Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Tradisi barongsai di Indonesia: Dari pelarangan, kebangkitan, hingga seruan pelestarian 

Sejak pelarangan barongsai dan liong dicabut pada tahun 2000, geliat seni pertunjukan ini kian bergairah dengan terlibatnya para pemain dari dalam dan luar komunitas etnis Tionghoa.

Tradisi barongsai di Indonesia: Dari pelarangan, kebangkitan, hingga seruan pelestarian 

Kelompok Naga Merah Putih tampilkan tarian barongsai di satu pusat perbelanjaan di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

BOGOR, Indonesia: Di ruang lapang pada satu bangunan bekas pabrik yang lama terbengkalai, beberapa anggota kelompok barongsai dan liong sedang berlatih, meliuk-liuk diiringi tabuhan gendang diselingi dentum nyaring simbal.

Di salah satu sudut, seorang penari tampak dilambungkan tinggi-tinggi ke udara oleh rekannya sebelum menjejak paha penari kedua.

Selang beberapa detik, sembari menjaga posisi lengan seolah-olah tengah menopang kepala barongsai, pemain utama melompat ke lantai lalu sigap berdiri kembali, menyiapkan momentum bagi pemain kedua untuk menganjungkan tubuhnya dengan dua tangan.

Saat ketibaan Tahun Baru Imlek, kelompok Naga Merah Putih kian intensif berlatih. Mereka berkumpul setiap sore di satu lahan kosong yang terletak 50 km di selatan Jakarta guna menyempurnakan rangkaian tarian yang akan mereka tampilkan. Merah dan putih pada nama kelompok ini tentu saja terinspirasi oleh warna bendera Indonesia.

Dengan kostum warna-warni dan suguhan gerak-gerik dalam aksi memukau, tarian singa atau barongsai merupakan tradisi Tionghoa yang sangat populer di negeri ini. Kehadirannya mampu memikat penonton dari beragam kalangan dan etnis.

Di Indonesia, mayoritas pemain barongsai justru non-Tionghoa. Dari 40 anggota kelompok Naga Merah Putih, misalnya, hanya dua orang yang berasal dari etnis tersebut.

"Hubungan kita sangat baik. Kita akrab. Sudah seperti saudara sendiri," ujar Januar, salah satu pemain barongsai dari etnis Tionghoa, kepada CNA.

Menurut pria berusia 29 tahun ini, sebagai orang Tionghoa ia memiliki apresiasi dan pemahaman yang lebih mendalam akan seni tradisi kuno ini, termasuk makna di balik tiap gerak dan sikapnya.

"(Pemain beretnis Tionghoa) bisa punya apresiasi dan pengetahuan yang lebih tentang barongsai. (Misalnya) ada (tata cara) mulai dari bagaimana kita masuk sampai kita keluar yang harus dipahami oleh pemain," jelasnya.

Januar, anggota kelompok Naga Merah Putih dari Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Menurut sebagian pihak, banyaknya pemain barongsai dan liong di Indonesia dari luar etnis Tionghoa menunjukkan daya tariknya yang universal. Sebagian lain meyakininya sebagai contoh toleransi dan kerukunan di negeri ini.

Beberapa pengamat pun berpendapat bahwa meningkatnya daya tarik barongsai di kalangan non-Tionghoa semestinya mendorong komunitas Tionghoa untuk lebih gigih melestarikan tradisi yang telah eksis berabad-abad lamanya ini.

MENGHIDUPKAN KEMBALI SEBENTUK SENI

Selama sekitar tiga dekade, menyusul meluasnya sentimen antikomunisme sejak tahun 1960-an, seluruh ekspresi budaya dan keagamaan bercorak Tionghoa dilarang oleh pemerintahan Soeharto, termasuk tarian barongsai dan liong.

Menurut Arifin Himawan, wakil sekjen Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI), hampir semua kelompok barongsai dan liong dibubarkan pada masa itu. Mereka yang bertahan hanya dapat berlatih secara rahasia serta tampil di klenteng-klenteng di hadapan segelintir penonton. 

