Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Kecewa vonis bebas polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan, pengacara korban serukan dakwaan baru

Kecewa vonis bebas polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan, pengacara korban serukan dakwaan baru
Suporter sepak bola pada 3 Oktober 2022 menyalakan lilin di luar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, untuk mengenang para korban kerusuhan dalam pertandingan antara Arema vs Surabaya. (Photo: Reuters/Willy Kurniawan)

JAKARTA: Para pengacara yang mewakili korban tragedi Stadion Kanjuruhan menyerukan dakwaan baru terhadap para polisi yang bertugas dalam insiden terparah dalam sejarah sepak bola dunia yang menewaskan 135 orang tersebut.

Seruan ini disampaikan selang beberapa hari setelah Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua polisi senior, sementara terdakwa lainnya dijatuhi hukuman 18 bulan penjara atas keterlibatannya dalam insiden 1 Oktober 2022 lalu di Stadion Kanjuruhan, Kota Malang.

Kejaksaan Agung Indonesia menyatakan akan mengajukan banding atas vonis tidak bersalah tersebut. "Untuk mereka yang bebas, (jaksa) akan melakukan banding," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana kepada media setempat pada Sabtu (18 Maret). "Untuk (vonis) ringan, kami akan pelajari pertimbangan hukumnya terlebih dulu."

Imam Hidayat, pengacara yang mewakili beberapa keluarga korban mengatakan kepada CNA: "Kasus ini tidak konsisten sejak awal. Harapan kami satu-satunya penegak hukum bisa mengajukan dakwaan baru kepada mereka yang terlibat."

Sebelumnya, bertentangan dengan permohonan para keluarga korban, jaksa penuntut memutuskan menjatuhkan dakwaan kelalaian yang menyebabkan kematian kepada para tersangka.  

"Mereka seharusnya didakwa atas pembunuhan atau bahkan pembunuhan berencana karena mereka menyadari secara penuh akibat dari tindakan tersebut," kata Imam.

Pengacara yakin para terdakwa bisa dikenakan dakwaan pembunuhan, yang memuat hukuman lebih berat ketimbang dakwaan kelalaian. Dakwaan pembunuhan, kata dia, bisa menghasilkan keputusan yang berbeda.

Ketiga polisi tersebut dituduh memerintahkan anak buah mereka untuk menembakkan gas air mata ketika pertandingan Arema Malang dan Persebaya Surabaya. Kekalahan tim tuan rumah dari musuh bebuyutan mereka, membuat suporter Arema yang kecewa berhamburan ke tengah lapangan.

Penggunaan gas air mata di dalam stadion tertutup dilarang oleh induk organisasi sepak bola dunia, FIFA, karena berpotensi memicu kerusuhan.

Pengadilan Negeri yang sama sebelumnya telah memvonis ketua panitia pelaksana pertandingan, Abdul Harris, dan petugas keselamatan dan keamanan pertandingan, Suko Sutrisno, masing-masing 18 bulan dan 1 tahun penjara.

Mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang menyelenggarakan liga primer Indonesia, Akhmad Hadian Lukita, juga telah dinyatakan tersangka. Keterlibatannya masih dalam penyelidikan polisi dan belum sampai ke pengadilan.

"ADA INDIKASI PERADILAN SESAT"

Muhammad Isnur, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, organisasi yang mewakili keluarga korban lainnya, juga menyerukan dakwaan baru terhadap para terdakwa.

"Kami menyaksikan selama proses pengadilan, ada indikasi terjadinya peradilan sesat," kata Isnur kepada CNA.

Pengacara itu menyoroti bahwa mayoritas saksi di pengadilan adalah polisi, sehingga menyisakan ruang yang sangat sedikit bagi para korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian dari sisi mereka.

Ada juga masalah perbedaan vonis antara tiga terdakwa, walau saksi di pengadilan adalah orang-orang yang sama.

Hasdarmawan, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, telah divonis 18 bulan sementara Bambang Sidik Ahmad, Kasat Samapta Polres Malang, dibebaskan dari semua dakwaan walau keduanya sama-sama memerintahkan anak buah mereka menembakkan gas air mata ke arah suporter.

Polisi ketiga adalah Wahyu Setyo Pranoto, eks Kabag Ops Polres Malang. Pranoto adalah polisi paling senior dalam tugasnya menjaga keamanan pada pertandingan 1 Oktober lalu. Dia juga divonis bebas.

Seorang pria berdiri dekat gerbang yang rusak, dipenuhi grafiti bertuliskan “saudaraku dibunuh, “usut tuntas” dan “selamat jalan saudaraku” di dinding Stadion Kanjuruhan tempat terjadinya tragedi mematikan di Malang. (Photo: AP/Achmad Ibrahim)

Andi Irfan, pengacara lainnya yang mewakili para korban tragedi Kanjuruhan mengatakan vonis bebas itu "adalah tragedi bagi sistem peradilan (Indonesia)."

"Kami akan melakukan eksaminasi publik dan meminta pendapat pakar hukum untuk menimbang keputusan tersebut, apakah kredibel secara hukum atau tidak," kata dia kepada CNA.

Andi juga mengatakan, penyelidikan baru harus dilakukan kepada ketiga terdakwa. Dia menyerukan polisi menetapkan beberapa tersangka lainnya.

"Ada banyak polisi yang juga harus bertanggung jawab," kata dia. 

"ANAK-ANAKKU MENINGGAL SIA-SIA"

Walau marah, Devi Athok Yulfitri yang dua putrinya tewas pada tragedi Kanjuruhan, mengatakan vonis itu tidak mengejutkan dirinya.

"Saya sudah curiga pengadilan ini cuma formalitas, tapi dalam hati saya berdoa saya salah. Vonis itu sangat mengecewakan. Rasanya anak-anakku meninggal sia-sia," kata Devi.

Perempuan 43 tahun ini mempertanyakan keputusan menggelar pengadilan di Surabaya, bukan di Malang tempat tragedi terjadi. Keputusan itu membuat banyak dari keluarga korban sulit menghadiri pengadilan, karena butuh lebih dari 4 jam perjalanan pergi pulang.

Walau demikian, Devi telah menghadiri beberapa kali pengadilan demi menuntut keadilan bagi anak-anaknya.

"Pengadilan dijaga ketat polisi. Banyak korban dan keluarganya enggan untuk datang karena merasa tidak aman," kata Devi.

Suporter klub sepak bola Arema berkumpul di luar Stadion Kanjuruhan, Malang, berdoa untuk para korban tewas pada kerusuhan sepak bola di stadion itu pada 1 Oktober 2022, (Photo: AP/Achmad Ibrahim)

Beberapa keluarga korban mengaku diancam agar bungkam dan diperingatkan agar tidak berbicara di pengadilan atau kepada wartawan. Sejak saat itu, mereka meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Beberapa dari kami, keluarga para korban tewas, menerima telepon anonim dan pesan-pesan ancaman," kata pria yang putranya tewas dalam tragedi Kanjuruhan kepada CNA, menolak disebutkan namanya.

"Itulah mengapa tidak banyak yang secara terbuka menentang vonis tersebut. Tapi saya tahu, di dalam hati, semua orang merasakan hal yang sama. Tidak ada orang tua yang mau pembunuh anak mereka bebas."

Devi juga mengaku mendapatkan beberapa kali ancaman.

"Saya tidak akan bisa dibungkam. Yang saya inginkan hanya keadilan untuk anak-anak saya. Yang saya inginkan adalah para pelaku yang bertanggung jawab dihukum seberat-beratnya," kata Devi.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.  

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai polisi yang menggelar turnamen balap untuk membasmi balapan liar di jalanan.  

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement