Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

'Tak lagi sendiri': Grup dukungan bantu obati luka akibat kematian orang tercinta

Sebagai grup dukungan pertama di Indonesia bagi mereka yang berduka karena kehilangan orang-orang terdekat, Grief Talk telah memperluas jangkauannya sejak dirintis pada tahun 2020.

'Tak lagi sendiri': Grup dukungan bantu obati luka akibat kematian orang tercinta

Pendiri Grief Talk, Nirasha Darusman (kiri), menghibur salah satu peserta acara luring kelompok dukungan ini pada Desember 2022. (Foto: Grief Talk)

JAKARTA: Sebanyak lebih dari 20 orang hadir dalam satu pertemuan daring untuk berbagi cerita tentang betapa terguncangnya mereka ketika orang-orang yang mereka sayangi meninggal dunia, juga tentang pilu yang menyertai rasa kehilangan itu.
 
Satu per satu, mereka bicara tentang anak, pasangan hidup, orang tua, atau saudara; ada yang telah bertahun-tahun berkalang tanah, ada pula yang baru tutup usia beberapa pekan lamanya.

Pada sesi Grief Talk tanggal 19 Januari itu, seorang perempuan muda menyampaikan gundahnya. Belum lama ini, ia wisuda tanpa kehadiran sang ayah yang telah lama tiada. Ada pula wanita yang bicara tentang rasa bersalahnya karena kerap tak sabar menghadapi putranya yang menyandang autisme, sebelum bocah itu meninggal dunia.

Satu perempuan lain menangis tersedu-sedu usai berkisah tentang mendiang ibunya yang wafat selang beberapa hari sebelum ia menempuh ujian akhir sekolah. Diliputi lara, ia mematikan sambungan videonya karena tak lagi sanggup berkata-kata.

Pendiri Grief Talk, Nirasha Darusman, yang selalu hadir memandu sesi demi sesi daring yang diadakan oleh grup dukungan ini, mendengarkan tiap cerita secara saksama.

Berusia 44 tahun, ibu dua anak ini kadang ikut meneteskan air mata. Kisah-kisah yang disampaikan terasa dekat, sebab ia telah kehilangan dua saudara kandung dan kedua orangtuanya dalam kurun waktu tujuh tahun.

Banyak peserta yang memiliki pengalaman serupa, dan mereka siap membangkitkan semangat lewat kata-kata menggugah di kolom percakapan tiap kali salah satu dari mereka sedang berbicara dalam sesi Grief Talk.

Nirasha menggagas kelompok dukungan ini pada bulan Desember 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda dan jumlah korban jiwa terus meningkat.
 
“Dunia terasa sempit. Orang-orang meninggal. Saat itulah keinginan untuk membantu orang lain muncul kembali,” ujar Nirasha kepada CNA. Ia menambahkan, idenya untuk membentuk kelompok dukungan di Indonesia bagi mereka yang sedang berduka telah terpikirkan sejak 2018.

Dalam dua tahun, ratusan orang telah menghadiri sesi daring Grief Talk yang kini dilakukan tiap dua pekan, dihadiri hingga puluhan peserta per pertemuan.

Kelompok dukungan ini menggelar kopi darat pertamanya Desember lalu, dan berencana untuk mengadakannya secara lebih teratur seiring meredanya pandemi.

BERMULA DARI KEBUTUHAN PRIBADI

Grup dukungan ini telah mempertemukan banyak orang yang tadinya memendam duka bertahun-tahun lamanya, sebagaimana halnya Nirasha.

Pada tahun 2007, ia kehilangan adik laki-lakinya yang mengidap HIV. Dua tahun kemudian, ayahnya meninggal dunia setelah sekian lama berjuang melawan bronkitis. Nirasha lantas kehilangan abangnya pada tahun 2013 akibat leukemia yang terlambat didiagnosis. Tak sampai tujuh bulan berselang, ibunya wafat pada tahun 2014 setelah mengalami serangkaian stroke sejak 2001.

Pun demikian, Nirasha tak sempat benar-benar mencerna semua kehilangan itu. Ia merasa tak seorang pun memahami apa yang ia alami. Orang-orang sekitar justru mendorongnya untuk terus tegar, mengikhlaskan mereka yang telah berpulang agar ia dapat melanjutkan keseharian apa adanya.

“Berat. Berat sekali. Saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi (semua kehilangan) itu,” ungkap Nirasha. 

Penggagas Grief Talk, Nirasha Darusman, merintis kelompok dukungan ini di masa pandemi COVID-19 pada tahun 2020. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Beranggapan bahwa menangis hanya akan mengusik bahkan membebani orang-orang di sekitarnya, Nirasha pun menyimpan duka seorang diri.

Kesedihan yang tersekat selama bertahun-tahun itu lantas meruak dalam bentuk lain.

“Saya jadi marah-marah terus. Puncaknya itu waktu saya nangis-nangis enggak jelas selama dua minggu, 80 persen waktu saya jaga (dihabiskan untuk menangis). Saya enggak ngerti kenapa saya sedih. Enggak bisa berhenti nangis saja,” ungkapnya.

Beban emosional yang teramat berat mendorongnya untuk mencari bantuan profesional pada tahun 2017. Dia didiagnosis menderita depresi ringan akibat bertahun-tahun lamanya memendam duka.

Beberapa bulan berikutnya ia gunakan untuk membaca buku-buku tentang cara mengatasi kesedihan yang belum terselesaikan. Solusi yang ia temukan adalah bergabung dengan kelompok dukungan, tempat ia dapat berbagi kisah duka dengan mereka yang mengalami hal serupa.

Akan tetapi, kelompok dukungan secara umum sulit ditemukan di Indonesia. Dan saat itu belum ada yang fokus mempertemukan mereka yang kehilangan orang-orang terdekat.

“Saya jadi mikir: ‘Apa saya buat saja ya?’ Tapi saya enggak pede. Dari mana mulainya? Bagaimana memulainya? Mental blocks-nya banyak,” ujarnya.

Nirasha memutuskan untuk menindaklanjuti pemikiran itu saat seluruh dunia diliputi pandemi.

“Saya memulai Grief Talk karena saya butuh. Saya membantu diri saya sendiri. Saya orang yang paling membutuhkannya. Selama pandemi, saya mikir: ‘Kalau ini saya mulai sekarang, saya bukan cuma bantu diri sendiri, tapi juga membantu orang lain’,” kenangnya.
 
Nirasha tak punya latar belakang psikologi. Ia bergelar sarjana sastra dan saat ini bekerja sebagai konsultan sumber daya manusia yang memberikan pelatihan di perusahaan-perusahaan.
 
Untuk saat ini, Grief Talk masih berupa kelompok informal, meski ada rencana untuk menghadirkan psikolog di sesi-sesi mendatang. 

TAK MERASA SENDIRIAN

Menurut sebagian orang yang telah mengikuti sesi Grief Talk, mereka merasa tak lagi sendiri.

Jihan Alfarel ingat betapa terpukulnya ia saat sang ayah meninggal akibat COVID-19 pada tahun 2021. Lima tahun sebelumnya, perempuan berusia 24 tahun ini kehilangan ibunya yang mengidap kanker payudara.

“Tiba-tiba saya jadi kepala keluarga. Adik saya masih sekolah dan saya harus ngasih nafkah dia. Saya sekaligus kehilangan orang yang dekat dengan saya. Cuma Papa tempat saya mengadu kalau saya ada masalah, dan tiba-tiba saja saya enggak punya siapa-siapa,” tuturnya kepada CNA.

Menurut Jihan, sulit baginya menemukan tempat mencurahkan isi hati karena tak ada kawan yang benar-benar memahami perasaannya. Upayanya mencari tempat berbagi mengantarkannya kepada Grief Talk.

“Saya merasa enggak sendirian. Ada lima belas orang lain dengan rasa sedih yang serupa. Mungkin memang itu tujuan dari Grief Talk. Supaya kita merasa kalau kita enggak sendirian,” ujarnya.

Sesi daring Grief Talk pada 19 Januari 2023 dihadiri oleh sekitar 20 peserta. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Dan semua merasa diterima di kelompok dukungan ini, meski rasa kehilangan sebagian peserta mungkin terkesan ringan dibandingkan sebagian yang lain.

Menghadiri sesi Grief Talk pertamanya di tahun 2021, Sarah Aurelia sekadar jadi pendengar. Perempuan 23 tahun ini merasa bahwa pengalamannya tidaklah sebanding dengan mereka yang telah kehilangan pasangan hidup atau anak. Ia kehilangan kakeknya yang telah lama wafat di usia 81 tahun.

“Kedua kalinya saya gabung, ada yang cerita tentang kehilangan neneknya. Karena cerita saya mirip, saya memutuskan untuk ngomong,” kata Sarah kepada CNA.

Menurutnya, itu kali pertama dia bicara secara terbuka tentang rasa kehilangan akan kakeknya yang begitu dekat di hati; dia tidak pernah membahas hal tersebut dengan teman maupun keluarga.
 
“Saya enggak nyangka bisa ngomong sampai 45 menit. Sesekali saya berhenti terus nangis dan lanjut ngomong sesenggukan. Saya tadinya enggak sadar kalau opung saya itu bagian yang sangat penting dalam hidup saya, bahwa kehilangan dia punya efek yang mendalam buat saya dan saya belum memprosesnya dengan baik (karena) umur saya waktu itu baru 16 tahun,” Sarah menjabarkan.

“Melalui Grief Talk, saya menyadari boleh-boleh saja berduka meskipun Opung sudah tujuh tahun enggak ada. Saya jadi merasa nyaman dan yakin bahwa yang saya alami itu enggak salah.”

Sesi Grief Talk biasanya berlangsung tiga hingga empat jam, dan berakhir larut malam setelah semua peserta diberi kesempatan bicara. Nirasha mengatakan bahwa ia tidak pernah membatasi berapa lama peserta boleh berbagi cerita.
 
Menurut pendiri Grief Talk tersebut, satu sesi bahkan bisa berlangsung hingga dini hari, seperti saat COVID-19 varian Delta memakan banyak korban di Indonesia pada pertengahan 2021.

Tak ada pula tekanan untuk berbicara jika memang belum siap, seperti halnya Sarah ketika hadir di sesi pertamanya.
 
“Orang-orang berbagi tentang rasa kehilangan, tapi mereka juga bicara kalau mereka bersyukur punya komunitas ini,” ujar Nirasha. “Karena cuma di Grief Talk ini mereka merasa dikuatkan, bukan dihakimi, bukan dicemooh karena bersedih. Itu tujuan saya.”

MELUAS DAN BERKEMBANG

Seiring waktu, grup dukungan ini telah menjadi satu komunitas yang terus berkembang. Ada yang hadir secara rutin, menyampaikan sejauh mana mereka telah mengatasi rasa kehilangan, sekaligus memberi dukungan kepada siapa pun yang baru bergabung.
 
Salah satu faktor pendukung perkembangan kelompok ini adalah media sosial yang memungkinkan Grief Talk untuk proaktif menyebarkan edukasi tentang kesehatan mental. Informasi terkait sesi-sesi yang akan datang pun tersaji di berbagai akunnya. Kabar dari mulut ke mulut turut memperluas jangkauan ketika mereka yang pernah mengikuti sesi Grief Talk menceritakan pengalaman mereka kepada orang lain.

Beberapa peserta, seperti Jihan dan Sarah, sangat terkesan dengan kelompok ini. Setelah menghadiri beberapa sesi, mereka menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan mendedikasikan waktu serta tenaga guna mengembangkannya.

Keduanya kini membantu Nirasha mengelola akun-akun media sosial Grief Talk, mengisinya dengan berbagai konten edukasi yang relevan. Sebelumnya, Nirasha menggunakan akun media sosial pribadinya untuk berbagi informasi tentang grup ini.

“Masyarakat merasa kalau kita kehilangan seseorang maka kita harus ikhlas. Tapi kadang kita menangis itu bukan karena tidak ikhlas, tapi karena memang kangen. Apa itu salah?” ujarnya.

“Berduka dipandang negatif. Dianggap tidak layak. Tapi tidak banyak yang sadar bahwa ketika kita tidak memproses kesedihan dengan semestinya, hal itu justru bisa mengganggu kesehatan. Saya menyediakan ruang dan tempat bagi mereka yang berduka, sekaligus mengedukasi orang-orang bahwa yang namanya berduka secara sehat itu ada.”

 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini tentang bagaimana masyarakat Tionghoa Indonesia melestarikan tradisi barongsai.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

 

Source: CNA/ni(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement