Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Asia

Sisi serius dolanan anak: Berpacu dengan waktu mencegah punahnya permainan anak tradisional Indonesia

Sisi serius dolanan anak: Berpacu dengan waktu mencegah punahnya permainan anak tradisional Indonesia
Para peserta menjajal mainan senjata tradisional dari bambu dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Komunitas Hong di Bandung. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

BANDUNG: Mohamad Zaini Alif berdiri di atas panggung suatu amfiteater kecil terbuka di tengah kebun raya yang terletak di kawasan berbukit di pinggiran Kota Bandung.

Sekitar 50 orang yang terdiri dari dokter, perawat, dan staf administrasi satu rumah sakit di Jakarta berada di hadapannya. Perjalanan sejauh 170 kilometer telah mereka tempuh untuk sekadar mendengarkannya bicara tentang satu hal yang ia tekuni penuh semangat: permainan anak tradisional Indonesia.

Pria 46 tahun berperawakan kecil dan berkacamata tersebut berkisah tentang perjalanannya mendokumentasikan dan mempelajari lebih dari 2.600 jenis permainan anak tradisional yang tersebar di seantero nusantara, berikut upayanya untuk menghidupkannya kembali melalui proyek-proyek komunitas.

Sebagian peserta mengangguk-angguk tersenyum ketika Zaini menyebutkan nama-nama permainan seperti hahayaman dan galah asin, serta berbagai dolanan lain yang barangkali pernah mereka akrabi semasa kecil. Namun, senyum mereka berangsur memudar ketika Zaini sampai pada nama-nama dolanan yang hanya pernah diceritakan oleh bapak ibu mereka tetapi tidak pernah mereka mainkan.

Di akhir presentasi, Zaini memberi mereka kesempatan untuk menjajal permainan-permainan tradisional yang unik namun terlupakan tersebut.

Di antaranya adalah permainan-permainan tepuk tangan yang dapat dilakukan kapan saja tanpa persiapan rumit, meski ada pula yang mensyaratkan goresan-goresan jalur dan batas pada tanah maupun mainan-mainan atau alat-alat pendukung dari bambu, tali rami, dan kayu.

Para peserta yang berusia sekitar 30 hingga 50 tahun tersebut lantas bermain dengan asyiknya sembari tertawa dan saling bercanda selama sesi berlangsung.

Mohamad Zaini Alif di acara Komunitas Hong, mempromosikan beraneka macam permainan anak tradisional Indonesia sebagai kearifan penuh kedalaman makna filosofi serta dirancang sebagai sarana penyampaian berbagai pelajaran hidup. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Akan tetapi, beragam dolanan tradisional ini memiliki arti lebih, tak sekadar agar anak-anak dan orang dewasa tetap aktif serta bersenang-senang bersama teman-teman, ujar Zaini kepada CNA.

 “Permainan-permainan ini sarat dengan filosofi dan digunakan untuk mengajari anak-anak nilai-nilai seperti kejujuran dan kerja sama. Mereka juga bisa diajarkan bagaimana mengapresiasi alam di sekitar mereka, bagaimana memanfaatkan kekuatan angin untuk bermain layang-layang atau kitiran, atau bagaimana mengubah kulit pohon dan kayu menjadi mainan dan alat-alat untuk bermain,” jelas Zaini.

Meski demikian, beraneka macam permainan tradisional perlahan menghilang, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang kekurangan ruang serta akses memperoleh bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat peralatan pendukung, ditambah pula hadirnya pesaing berupa berbagai mainan modern dan gim video.

Zaini, pendiri komunitas dengan sebutan "Hong" yang bertujuan untuk membangkitkan minat pelestarian dolanan anak tradisional, menemukan lewat penelitiannya bahwa ratusan permainan berharga ini telah punah.

Keberadaannya sekadar tercantum dalam berbagai paragraf, referensi, dan catatan kaki teks-teks kuno serta buku-buku sejarah, berikut arsip yang disimpan oleh Belanda selaku penguasa kolonial di kepulauan nusantara tiga abad lamanya.

Zaini bertekad takkan membiarkan hal serupa terjadi pada aneka dolanan anak tradisional yang masih bertahan, serta bekerja keras untuk memperkenalkannya kembali melalui sekolah-sekolah dan berbagai lingkup masyarakat.

Ia juga menggabungkan beragam permainan ini ke dalam rangkaian latihan pembangun kekompakan tim di perusahaan-perusahaan. Harapannya, kecintaan terhadap permainan tradisional akan muncul kembali di kalangan orang dewasa, sehingga mereka pun dapat mewariskannya kepada generasi penerus.

 “Saya ingin generasi sekarang menyelami warisan budaya bangsa dan menghidupkan kembali rasa cinta dan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka,” ujarnya.

Peserta acara Komunitas Hong di Bandung mengangkat tangan selagi menjajal beberapa permainan tradisional Indonesia. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

SISI SERIUS DOLANAN ANAK

Zaini yang tumbuh besar di desa mengakui bahwa beragam permainan dan mainan tradisional punya tempat istimewa di hatinya.

Namun ketertarikannya untuk mulai meneliti asal-usul dan evolusi mainan serta permainan tersebut, berikut segala filosofi di baliknya, baru muncul ketika ia kuliah desain produk di Institut Teknologi Bandung.

Upayanya untuk menemukan makalah-makalah ilmiah terkait subjek ini tersandung kenyataan bahwa belum ada yang melakukan penelitian serupa.

 “Tidak ada yang meneliti ini karena orang-orang menganggap permainan anak-anak sekadar main-main. Karena tidak ada yang mendokumentasi, sebagian permainan ini hilang,” ujar Zaini.

“Saya memainkan permainan-permainan tradisional semasa kecil, tapi saya juga enggak ingat semuanya. Ada yang lupa bagaimana permainan itu dimainkan, apa aturan mainnya, dan lagu-lagu apa yang dinyanyikan sebagai pengiringnya.”

 “Harus ada orang yang mempelajari dan melestarikan permainan-permainan ini semua,” tambahnya.

Sebagai bagian dari penelitiannya, Zaini mengunjungi berbagai desa dan komunitas tradisional yang masih mengajarkan dan memainkan beragam permainan tersebut.

Di Jawa Barat yang merupakan provinsi asalnya saja, Zaini berhasil mendata, mendokumentasikan, dan mempelajari sekitar 340 dolanan tradisional.

Setelah mengunjungi beberapa provinsi lain, ia menemukan bahwa meski sebagian permainan hanya ada di daerah tertentu, ada pula yang dapat ditemukan di tempat-tempat lain dengan nama yang berbeda-beda berikut sedikit modifikasi dalam memainkannya.

Penemuan ini memungkinkannya untuk melacak kemungkinan asal mula aneka permainan tersebut, bagaimana proses persebarannya ke seluruh nusantara, dan seperti apa evolusinya.

Mohamad Zaini Alif telah mendokumentasikan lebih dari 2.600 permainan tradisional dari seantero Indonesia. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Penelitian Zaini sempat membawanya ke Belanda. Di sana ia menemukan banyak foto, dokumen, dan buku karya para pejabat dan ilmuwan kolonial Belanda yang menyebutkan bukan saja permainan-permainan yang masih ada sampai sekarang, tetapi juga yang telah terlupakan.

Ia juga berangkat ke Vatikan untuk mempelajari dokumen-dokumen yang disimpan oleh para pendeta Katolik, serta berburu arsip sampai ke Inggris.

Terdapat berbagai catatan dan referensi tentang aneka dolanan tradisional yang disusun berdasarkan instruksi Stamford Raffles, yakni ketika ia menjadi letnan-gubernur Inggris di Jawa dari tahun 1811 hingga 1816, serta di Bencoolen — sekarang Bengkulu — antara tahun 1818 dan 1824.

Menurut Zaini, penelitiannya menunjukkan bahwa sekitar 30 hingga 40 persen dari seluruh permainan tradisional yang disebutkan dalam berbagai buku dan manuskrip tersebut telah hilang.

 “Kita cuma bisa menebak-nebak bagaimana memainkannya,” ujar Zaini.

MELIBATKAN MASYARAKAT

Selepas meneliti aneka permainan tradisional sebagai pusaka bangsa selama hampir dua dekade, Zaini yang kini berprofesi sebagai desainer dan dosen makin bertekad untuk memperkenalkannya kembali kepada masyarakat luas.

Ia mengawalinya dengan mengajari anak-anak di lingkungan sekitarnya untuk memainkan beberapa permainan tersebut.

 “Karena mereka sudah terbiasa main mainan modern dan video game, buat mereka permainan-permainan ini jadi sesuatu yang baru dan mengasyikkan, dan mereka senang sekali,” ujarnya.

Namun, tidaklah mudah bagi Zaini untuk melibatkan para orang tua, yang menurutnya berperan penting dalam melestarikan dan mewariskan aneka permainan ini berikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

 “Memang sulit. Mereka bertanya: ‘Untuk apa orang dewasa main permainan anak-anak?’ Butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka,” imbuhnya.

Para peserta acara Komunitas Hong di Bandung memainkan dolanan tepuk tangan tradisional. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Tak patah arang, Zaini terus meyakinkan para orang tua tentang kontribusi permainan-permainan tersebut terhadap tumbuh kembang fisik dan mental anak. Dia jelaskan pula kepada mereka bahwa aneka permainan tersebut penuh dengan simbolisme, sekaligus dirancang sebagai sarana penyampaian berbagai pelajaran hidup.

Ia pun menjelaskan betapa lirik berbagai lagu yang mengiringi permainan-permainan tersebut bukanlah tanpa makna, tetapi didasarkan pada falsafah yang mendalam dalam bahasa aslinya.

 “Saya tidak anti permainan dan gadget modern. Tapi gadget tidak bisa mengajarkan kepada anak-anak pelajaran hidup dan cara mencintai warisan budaya kita yang kaya ini. Mereka mengenali diri dan mengasah keterampilan mereka dengan cara melompat dan melempar batu,” ujarnya.

Ada sebagian dolanan yang memungkinkan anak-anak untuk melatih koordinasi tangan dan mata, kata Zaini, dan ada pula yang mengajari mereka arti penting kerja sama tim.

“Mereka belajar bahwa ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal bermain dengan adil. Mereka juga belajar kalau bermain curang itu ada konsekuensinya: teman-teman tidak akan mau main bareng lagi,” tambahnya.

Zaini percaya, beda halnya dengan permainan tradisional, beberapa gim video bahkan dapat merusak nilai-nilai hidup yang berharga seperti sikap adil dan kejujuran.

 “Yang semacam itu enggak bisa kita dapatkan dalam video game. Kita bisa pakai cheat code atau download modifikasi supaya lebih unggul dengan cara curang. Dan kita mendapatkan reward dari situ. Kita bisa menyelesaikan permainan dengan lebih cepat, lebih mudah, atau meraih skor yang lebih tinggi. Ketika dewasa, mereka jadi terbiasa untuk cari jalan mudah.”

Seiring waktu, usaha Zaini mulai membuahkan hasil. Makin banyak yang tertarik untuk bekerja sama dengannya dalam melestarikan permainan-permainan tradisional.

Seorang pemandu acara memberikan instruksi selagi para peserta acara Komunitas Hong di Bandung bersiap-siap memainkan berbagai dolanan tradisional. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Hal ini mendorong Zaini untuk mendirikan Komunitas Hong pada tahun 2003. Dalam berbagai permainan anak tradisional, istilah “hong” berarti pangkalan atau target.

Komunitas yang kini memiliki lebih dari 150 anggota ini secara teratur mengunjungi sekolah-sekolah, mengupayakan masuknya permainan-permainan tradisional ke dalam kurikulum.

Mereka juga menggelar festival dan mengadakan pelatihan serta tutorial online tentang tata cara memainkan berbagai dolanan tradisional serta bagaimana membuat alat-alat pendukungnya.

Zaini juga mendorong masyarakat di daerah lain untuk membentuk komunitas-komunitas serupa guna melakukan upaya-upaya lokal untuk menghidupkan kembali serta melestarikan permainan-permainan tradisional asli daerah mereka.

 “Perlahan-lahan orang-orang mulai mendukung upaya saya. Satu per satu anak-anak kembali bermain permainan tradisional,” ujarnya.

 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai satu usaha kreatif mengatasi polusi plastik di Bali.   

 Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

 

Source: CNA/ni(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement