Trauma masih hantui bocah 5 tahun yang sempat terkubur 2 hari di reruntuhan gempa Cianjur
CIPONGKOR, Jawa Barat: Begitu mendengar suara orang asing mendekat, Azka Maulana Malik langsung lari ke pangkuan ayahnya, menangis sambil membenamkan wajah di dada ayahnya.
"Maafkan dia, yah," kata ayah Azka, Muhammad Eka kepada CNA, sembari menjelaskan bahwa kehadiran orang asing membuat bocah lima tahun itu teringat saat-saat ketika dia diselamatkan dari reruntuhan rumahnya yang hancur akibat gempa bumi. Azka terjebak selama dua hari di bawah reruntuhan beton, besi dan puing-puing.
Azka adalah korban selamat dari gempa 5.6 magnitudo yang meluluhlantakkan Kabupaten Cianjur, Indonesia, pada 21 November tahun lalu. Gempa tersebut menewaskan 603 orang, termasuk ibunda Azka, Eti Suryati, dan nenek dari sisi ibunya, Endah.
"Banyak hal yang bisa mengembalikan kenangan buruk yang dialaminya," kata ayahnya yang berusia 38 tahun di dalam rumah kayu kecil milik nenek Azka di Cipongkor, sebuah desa terpencil di pinggiran bendungan pembangkit listrik, sekitar dua setengah jam berkendara dari lokasi gempa di Cianjur tempat mereka pernah tinggal.
Mendengar suara keras membuat Azka takut. Sebuah getaran kecil saja di rumah kayu tempatnya kini tinggal sudah cukup membuat dia terkejut.
Azka, kata ayahnya lagi, kerap menatap langit-langit rumah saat hendak tidur. Dia khawatir atap di atas kepalanya kapan saja bisa rubuh menimbunnya.
Anak itu terkadang sangat paranoid tertimpa atap rumah, membuatnya memaksa tidur di dalam tenda oranye yang telah didekorasi dengan gambar-gambar karakter kartun favoritnya. Tenda itu telah menjadi bangunan permanen yang berdiri di pekarangan rumah neneknya.
"Kalau nggak begitu, dia nggak mau tidur," kata Eka soal Azka yang memilih tidur di luar rumah. "Tapi dia anak yang kuat," kata Eka, tetap yakin Azka suatu saat nanti akan mampu menghadapi traumanya.
KEJADIAN MENGERIKAN
Para peneliti meyakini ada garis patahan yang belum terpetakan tepat di bawah Rawa Cina, desa di Cianjur tempat keluarga Azka tinggal dan tanah kelahiran ibunya, Suryati.
Sekitar 80 persen rumah di Rawa Cina hancur total saat gempa mengguncang sekitar jam 1.30 sore pada 21 November lalu. Sebagian besar bangunan rata dengan tanah.
Azka sedang bersama ibu dan neneknya saat gempa terjadi. Di hari yang nahas itu, ayahnya, Eka, sedang keluar kota untuk bekerja sedangkan kakaknya yang remaja, Elsa Rahmawati, dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Eka mengatakan, Azka sendiri tidak banyak mengingat gempa 5.6 magnitudo itu atau ketika lantai kedua rumahnya ambruk menimpa lantai di bawahnya, tempat Azka sedang berbaring di tempat tidur sambil menonton video dari tablet.
Getaran gempa membuat Azka terlempar dari tempat tidur, bersama dengan bantal favoritnya. Rangka tempat tidur dan bantal itulah yang menyelamatkan Azka dari tertimpa beton.
Selama dua hari, tubuh Azka tidak bisa bergerak di kondisi yang nyaris gelap gulita. Kepala dan sebagian besar tubuhnya terhimpit reruntuhan. Namun, dia masih mampu menggerakkan salah satu tangannya. Kondisi ini memungkinkannya meraih botol minuman yang selalu diletakkan ibunya di samping tempat tidur, membuat dia tetap terhidrasi.
"Ujang nangis manggil-manggil ibu. Ujang nangis manggil kakak. Ujang nangis manggil nenek. Tapi nggak ada yang datang," kata Eka, menirukan cerita Azka kepadanya. Bocah lelaki itu bahkan lebih ketakutan lagi ketika ada gempa susulan.
PENYELAMATAN YANG AJAIB
Lokasi kerja Eka 200 kilometer dari lokasi gempa. Ketika berita sampai kepadanya bahwa gempa telah menghancurkan Rawa Cina, dia naik bas pertama ke Cianjur dan tiba sekitar jam 8 malam.
Eka kemudian menyisir desanya yang telah hancur, dengan putus asa mencari rumahnya di tengah reruntuhan dan kekacauan yang ada.
"Saya ngenalin rumah saya dari keramik (lantai) hijaunya dan jaket kulit merah yang biasa saya gantung di teras depan rumah," katanya kepada CNA.
Eka sangat berharap keluarganya bisa selamat. Tapi harapannya pupus saat tim penyelamat mengeluarkan jasad istrinya dari reruntuhan sekitar jam 4 pagi keesokan harinya.
Saat teringat Azka, dia bersiap untuk yang terburuk. "Bagaimana mungkin anak kecil selamat dari bencana seperti ini?" pikir Eka, apalagi setelah melihat tim penyelamat mengeluarkan banyak jasad korban gempa dari reruntuhan di sekelilingnya.
Dua hari setelah gempa mengguncang, di saat semua asa seakan memudar, seorang tim penyelamat melihat Azka. Untuk sesaat, dia merasa tidak yakin apakah anak itu hidup atau mati, sampai Azka membuka mata dan menatapnya. Butuh beberapa jam sampai akhirnya Azka berhasil diselamatkan.
Kisah Azka menjadi tajuk utama pemberitaan di seluruh Indonesia dan digadang sebagai keajaiban, pertanda masih adanya harapan di hari-hari Cianjur yang kelam.
Seiring meningkatnya popularitas Azka sebagai bocah yang menantang maut, para pekerja medis, relawan, penyintas gempa, serta para menteri dan pejabat ingin bertemu dengannya.
Kepada CNA, warga Rawa Cina mengatakan kisah penyelamatan Azka yang ajaib telah menarik perhatian para pekerja kemanusiaan dan pejabat pemerintah untuk datang ke desa yang hancur lebur itu.
Dengan kondisi sebagian besar rumah, bangunan dan sekolah di Rawa Cina luluh lantak, pemerintah kini tengah merelokasi warga desa terpencil itu ke wilayah yang lebih aman dan menyediakan mereka rumah gratis.
JALAN PANJANG MENUJU PEMULIHAN
Para dokter mengatakan kepada Eka bahwa putranya tidak mengalami luka serius, walau sebelumnya Azka sempat kesulitan bernapas karena dua hari dikelilingi udara sesak dan lembab yang sarat debu dan partikel halus dari puing-puing. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah luka psikologis yang dialaminya.
Kakak Azka, Elsa, juga menderita trauma psikologis. "Sampai hari ini, dia nggak mau menginjakkan kaki di Cianjur. Bahkan untuk ziarah ke makam ibunya sekalipun," kata Eka, sambil menambahkan bahwa Elsa juga menderita fobia terhadap bangunan bertingkat, takut kalau-kalau ambruk menimpanya.
Untuk saat ini, Azka dan Elsa mulai terbiasa hidup di rumah baru mereka yang dikelilingi sawah, di desa tempat ayahnya dibesarkan.
"Azka terlihat senang bermain dengan sepupu-sepupunya. Dia juga dapat kawan baru di sekolah," kata ibunda Eka, Cucun, kepada CNA. "Dia merasa aman di sini karena jauh dari lokasi gempa dan bencana."
Kata Cucun, Azka juga mulai merelakan kepergian ibunya. "Dia suka makan seblak, karena mengingatkan pada ibunya yang jualan seblak di warung depan rumah mereka," katanya, merujuk pada makanan gurih dan pedas khas Jawa Barat.
Masih trauma dengan kesendiriannya selama di bawah reruntuhan, Azka tidak pernah melepaskan pandangannya dari Eka, membuat pekerja konstruksi itu tidak bisa pergi mencari kerja.
"Sejak ibunya meninggal, dia jadi sangat dekat dengan saya. Dia nggak pernah meninggalkan saya sendirian. Saya juga nggak akan jauh-jauh dari dia, setidaknya sampai dia sembuh (dari trauma)," kata Eka, Azka tertidur di pangkuannya.
"Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan anak ini? Saya nggak akan pernah meninggalkan dia. Dia ini jimat saya."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai kesepakatan para pakar menyoroti tantangan dan prioritas ketua baru PSSI.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.