adalah pekerjaan sulit.

“Praktik ini melibatkan jaringan pengumpul dan pengangkut, jadi sulit sekali kalau mau melacaknya ke rumah sakit atau ke perusahaan pengangkut limbah tertentu,” katanya.

Ketua Koalisi Persampahan Nasional ini mengatakan ada keuntungan di balik upaya mencegah masuknya limbah medis tertentu ke insinerator.

“Sebagian limbah medis ini dibuat dari plastik kelas medis kualitas tinggi. Botol cairan infus, misalnya, bisa menghasilkan antara 6.000 sampai 7.000 rupiah per kilogram. Itu dua kali lipat harga botol dan gelas minuman,” jelasnya.

BERUPAYA MENUJU SOLUSI KOMPREHENSIF

Menurut para pakar, pemerintah perlu berupaya lebih dari sekadar memantau limbah keluaran fasilitas-fasilitas kesehatan.

Pakar kesehatan masyarakat dr Hermawan mengatakan: “Perhatian pemerintah hanya tertuju pada fasilitas-fasilitas kesehatan, sementara limbah (infeksius) yang dihasilkan oleh rumah tangga biasa dan fasilitas umum terabaikan.”

“Ada juga hotel yang diubah menjadi fasilitas isolasi (COVID-19). Selain itu, ada juga fasilitas-fasilitas seperti bandara dan stasiun kereta api yang menawarkan tes COVID-19. Jadi jangan heran kalau masker dan cartridge bisa sampai ke tempat pembuangan akhir.”

Mewakili Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, dr Lia mengatakan pemerintah juga perlu memperhatikan tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan perkantoran.

“Perlu ada titik pengumpulan tempat orang-orang bisa membuang masker bekasnya,” katanya.

Kantong plastik kuning dengan simbol biohazard dan tulisan “limbah infeksius” tergeletak di kaki gunungan sampah di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

Vivien dari PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui bahwa perlu ada solusi terkait meningkatnya jumlah limbah medis yang bukan berasal dari fasilitas kesehatan.

“Saya setuju kalau mereka ini kontributor utama masalah (sampah medis yang tidak diolah), terutama yang melibatkan pasien isolasi mandiri (COVID-19),” katanya.

Vivien mengatakan, idealnya setiap pemerintah daerah mendirikan pusat pengumpulan sampah medisnya masing-masing serta mendistribusikan kantong-kantong khusus untuk pasien isolasi mandiri sebagai wadah sampah mereka.

“Kantong-kantong ini kemudian dikumpulkan oleh petugas terlatih yang menggunakan alat pelindung, supaya limbah bisa dibuang dengan aman di insinerator,” ujarnya.

“Kita sekarang kerja keras untuk mewujudkan ini. Kita sedang berkomunikasi dengan pemda tentang hal ini. Tetapi masing-masing pemda punya kemampuannya yang beda-beda.”

Dia menambahkan: “Ada yang enggak punya anggaran untuk membangun pusat pengumpulannya sendiri. Kita sedang berusaha mengalokasikan dana untuk membantu pemerintah daerah melaksanakan ini. Mudah-mudahan, dalam satu-dua bulan kita sudah bisa mulai mewujudkan rencana ini.”

Bagong berharap pandemi ini bisa menjadi seruan penyadaran bagi pemerintah untuk memperhatikan masalah limbah di Indonesia.

“Pandemi ini menyoroti perlunya rumah-rumah untuk memilah sampah, perlunya lebih banyak insinerator, perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, dan perlunya sistem pengelolaan limbah yang baik,” ujarnya.

“Saya berharap seperti apa pun nanti perbaikannya, bisa bertahan lama setelah pandemi ini berakhir.”

Satu ekskavator bertugas menyusun ulang tumpukan sampah di TPA Burangkeng, Bekasi, Indonesia. (Foto: Nivell Rayda)

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai bagaimana ibu-ibu hamil di Indonesia dihantui risiko kesehatan seiring tingginya kematian terkait COVID-19.

Ikuti akun CNA di Facebook dan Twitter untuk membaca artikel-artikel terkini.

Source: CNA/ni

Advertisement

Also worth reading

Advertisement