Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

‘Sudah kelihatan hasilnya’: Perusahaan rintisan berupaya modernisasikan tani-ternak Indonesia

Dengan sensor dan kipas canggih hingga lokapasar daring yang mampu memotong peran tengkulak, sejumlah perusahaan rintisan memberdayakan petani dan peternak Indonesia.

‘Sudah kelihatan hasilnya’: Perusahaan rintisan berupaya modernisasikan tani-ternak Indonesia

Peternakan ayam di Banten ini dilengkapi sensor, mesin pakan, dan kipas yang dikendalikan lewat ponsel pintar. Teknologi ini dikembangkan oleh Pitik, suatu perusahaan rintisan di bidang agritech. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

JAKARTA: Arief Witjaksono terkenang betapa bersemangatnya ia ketika beberapa kawan mengajaknya ikut bisnis budi daya ayam pada tahun 2018.

Mereka meyakinkannya bahwa sebagai jenis daging yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, ayam punya jutaan target pelanggan dan prospek pertumbuhannya begitu cerah.

Arief lantas berpikir, "Tidak perlu ragu. Saya pasti bakal untung." 

Apa daya, malang pun menimpa. Ikhtiar terbaik tak bisa mencegah matinya banyak ayam hingga peternakan di pinggiran barat Jakarta itu rugi besar.

Arief lekas sadar bahwa peternakannya – sebagaimana kebanyakan peternakan di Indonesia – terlalu mengandalkan para pekerja dengan cara-cara tradisionalnya. Mereka menerapkan berbagai metode pemeliharaan unggas konvensional yang diwariskan secara turun-temurun tanpa dasar ilmiah yang memadai.

Peternakan ayam di Indonesia umumnya tidak dilengkapi termometer atau pengontrol kipas guna memastikan suhu optimal. Jadwal pemberian pakan pun cenderung serampangan, tergantung kehadiran dan kesigapan para pekerja.

"Peternakan-peternakan ini sangat tidak efisien," ujar Arif kepada CNA, lantas menambahkan bahwa sejak saat itu ia pun memutuskan untuk fokus memodernkan budi daya unggas di Indonesia.

Pada Juni 2021, Arief, yang saat itu terlibat dalam bisnis kelapa sawit keluarga, mendirikan perusahaan rintisan bernama Pitik. Tujuannya berupa penyajian dan pengembangan ilmu serta teknologi bagi para peternak ayam agar dapat menjalankan bisnis secara lebih efisien.

Hingga kini Pitik, yang berarti “ayam” dalam bahasa Jawa, telah bekerja sama dengan lebih dari 500 peternakan ayam di Indonesia. Masing-masing dilengkapi sensor, alat pembagi pakan, pemanas, dan kipas angin yang dapat dikendalikan dari jarak jauh lewat ponsel pintar.

Arief selaku direktur utama Pitik mengatakan bahwa berbagai teknologi ini terbukti dapat menurunkan tingkat kematian ayam. Selain itu, rasio konversi pakan – proporsi antara berat ayam dengan banyaknya pakan yang dikonsumsi – meningkat secara signifikan. Tim Pitik juga mempermudah peternak untuk meningkatkan skala bisnis mereka.

"Sebelum ada Pitik, ngurusin beberapa ratus ekor ayam saja kami susah, karena semuanya manual dengan cara-cara sederhana. Tapi dengan bantuan teknologi, kami bisa mengembangbiakkan sampai 35.000 bahkan 40.000 ekor ayam," kata Syuaeb, salah seorang pengguna teknologi Pitik.

Di peternakan di Banten ini, ayam diberi pakan melalui dispenser otomatis yang dapat dikendalikan lewat ponsel pintar. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Pitik menyewakan peralatannya kepada para peternak, atau meminjamkannya secara cuma-cuma bagi mereka yang bersedia menjual ayam hidup kepada Pitik dengan harga grosir.

Pitik hanyalah satu dari segelintir perusahaan rintisan yang bertujuan memodernkan sektor tani-ternak Indonesia. Nama lain mencakup Eratani, yang fokus pada produksi beras, dan eFishery, yang bergerak di ranah budi daya ikan.

Ketiga perusahaan rintisan di bidang teknologi tani-ternak (agritech) ini mencoba mengatasi masalah ketahanan pangan di tengah kian ekstremnya cuaca akibat perubahan iklim, serta masalah rendahnya hasil panen akibat metode-metode yang ketinggalan zaman.

MEREVOLUSI INDUSTRI

Ketahanan pangan merupakan tujuan jangka panjang eFishery, salah satu perusahaan agritech pertama di Indonesia.

Diluncurkan pada tahun 2013, eFishery menyediakan mesin pemberi pakan otomatis bagi para pembudi daya ikan. Fungsinya adalah menyalurkan pelet ke kolam pada interval tertentu sesuai jenis ikan dan siklus hidupnya.

Mesin-mesin ini dapat disetel agar terus berfungsi di cuaca apa pun, memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada budi daya ikan secara tradisional.

"Orang kan enggak bisa ngasih makan ikan saat hujan, saat sakit atau saat keluar rumah ke acara nikahan atau ngunjungin keluarga. Yang mereka lakukan (ketika sibuk) adalah ngasih pakan sekaligus di pagi hari, bukan tiga sampai lima kali sehari, atau malah enggak ngasih pakan sama sekali," jelas kepala bagian produk dan salah seorang pendiri eFishery, Chrisna Aditya, kepada CNA.

Pemberian pakan sekali sehari dalam jumlah besar dapat dikatakan mubazir, karena pelet yang tidak dimakan akan tenggelam ke dasar kolam. Selain itu, jika tidak diberi makan secara teratur, beberapa jenis ikan dapat melakukan kanibalisme.

Chrisna mengakui bahwa teknologi di balik mesin-mesin pemberi pakan otomatis eFishery tidaklah rumit. Bahkan mesin-mesin awal mereka hanya terbuat daripada drum plastik yang diberi bingkai aluminium dengan cara dilas di bengkel setempat.

Mesin pemberi pakan ikan otomatis karya perusahaan rintisan eFishery. (Foto: eFishery)

Meski sederhana, intervensi teknologi ini mampu meningkatkan produksi hingga 20-30 persen bagi para peternak ikan yang terdaftar dalam program eFishery. Jumlah pakan yang harus mereka beli pun berkurang drastis. Dari keseluruhan biaya produksi, pengeluaran untuk pakan dapat mencapai 60 persen.

Saat ini, eFishery bekerja sama dengan sekitar 200.000 pembudi daya ikan di seluruh Indonesia. Layanannya pun telah berkembang dengan adanya lokapasar daring tempat jual beli benih (telur ikan yang telah dibuahi), pakan, dan probiotik.

Di platform yang sama, para pembudi daya juga dapat menjual ikan mereka ke konsumen akhir secara langsung.

Pemasukan eFishery berasal dari penyewaan mesin pemberi pakan otomatis kepada para pembudi daya ikan serta dari potongan untuk tiap transaksi yang dilakukan lewat platform.

TANPA PERANTARA

Perusahaan rintisan lain di bidang agritech, Eratani, menawarkan lokapasar tempat para petani dapat membeli produk-produk pertanian dan menjual padi ke penggilingan serta produsen makanan. Akan tetapi, tidak seperti eFishery, Eratani belum menawarkan intervensi teknologi di lapangan.

"(Petani Indonesia) kalau panen padi masih pakai sabit. Jadi kami fokus ke mekanisasi beberapa proses," ujar salah seorang pendiri Eratani, Kevin Laksono, kepada CNA.

Menurut Kevin, banyak petani Indonesia ingin beralih dari metode pertanian tradisional yang sarat kerja manual ke penggunaan mesin yang lebih efisien untuk membajak tanah atau memanen padi. Namun, mereka terhambat kurangnya dana.

Maka dari itu, Eratani fokus pada pemberian pinjaman kepada para petani yang sebagian besar belum terlayani dengan baik di sektor keuangan atau bahkan belum memiliki rekening bank sama sekali.

Apik Supriyadi, 53 tahun, mengatakan bahwa sejak ia mulai bertani pada tahun 1994, ia mengandalkan modal dari rentenir dan tengkulak. Menurutnya, sebagian rentenir dapat meminta hingga ratusan kilogram beras untuk tiap satu juta rupiah yang dipinjamkan.

"Cuma petani yang punya sertifikat (tanah) yang bisa ke bank (untuk mengajukan pinjaman). Saya ini cuma buruh tani. Saya enggak punya surat-surat untuk dijadikan jaminan," tuturnya kepada CNA.

Menurut Apik, sejak menggunakan platform Eratani, ia tidak lagi kesulitan mendapatkan pinjaman untuk keperluan mekanisasi pertanian. Hasil sawah seluas 11 hektare miliknya pun meningkat hingga 20 persen.

Pinjaman dari Eratani bukan berupa uang tunai, melainkan kredit toko berbasis aplikasi yang dapat dimanfaatkan oleh para petani untuk membeli benih, pupuk, pestisida, atau untuk menyewa alat.

Kevin Laksono, salah seorang pendiri Eratani, perusahaan rintisan yang memudahkan para petani Indonesia mengakses pinjaman. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

"Kami lantas membantu mereka di sisi manajemen pertanian agar mereka menggunakan (peralatan dan input pertanian ini) dengan benar sesuai metode ilmiah (yang telah terbukti)," kata Kevin.

Ditambahkannya, sejak perusahaan ini didirikan pada April tahun lalu, 10.000 petani Indonesia telah menggunakan Eratani. Kini, menurutnya, peningkatan produksi mereka rata-rata mencapai 25 persen.

"Sebelumnya mereka beli pupuk cuma setengah dari yang dibutuhkan karena enggak ada dana. Sekarang, pakai pinjaman, kami mendorong mereka untuk beli semua. Dari situ saja sudah kelihatan hasilnya," ujarnya.

TANTANGAN AWAL

Dengan literasi digital yang rendah dan koneksi internet yang lambat, para petani pedesaan perlu dibimbing untuk merangkul teknologi baru – suatu upaya berat yang membutuhkan kesabaran.

Sebagai pelopor di sektor agritech, eFishery berjuang keras meyakinkan para pembudi daya ikan untuk menggunakan mesin pemberi pakan otomatis yang mereka luncurkan sembilan tahun lalu.

"Saya ingat waktu kami bawa feeder kami (ke para pembudi daya ikan) dan kami tunjukkan ke mereka kalau mereka bisa menyetel feeder itu dengan smartphone. Mereka mengira smartphone itu semacam remot. Mereka tidak tahu kalau smartphone bisa digunakan untuk menelepon, mengirim pesan, dan sebagainya," ujar Chrisna, salah seorang pendiri eFishery.

"Sebegitu rendahnya pemahaman teknologi para peternak ikan waktu itu. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengedukasi mereka, memperkenalkan mereka ke teknologi ini sampai mereka bersedia mencoba teknologi yang kami tawarkan."

Ia menambahkan, seiring waktu, para pembudi daya ikan pun menunjukkan ketertarikan kepada teknologi eFishery. Akan tetapi, perusahaan ini sendiri kala itu masih berjuang untuk memperoleh modal pengembangan bisnis.

Meski sektor agritech menjanjikan potensi luar biasa, ketertarikan investor di ranah teknologi Indonesia yang gegap gempita belumlah besar saat itu.

"Kami membangun IoT (internet of things) ketika investor lebih tertarik ke software, aplikasi, marketplace, dan e-commerce," kenang Chrisna. IoT mengacu pada sistem sensor, perangkat, dan peranti lunak yang saling terhubung dan bertukar data melalui Internet.

Chrisna Aditya, salah seorang pendiri eFishery. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Dengan anggaran terbatas, eFishery harus bertahan selama dua tahun sebelum berhasil menarik minat Aqua Spark, satu investor dari Belanda yang fokus pada investasi di bidang akuakultur di seluruh dunia.

Kini, total investasi yang eFishery kumpulkan dari sejumlah investor mencapai US$120 juta, dan perusahaan ini telah menerima keuntungan sejak 2020. Media lokal pun melaporkan bahwa eFishery tengah menuju status unicorn.

Arief Witjaksono dari Pitik, perusahaan rintisan bidang budi daya ayam, mengatakan bahwa keberhasilan eFishery dalam merintis sektor agritech di Indonesia mempermudah para pemain lain di industri ini untuk menghimpun dana. "Seandainya kami baru mulai lima tahun yang lalu, saya enggak tahu apakah ada yang mau investasi ke kami," ujar direktur utama Pitik tersebut.

Menurut Witjaksono, perusahaan-perusahaan agritech seperti Pitik pun kini lebih mudah untuk meyakinkan para petani dan peternak untuk bergabung dibandingkan ketika eFishery baru berjalan.

"Smartphone sudah jauh lebih murah. Sekarang semua orang punya aplikasi di ponsel mereka, terutama generasi muda. Mereka inilah yang awalnya jadi target kami. Mereka lebih reseptif. Lebih siap mencoba hal-hal baru," jelasnya.

Pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi COVID-19 juga telah mendorong masyarakat untuk beralih ke teknologi dalam menjalankan keseharian.

Kurang dari dua tahun setelah mulai beroperasi, Pitik kini berada pada jalur meraih profit dan dapat mencapai titik impas awal tahun depan.

Sementara itu, Eratani diperkirakan akan mulai meraih keuntungan pada akhir 2023 atau awal 2024.

TERUS BERINOVASI 

Meski tanda-tanda keberhasilan kian tampak, ketiga perusahaan ini terus berinovasi.

Arief dari Pitik mencatat bahwa industri budi daya ayam Indonesia masih tertinggal jauh di belakang negara-negara Eropa maupun Amerika Utara.

"Tingkat kematian (ayam) di Indonesia sekitar 10 persen. Teknologi kami membantu mengurangi ini menjadi 5 persen. Eropa dan Amerika sudah 1 persen," katanya.

Tidak seperti di Indonesia, peternakan-peternakan modern di luar negeri jauh lebih maju karena tak ada lagi kebutuhan inspeksi kandang secara langsung untuk memastikan apakah ada ayam yang sakit.

Arief Witjaksono, direktur utama Pitik. (Foto: CNA/Nivell Rayda)

Arief mengatakan bahwa Pitik kini mengaplikasikan kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi ayam yang sakit melalui kamera dan mikrofon, sebab ayam sakit mengeluarkan dengkuran khas. Menurut Arief, teknologi ini dapat diluncurkan awal tahun depan.

Untuk budi daya ikan, eFishery tengah mengeksplorasi AI yang dapat mendeteksi dan menanggulangi penyakit di kolam, berikut berbagai sensor dan perangkat guna memantau dan mengatur kualitas air secara otomatis.

"Mungkin lima atau sepuluh tahun dari sekarang, seluruh proses budi daya sudah otomatis. Kita perlu menghasilkan lebih banyak pangan di ruang yang makin sempit. Kerja-kerja manual sudah enggak cocok lagi," ujar Chrisna dari eFishery. Ia menambahkan, otomatisasi penuh pada budi daya ikan dapat tingkatkan produksi sebesar 100 hingga 200 persen.

Sementara itu, cara-cara meningkatkan produksi padi terus dipelajari oleh Eratani. Umumnya, sawah di Indonesia dapat menghasilkan 5 sampai 6 ton beras per hektare. Ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Cina yang mampu memproduksi 15 ton per hektare.

Selaku salah seorang pendiri Eratani, Kevin mengatakan bahwa perusahaannya tengah mengembangkan satu varietas padi yang menurutnya dapat menghasilkan beras sebanyak 10 ton per hektare. Varietas ini masih dalam tahap uji coba.

Lewat modernisasi tani-ternak, perusahaan-perusahaan rintisan ini berharap generasi muda akan lebih tertarik untuk terjun ke sektor ini.

Jumlah pegiat tani-ternak di Indonesia terus menurun. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, ada 38,7 juta petani pada tahun 2021. Pada tahun 2011, angkanya sebesar 42,4 juta.

Menurut Kevin, banyak petani binaan Eratani yang kini mendorong anak-anak mereka untuk menjadi penerus.

"Kalau bertani terbukti menguntungkan, menghasilkan pendapatan yang layak, bahkan jadi bisa punya tabungan, (para petani) akan tetap bertani dan tidak mendorong anak-anak mereka untuk bekerja di kota," harapnya.

Para petani Jawa Barat dapat menyewa mesin semacam ini dengan pinjaman yang difasilitasi oleh Eratani. (Foto: CNA/Indonesia)

Chrisna dari eFishery sendiri melihat kian banyaknya anak muda yang melanjutkan bisnis budi daya ikan milik orang tua mereka, termasuk yang telah menyandang gelar tinggi dari berbagai universitas terkemuka tanah air dan luar negeri.

"Dulu banyak anak muda enggak mau masuk ke sektor ini. Dulu masih sangat tradisional. Harus panas-panasan di luar di bawah sinar matahari. Yang seperti itu generasi muda enggak suka. Tetapi teknologi mengubah itu," katanya.

Ia menambahkan: "Peternak zaman dulu butuh waktu puluhan tahun untuk belajar cara beternak ikan yang tepat dan memperoleh wisdom dan insting tentang cara budi daya ikan yang benar. Teknologi mempercepat kurva pembelajaran ini. Bahkan anak muda yang tidak punya latar belakang di bidang peternakan bisa merintis bisnis budi daya ikan.

"Teknologi membuat semuanya jadi lebih mudah, lebih nyaman, lebih efisien dan lebih menguntungkan."

 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggeris.  

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini usaha pemugaran kompleks candi kuno Muaro Jambi, Sumatra. 

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/ni(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement