Gaung sunyi bengkel gong terakhir di Kota Bogor

Perbaikan gong melibatkan pemanasan dalam tungku. Gong Factory, Bogor, Jawa Barat, 5 Februari 2023. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
BOGOR, Jawa Barat: Bertolak dari keramaian lalu lintas Kota Bogor, Jawa Barat, dentang-dentang logam mulai terdengar.
Gema itu bersumber dari satu bangunan. Kian dekat, kian nyaring terdengar. Dan kian jelas pula terlihat tumpukan lembar-lembar logam di lantai tanahnya. Di sini, alat musik perkusi gong dibuat atau diperbaiki.
Bernama Gong Factory, inilah satu-satunya bengkel gong yang masih bertahan di Bogor, Jawa Barat. Menurut Krishna Hidayat, pemiliknya yang berusia 43 tahun, bengkel ini sudah ada sejak tahun 1820.

Lembar-lembar logam tadi, yang terbuat dari campuran perunggu dan timah, siap dibentuk menjadi gong. Akan tetapi, satu dari dua pekerja yang terbilang mahir melakukannya tengah absen ketika beberapa waktu lalu CNA mengunjungi bengkel ini di hari Minggu.
"Teman saya enggak jadi datang karena lagi kerja bangunan hari ini," ujar Hidayat, pekerja senior Gong Factory, kepada CNA.


Kekurangan satu tenaga ahli, yang dapat dilakukan oleh pria berusia 55 tahun itu bersama tiga pekerja lain yang masih pemula hanyalah memperbaiki beberapa gong rusak milik beberapa pelanggan.
Kepada CNA, Hidayat menjelaskan bahwa di kota itu hanya dia dan rekannya yang absen itu sajalah yang cukup terampil untuk menempa gong dengan tingkat ketelitian yang tepat sehingga nada dan kualitas yang diharapkan dari alat musik tersebut dapat tercapai.


Ia menambahkan, kualitas gong bergantung pada suhu tempa dan komposisi logam yang tepat, juga bentuk dan ketebalannya.
Menurutnya, dibutuhkan dua pekerja terampil dalam proses menempa gong baru, yang melibatkan pelentukan logam dengan cara dipukul dengan kekuatan tertentu agar tak sampai retak atau pecah.

Hidayat menjelaskan, satu orang bertugas membakar lempengan logam dalam tungku, sementara yang lain memalu besi dengan "ritme khusus" demi hasil tempaan yang halus.
"Itu harus dilakukan orang berpengalaman dan kerja samanya juga harus bagus," ujarnya.


Hidayat adalah pembuat gong generasi ketujuh di Gong Factory. Menurutnya, butuh waktu bertahun-tahun sebelum ia berhasil menguasai seni pembuatan gong yang telah diwariskan turun-temurun di keluarganya selama 300 tahun.
Hidayat mengatakan, tak banyak yang berubah sejak para pendahulunya pertama kali membuat gong. Kebanyakan alat dan teknik yang digunakan pun masih sama, tambahnya.
Yang kini berbeda, jelas Hidayat, hanyalah penggunaan alat tiup listrik yang mampu menghasilkan suhu yang lebih konsisten untuk proses tempa.


MASA JAYA TELAH BERLALU
Dituturkan Hidayat kepada CNA, kondisi bengkel saat ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa jayanya. Dulu, para musisi dan kolektor dari Indonesia maupun luar negeri harus antre untuk bisa memiliki instrumen buatan Gong Factory. Alat musik ini kerap digunakan dalam pertunjukan tari tradisional dan pagelaran wayang.
Tahun demi tahun berlalu, jumlah pelanggan pun terus menurun. Akan tetapi, ujian terberat bagi bengkel ini hadir di masa pandemi COVID-19 yang mengakibatkan kelesuan ekonomi.

Hidayat mengisahkan, situasi kian memburuk di penghujung 2020, memaksa bengkel ini untuk tutup sepanjang tahun berikutnya. Pada bulan Mei 2022, barulah pesanan datang kembali.
"(Selama pandemi COVID-19), keadaannya lebih parah. Pertunjukan-pertunjukan dilarang, (jadi) pesanan enggak ada. Jadi kita terpaksa bertahan pakai uang tabungan," kenangnya.
Ia menambahkan, ada masa ketika salah satu ruangan bengkel yang sebelumnya digunakan untuk memajang gong disewakan kepada bisnis penatu (laundry).
Para pekerja Gong Factory pun terpaksa mencari sumber penghasilan lain, seperti menjadi tukang bangunan atau pedagang kaki lima.

Ketika bengkel akhirnya dibuka lagi pada Mei 2022, hanya segelintir pekerja yang bersedia kembali.
Pesanan-pesanan gong baru pun datang, meski jumlahnya di bawah tingkat permintaan sebelum pandemi COVID-19.
Selain itu, harga perunggu dan timah, jenis logam yang dibutuhkan untuk membuat gong, telah meroket. Gong Factory terpaksa menurunkan margin keuntungan demi kepuasan pelanggan.


Menurut Hidayat, sang pembuat gong, ia tak punya gambaran sampai kapan bengkel ini dapat bertahan.
Ia juga khawatir tak ada yang dapat mewarisi kemampuannya, sehingga ia cemas akan masa depan seni pembuatan gong ini.
Tak banyak yang tertarik untuk mempelajari seni kriya kuno ini, bubuhnya.
Hidayat mengatakan bahwa kriya logam ini melibatkan kerja berat di tengah panas menyengat, sehingga tidak menarik bagi generasi muda.
"Saya sudah enggak punya penerus. Anak-anak saya semuanya perempuan, dan anak-anak muda yang tinggal di sekitar sini sekarang kayaknya enggak tertarik untuk bikin gong karena menurut mereka ini pekerjaan berat dan kotor," kata Hidayat.
Pemilik bengkel, Krishna Hidayat, berpendapat serupa. Ia mengaku kesulitan merekrut pekerja baru, dan merasa makin berat mempertahankan usaha ini.
"Kalau satu hari nanti Gong Factory sudah enggak ada, saya pasti sangat sedih karena tidak ada regenerasi... Tapi saya berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya."
Â
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai kesulitan organisasi Indonesia meneruskan bantuan kemanusiaan ke Myanmar dua tahun selepas kudeta militer. Â
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.