Anggota kelompok Naga Merah Putih berlatih barongsai di dalam bangunan terbengkalai bekas pabrik di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Pada tahun 1998, kekuasaan Suharto berakhir. Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih lantas mencabut larangan tersebut, memungkinkan tari-tarian barongsai dan liong untuk ditampilkan pada Tahun Baru Imlek tahun 2000.

"Tiba-tiba saja ada euforia. Klub-klub (barongsai) muncul di mana-mana. Semua orang ingin menggelar barongsai. (Rombongan barongsai) tampil di mana-mana – di mal, acara nikahan, sampai acara ulang tahun," ujar Arifin kepada CNA.

Sayangnya, menghidupkan kembali sebentuk seni yang sekian dekade lamanya dilarang bukanlah perkara mudah. Hampir tak ada lagi yang mendalami tari-tarian ini di Indonesia saat itu. Bahkan kepala barongsai untuk pertunjukan pun sulit didapat.

"Kami terpaksa mempelajari gerakan-gerakannya dengan cara menonton VCD. Klub-klub yang punya kemampuan dana lebih bahkan mendatangkan pelatih dari luar negeri," tutur Arifin. 

Arifin Himawan, wakil sekjen Federasi Olahraga Barongsai Indonesia. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Adi, pelatih barongsai sekaligus salah satu orang Tionghoa Indonesia pertama yang bergabung dengan grup barongsai di awal tahun 2000-an, mengisahkan bahwa kelompoknya berburu kepala barongsai ke mana-mana sebelum menemukan satu yang sudah sangat tua.

Ia menambahkan, kepala barongsai itu berukuran besar dengan rangka yang terbuat dari bambu, sehingga berat untuk diangkat. Akibat beratnya kepala barongsai serta kurangnya pelatih, gerakan-gerakan yang dapat dilakukan sebagian besar anggota grupnya menjadi terbatas.

Pelatih barongsai, Adi (berdiri di kiri), memimpin murid-muridnya berlatih tari naga atau liong di satu bangunan terbengkalai bekas pabrik di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Meski demikian, antusiasme masyarakat Tionghoa kala itu tampak jelas, tutur Adi.

"Awalnya ngajak orang untuk bergabung itu gampang. Antusiasme orang-orang tinggi. Ada banyak pemain Tionghoa di grup saya. Tapi satu-satu (anggota beretnis Tionghoa itu) keluar karena nikah dan kerja," ujar Adi.

"Sekarang sulit (merekrut anggota). Di grup saya, tiap tahun kami enggak punya banyak pemain baru," lanjutnya, menambahkan bahwa hampir semua anggota barunya adalah orang non-Tionghoa.

DAYA TARIK UNIVERSAL

Guntur Santoso, salah satu pendiri kelompok Naga Merah Putih, memperkirakan bahwa 80 hingga 90 persen anggota grup-grup barongsai di Indonesia bukan keturunan Tionghoa.

"Yang etnis Tionghoa akhirnya lebih sibuk, misalnya berdagang, sekolah, sehingga kesempatan untuk latihan (dan) melakukan performance itu menjadi terbatas," paparnya kepada CNA.

Akan tetapi, menurut Guntur, fakta tersebut bukan sepenuhnya kabar buruk bagi seni pertunjukan ini, sebab mereka yang terus menggelutinya tentu memiliki komitmen yang lebih besar untuk memajukannya.

"Kita ada pemain barongsai yang pernah ikut kompetisi internasional dan menang. Itu cuma bisa terjadi kalau ada orang-orang yang punya komitmen untuk latihan, bukan orang-orang yang sibuk bekerja, belajar, lalu menganggap ini sekadar hobi," ujarnya.

Guntur Santoso, pengusaha dan salah satu pendiri kelompok Naga Merah Putih di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Dalam pandangan Guntur, latar belakang etnis anggota kelompok barongsai tak perlu dipersoalkan.

Ia percaya, orang non-Tionghoa pun dapat mencurahkan gairah yang sama untuk seni pertunjukan ini, serta menunjukkan apresiasi akan sejarah dan tradisinya.

"Orang Tionghoa bisa saja, misalnya, jadi ahli olahraga anggar walaupun itu bukan warisan leluhurnya. Sama halnya dengan orang non-Tionghoa yang punya keterampilan untuk perform barongsai atau untuk membuat kostumnya," ujarnya.

"Anda bisa lihat bagaimana tradisi (barongsai dan liong) ini sudah diterima secara universal."

Disampaikan oleh Firman, 27 tahun, bahwa ia telah berlatih dan ikut menampilkan barongsai sejak berumur 10 tahun, meski keluarganya non-Tionghoa. "Saya suka karena asyik. Ada unsur olah raga, pertunjukan, dan seni yang saya suka. Tapi yang paling penting itu persahabatan sesama anggotanya. Kami sudah seperti saudara," katanya.

Firman, salah satu anggota Naga Merah Putih. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Arifin dari FOBI mengatakan bahwa barongsai secara bertahap telah menjadi jalur karir yang menjanjikan bagi sebagian orang sejak diakui sebagai cabang olah raga oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia pada tahun 2013.

"(Barongsai) bukan lagi sekedar seni pertunjukan, tetapi juga prestasi. Kami mengadakan turnamen (barongsai) setiap bulan, kadang dua kali sebulan. Karena sudah ada turnamennya, para pemain jadi termotivasi untuk mempersiapkan diri dan latihan lebih teratur lagi," paparnya.

Meski sebagian besar pemain barongsai saat ini bukan orang Tionghoa, Arifin percaya adanya turnamen mampu menjaga seni ini agar tetap berakar pada sejarah dan tradisi.

"Atlet-atlet ini bukan cuma dinilai dari kemampuan akrobatik dan power-nya, tapi juga dari cerita dan makna di balik gerakannya, juga seberapa baik mereka meniru kebiasaan alami makhluk ini, yang (semua itu) sudah menjadi aspek penting dari olah raga ini selama berabad-abad," jelasnya.

SERUAN BAGI KOMUNITAS UNTUK LEBIH TERLIBAT

Meski demikian, Arifin tetap menyerukan agar komunitas Tionghoa Indonesia lebih memperhatikan seni tradisi ini.

"Kami masih butuh dukungan dari komunitas Tionghoa karena ini warisan budaya. Masyarakat Tionghoa harus punya rasa memiliki dan mendukung klub-klub barongsai dan atlet-atlet di daerahnya supaya bisa lebih berprestasi lagi," ujarnya.

"Mereka bisa terlibat sebagai pemain, sebagai pengurus klub, sebagai donator atau memberikan ruang bagi para pemain berbakat dan hebat ini dengan cara meminta mereka untuk tampil."

Para anggota Naga Merah Putih saat tampil di satu pusat perbelanjaan di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Menurut Guntur selaku salah satu pendiri Naga Merah Putih, semua kembali kepada rasa kepemilikan tiap-tiap individu terhadap kesenian ini.

"Apakah mereka merasa tradisi ini perlu dilestarikan? Saya sendiri merasa tradisi ini layak dilestarikan. Apa kita perlu terlibat langsung untuk melestarikannya? Saya pendukung gagasan ini, dan itu alasannya saya ikut terlibat walaupun saya punya kesibukan lain," ujar Guntur yang juga menggeluti bisnis kertas dan percetakan.

Akan tetapi, Januar yakin komunitas Tionghoa di Indonesia akan terus menaruh perhatian terhadap kesenian ini.

"Ada para mantan pemain dari etnis Tionghoa yang stop latihan rutin karena punya kesibukan lain, tapi kalau ada acara besar kayak Cap Go Meh, mereka siap untuk pakai lagi kostum barongsai dan liong," ujarnya.

"Ada orang Tionghoa yang lebih milih (menampilkan) barongsai di acara keluarga dan kumpul-kumpul daripada hiburan lain. Ini membuktikan kalau mereka masih peduli sama tradisi ini."

Pertunjukan barongsai oleh kelompok Naga Merah Putih di satu pusat perbelanjaan di Bogor, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai bagaimana Maluku Utara menjadi provinsi paling bahagia di Indonesia.   

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

 

Source: CNA/ni(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement