Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Asa tersisa bagi anak-anak yatim korban COVID-19 di Indonesia

Hampir 34.000 anak Indonesia kehilangan salah satu atau kedua orangtua mereka akibat COVID-19. Banyak dari mereka juga putus sekolah. Cita-cita mereka telah kandas. Program Insight CNA mengulas mengenai ancaman bagi masa depan generasi muda Indonesia.

Asa tersisa bagi anak-anak yatim korban COVID-19 di Indonesia
Kakak beradik Dona dan Beni, 17 dan 11 tahun, kehilangan ibunya karena COVID-19 pada Juli 2021. Ayahnya menelantarkan mereka, dan kini keduanya tinggal bersama neneknya.

JAWA TIMUR: Pada Agustus 2021, gadis berusia 17 tahun, Tasya Aprilia Agatha, kehilangan ayahnya karena COVID-19. Peristiwa itu membuat keluarganya harus berjuang untuk bertahan hidup.

Ayahnya adalah kurir pengantar barang dan pencari nafkah utama, dengan penghasilan yang pas-pasan untuk keluarganya setiap bulan. Akibat kematiannya, keluarganya butuh sumber pemasukan lain, dan Tasya harus turun tangan.

Enam hari seminggu, Tasya harus bangun pukul 4 pagi untuk membantu ibunya di warung makanan, dilanjutkan dengan sekolah dan bekerja di sebuah kafe. Dia hanya tidur empat jam setiap harinya.

"Saya bekerja karena ingin membantu ibu dan membayar uang sekolah," kata dia. "Gaji saya bisa untuk pengeluaran saya sendiri. Saya nggak perlu minta ibu lagi."

Siswa SMA di kota Kediri, Jawa Timur, ini bercita-cita untuk bisa kuliah dan menjadi pengusaha sukses. Tapi dengan jadwalnya yang luar biasa padat, nilainya di sekolah anjlok. 

Tasya Aprilia Agatha membantu ibunya, Sumini, mempersiapkan warung makanan pada pagi hari.

Banyak anak-anak lainnya di Indonesia putus sekolah di tengah pandemi.

Berdasarkan laporan Bank Dunia pada September 2021, sekitar 2 persen anak usia lima sampai 18 tahun yang tercatat di sekolah hingga Maret 2020, tidak lagi terdaftar pada November 2020. Jumlah ini mencakup 1,3 juta siswa.

Alasan paling banyak mengapa mereka putus sekolah adalah kekurangan uang untuk membayar iuran sekolah.

"Mungkin ada beberapa anak ini yang sekarang mendaftar kembali ... Tapi sepertinya banyak juga yang putus sekolah permanen dan disusul oleh anak-anak lainnya yang berhenti sekolah selama 2021," kata ahli pendidikan senior Bank Dunia, Noah Yarrow.

Program Insight mengeksplorasi dampak pandemi yang luas terhadap masa depan dan pendidikan anak-anak Indonesia.

KETIKA BELAJAR MENJADI SULIT

Bahkan bagi anak-anak yang masih sekolah, periode lockdown yang panjang jadi tantangan tersendiri ketika belajar harus dilakukan secara daring.

"Kalau ada yang nggak tahu, susah mau tanya, di-WA pun masih kurang paham," kata Tasya. "(Interaksi) langsung lebih baik."

Gurunya, Yurni, sepakat. Dia mengatakan, kebanyakan orangtua murid - yang berpenghasilan menengah ke bawah - juga tidak mampu memberikan apa yang sangat diperlukan siswa: Koneksi internet yang memadai.

"Terkadang ketika kami bertanya (kepada anak-anak), mereka bilang tidak bisa bergabung di kelas daring. Kami tanya kenapa, dan mereka mengaku kehabisan kuota internet," kata Yurni.

Walau sudah banyak sekolah yang dibuka kembali, mengejar pelajaran yang tertinggal oleh siswa jadi tantangan lainnya.

Sekolah di Indonesia ditutup seluruhnya pada Maret 2020 dan baru mulai dibuka kembali pada akhir 2021.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, hanya 30 persen anak Indonesia yang mencapai nilai minimum dalam tes membaca pada Program Penilaian Pelajar Internasional atau Programme for International Student Assessment yang dilaksanakan sebelum pandemi.

Laporan tersebut memperkirakan, penutupan sekolah akibat pandemi bisa membuat skor membaca siswa turun rata-rata antara 25 hingga 35 poin.

Laporan Unicef juga menyebutkan bahwa meningkatnya angka putus sekolah akibat penutupan sekolah membuat anak-anak berisiko terjerumus dalam perkawinan di bawah umur dan tindakan eksploitatif lainnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menyadari bahwa perkawinan anak di bawah umur dan pekerja anak sedang "meningkat" akibat "tekanan ekonomi" yang tak terhindarkan akibat pandemi.

"Kita perlu bersama membangun support system, untuk lingkungan yang aman dan nyaman bagi mereka," kata dia.

Ketika anak-anak putus sekolah, mereka tidak punya pilihan lain selain harus bekerja. Tapi setelah mendapatkan penghasilan, beberapa dari mereka memilih tidak bersekolah lagi.

Contohnya Rizki, 10 tahun, yang bekerja sebagai badut jalanan di kota Depok, Jawa Barat, selama satu tahun.

Uang yang diperolehnya - sekitar dua juta rupiah (S$190) per bulan - digunakan untuk membantu membayar kontrakan yang ditempatinya bersama kakaknya yang berusia 21 tahun, Iksan, dan istri kakaknya, Endah.

Endah telah mencoba membujuk Rizki untuk sekolah agar dia bisa melamar pekerjaan yang lebih baik di masa depan. Tapi ketika ditanya apakah ingin melanjutkan sekolah, Rizki mengatakan: "Nggak, nggak mau. Kami butuh uang untuk bayar kontrakan."

Rizki, 10 tahun, kabur dari ayah tirinya yang kasar untuk tinggal dengan kakaknya.

BANTUAN UNTUK PARA PENGASUH

Kondisi semakin buruk bagi anak-anak yang ditinggalkan tanpa seorang pun pengasuh untuk menjaga mereka. Diperkirakan 34.000 anak Indonesia kehilangan salah satu atau kedua orangtua mereka karena COVID-19.

Untuk melindungi anak-anak yatim piatu ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan undang-undang guna menemukan pengasuh pengganti, diutamakan keluarga terdekat.

Menurut Menteri Bintang, sebuah tim yang dikepalai oleh Dinas Sosial di daerah-daerah akan memastikan menemukan "pengasuh pengganti yang tepat".

"Kami harus memastikan anak-anak ini terlindungi, dan ... tidak terjadi penelantaran di kemudian hari," kata dia. "Kami harus memastikan mereka tidak akan terjadi eksploitasi dan trafficking."

Bahkan jika pengasuh yang tepat berhasil ditemukan, bantuan keuangan sering kali diperlukan.

Kakak beradik Dona dan Beni, masing-masing berusia 17 dan 11 tahun, kehilangan ibunya karena COVID-19 pada Juli 2021. Setelah dia meninggal, ayah mereka meninggalkan anak-anak itu untuk diasuh oleh bibi ibunya yang berusia 72 tahun, Suparti, yang mereka panggil nenek.

Suparti menyayangi dan merawat mereka dengan ikhlas, tapi dia harus menanggung biaya tambahan.

"Kadang anak yang paling kecil bertanya saya masak apa ... jika dia mau saya masak rawon, misalnya, saya akan bilang kita masak yang lain saja. Kalau tidak, uangnya tidak akan cukup untuk satu bulan," kata Suparti.

Untuk meringankan beban keuangan Suparti dan membayar iuran sekolahnya, Dona, siswa SMA di Kediri, membantu dengan berjualan sate di malam hari. Sementara Beni, mendapat bantuan dana dari pemerintah setempat untuk membayar sekolahnya.

Suparti mempersiapkan makan untuk anak-anak setiap hari sejak keponakannya meninggal.

Menurut Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar, sekitar 300 anak di kotanya telah kehilangan orangtua akibat pandemi.

Untuk membantu mereka dan para pengasuh, pemerintah setempat membuat program bernama "Program Keluarga Harapan", yang diluncurkan pada 2022 dengan bantuan pihak swasta.

Program itu mencakup pembentukan rekening bank bagi warga penerima, yang dananya akan ditransfer oleh pemerintah setempat "setiap bulan atau setiap tahun", kata walikota.

Save the Children Indonesia juga mengerjakan proyek yang sama. Di provinsi Jawa Barat, organisasi nonpemerintah ini bekerja sama dengan Dinas Sosial setempat untuk membantu anak-anak yang kehilangan orangtua mereka.

MENGHADAPI ANCAMAN BARU DENGAN HARAPAN

Pada Januari 2022, hampir setengah populasi Indonesia sudah divaksinasi, kasus COVID-19 telah menurun secara signifikan sejak Juli 2021, ketika Indonesia berjuang melawan gelombang kedua infeksi yang dipicu varian Delta.

Angka kasus baru COVID-19 di Indonesia pernah turun di bawah 100 pada Desember, namun sejak itu mulai meningkat lagi dengan banyaknya penderita varian Omicron.

Pada Desember 2021, Indonesia juga mulai memberikan vaksin kepada anak usia enam hingga 11 tahun untuk mencegah penularan virus.

Pendidikan bagi anak-anak juga mendapatkan perhatian yang sama, Yarrow mengatakan bahwa ada "banyak pelaku dan pemerintahan dari berbagai tingkatan mencoba memberikan bantuan".

"Mengejar ketertinggalan pelajaran selama COVID dan meningkatkannya lebih baik lagi adalah tantangan besar," kata dia.

Ini adalah sesuatu yang harus dihadapi pemerintah Indonesia, di tengah persiapan menghadapi kemungkinan gelombang baru infeksi COVID-19. "Kami berdoa itu (gelombang baru COVID) tidak akan terjadi dan semuanya akan kembali normal," kata Abdullah.

"Jumlah anak putus sekolah sebenarnya menurun. Tapi karena COVID-19, angkanya meningkat lagi. Kami harus menjaga angka itu (agar tidak naik lagi) karena investasi terbaik adalah pendidikan bagi anak-anak."

Tasya berharap bisa kuliah di fakultas manajemen bisnis

Untuk saat ini, Tasya masih terus berjuang, berharap masih punya sisa tenaga untuk melanjutkan sekolahnya. Masih ada asa tersisa baginya: Ibunya, Sumini, akan menjadi salah satu penerima donasi dalam skema bantuan baru pemerintah kota Kediri.

Perempuan berusia 47 tahun itu sendiri putus sekolah saat SMA. Yang Sumini inginkan adalah Tasya lebih baik dari dirinya dan melanjutkan mengejar cita-cita walau tantangan menghadang.

"Jangan seperti ibumu ... Pendidikan itu utama," kata Sumini yang sekarang menjanda. "Doa saya, dia bisa menjadi seseorang yang berguna bagi dirinya dan orang lain."

Saksikan episode Insight mengenai kisah ini di tautan ini.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai polisi Indonesia yang menggelar turnamen balap untuk membasmi balapan liar.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement