Ketika siswa Singapura belajar melestarikan lingkungan dengan berbelanja secara bertanggung jawab
Para siswa di SD Si Ling belajar cara belanja secara bertanggung jawab di supermarket dengan konsep keberlanjutan yang dibangun sekolah mereka, yaitu dengan menghindari pembelian impulsif, belanja seperlunya, dan memilih barang belanjaan dengan bijak.

SINGAPURA - "Apakah ada label aman bagi lumba-lumba atau label Makanan Laut Bersertifikat Berkelanjutan pada kaleng tuna?" Suara-suara kegembiraan terdengar jelas dari para siswa kelas 4 SD ketika mereka mengamati produk-produk yang dipajang di EcoMart sekolah saat pelajaran sains.
Dengan tembok yang dipenuhi informasi tentang pentingnya membeli produk lokal, risiko penangkapan ikan berlebihan dan materi-materi berkelanjutan lainnya, "supermarket" ini adalah toko dengan konsep keberlanjutan di Sekolah Dasar Si Ling, Singapura.
Ini adalah bagian dari program pembelajaran terapan yang diinisiasi sekolah untuk mendorong para siswa agar tidak hanya melakukan upaya perlindungan lingkungan di sekolah saja, tetapi juga di rumah dan di tengah masyarakat.
Keberlangsungan pangan akan menjadi fokus pembelajaran di sekolah-sekolah Singapura pada 2023, seperti yang telah disampaikan Menteri Negara untuk Pendidikan Singapura Gan Siow Huang dalam pidatonya pada debat Komisi Pengadaan Maret lalu.
Gan mengatakan, Kementerian Pendidikan Singapura akan mendukung sekolah dalam memberikan pelajaran mengenai produksi pangan berkelanjutan pada kurikulum mereka. Dukungan juga akan diberikan kepada sekolah-sekolah untuk membangun fasilitas bagi siswa dalam mempraktikkan apa yang mereka pelajari mengenai produksi makanan dan pengelolaan limbah makanan.

BELAJAR TENTANG KEBERLANJUTAN PANGAN
Pada kunjungan ke SD Si Ling Februari lalu, CNA menyaksikan ketika guru sains Ashri Shukri memulai pelajaran dengan bertanya kepada siswa apakah mereka sering berbelanja bersama orang tua. Banyak dari siswa mengiyakannya.Â
"Apakah pilihan yang kalian ambil di supermarket dapat berdampak pada lingkungan?" tanya dia. Para siswa menjawab "ya" dengan suara yang lantang.
Para siswa di kelas itu kemudian mendapat tugas untuk mengatur sebuah piknik rekayasa. Mereka harus menemukan dan "membeli" tuna, cokelat, tisu dan piring sekali pakai untuk piknik tersebut. Tapi ada satu syarat - mereka harus memilih opsi barang belanjaan yang paling ramah lingkungan.
Para siswa yang dibagi ke dalam tiga atau empat kelompok mendapatkan tablet untuk menyaksikan video-video dengan topik mengenai polusi plastik, dan membaca label-label yang telah dikenal luas untuk mengindikasikan produk dengan nilai keberlanjutan lingkungan.
Sebagai contoh, label aman bagi lumba-lumba menunjukkan bahwa perusahaan menangkap tuna yang mereka jual menggunakan metode yang tidak menyakiti lumba-lumba dan melindungi ekosistem kelautan. Label Sertifikasi Dewan Pengelolaan Hutan (FSC) menunjukkan bahwa produk kayu seperti handuk kertas berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab.
Label Sertifikasi Makanan Laut Berkelanjutan dari Dewan Pengelolaan Kelautan menunjukkan bahwa produk boga bahari ditangkap dengan memastikan keberlanjutan pasokan ikan di perairan untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Para siswa diberikan kebebasan saat mereka berkeliling di EcoMart. Mereka berhenti untuk membaca instruksi di dinding dan mengisi lembar kerja sambil berdiskusi hangat dengan rekan satu tim.Â
Pendekatan ini mendorong siswa untuk melakukan riset dan mencari informasi secara mandiri, kata Ashri kepada CNA dalam wawancara setelah pelajaran selesai.
"Pada akhirnya, kami ingin membuat pembelajaran mengenai keberlanjutan menjadi nyata bagi para siswa. Karena jika kita bisa memberikan kesempatan bagi mereka untuk mempraktikkan cara mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan tepat, maka itu akan lebih menarik," kata dia.
Kelas lainnya juga belajar mengenai aspek-aspek yang berbeda mengenai keberlanjutan pangan. Misalnya siswa kelas 6 SD belajar tentang bagaimana jarak yang ditempuh oleh produk pangan berkontribusi pada perubahan iklim, kata Ashri. Termasuk tugas para siswa, tambah dia, adalah membandingkan negara asal produk dan menghitung jarak distribusi yang ditempuh produk itu sebelum memutuskan barang mana yang akan dibeli.
Memberikan para siswa kesempatan menerapkan pengetahuan atau menggunakan informasi pada situasi yang baru akan memberikan pembelajaran yang mendalam dan menciptakan keterikatan di antara mereka, kata Ashri. Â Â

Setelah menjawab beberapa pertanyaan mengenai perbedaan label dan cara mengurangi konsumsi daging dan limbah kemasan makanan, para siswa kelas 4 berkeliling EcoMart mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk piknik. Â
Setiap rak di toko dengan konsep keberlanjutan tersebut memuat produk yang sama dari merek yang berbeda. Para siswa berkumpul di depan rak, memutuskan produk mana yang paling ramah lingkungan.
Kebanyakan siswa mampu dengan cepat menunjuk salah satu handuk kertas yang tertera label FSC, sementara dua produk lainnya tidak.
Siswa lainnya dengan teliti memeriksa kaleng tuna, mencari label-label yang tepat sambil meminta teman satu tim mencari bahan-bahan lainnya.
Dengan belajar cara mencari produk yang ramah lingkungan di supermarket, para siswa diharapkan dapat membawa pengetahuan ini ke rumah dan membagikannya kepada orang tua mereka.
EcoMart mengajarkan para siswa bahwa hal sederhana seperti membeli barang yang lebih berkelanjutan dapat meminimalkan emisi karbon, melestarikan sumber daya alam dan mengurangi limbah, kata Ashri.
"Membutuhkan satu 'kampung' untuk membangun bangsa yang berkelanjutan, jadi tidak hanya di dalam sekolah kami, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat," lanjut dia.
Dia menambahkan, bahwa untuk "memulai efek riak", maka sekolah memanfaatkan aspek terkecil dari kehidupan sehari-hari yang dilakukan para siswa dan orang tua mereka, yaitu berbelanja.

"Kami belajar bagaimana cara berbelanja secara berkelanjutan dan kami punya slogan baru, ABC - A untuk awas jangan beli secara impulsif, B untuk beli seperlunya dan C untuk cari barang dengan bijak," kata Chai Xin Lyn, duta lingkungan kelas 4 SD yang mempelajari hal tersebut tahun lalu.
"Kami akan menjelaskannya kepada orang tua, lalu kami pergi belanja, kami mengikuti mereka dan menunjukkan arti label-label yang berbeda kepada mereka," tambah Chai.
Duta lingkungan lainnya menimpali dengan cerita soal bagaimana mereka menjelaskan arti label-label tersebut kepada orang tua. Dia mengatakan, orang tua benar-benar mendengarkan instruksi mereka ketika berbelanja. Para orang tua, lanjut dia, merasa bangga dan bahagia anak-anak mereka mempelajari hal tersebut di sekolah.
"Terkadang ketika ibu saya pergi belanja, ketika dia melihat sesuatu sedang diskon, dia mengatakan sebaiknya beli barang itu karena lebih murah," kata Akif Muhammad Adam.
"Saya katakan kepada ibu saya, sebaiknya tidak membeli barang yang didiskon ... Kadang kami sudah punya daftar belanjaan, jadi ikuti saja daftar itu dan belanja secukupnya," tambah dia.
Xin Lyn melanjutkan: "Pada dasarnya, kami menghindari pembelian secara impulsif, tapi untuk menghindarinya diperlukan daftar belanjaan agar kita bisa berpegang pada itu, dan untuk menghindari membeli barang-barang lain dengan kemasan yang cantik."
Duta lingkungan lainnya Kumaresan Sowmitha mengatakan: "Seperti ketika kita melihat susu cokelat, susu stroberi, biasanya kita akan berkata 'saya mau ini, saya mau itu,' tapi jangan. Kita harus berpegang pada daftar yang diberikan ibu."
"Ayah saya tidak menuliskannya di kertas - tetapi ibu saya mengirimkan pesan apa yang harus dibeli dan ayah saya melihat pesan itu dan membelikannya. Jika ayah ingin membeli barang lainnya, dia akan minta izin dulu kepada ibu," kata Kumaresan sambil tertawa.
"Mereka tidak berpikir, 'dia cuma anak kecil, kenapa kami harus patuh?' mereka lebih seperti 'ini anak kami', jadi mereka berusaha untuk mendengarkan kami."

EcoMart tersebut juga memiliki taman hidroponik vertikal kecil, yang digunakan para siswa untuk belajar menanam sayur di rumah, jelas Ashri.
Pada program pembelajaran terapan lainnya, para duta lingkungan kelas 5 berkesempatan untuk menanam sendiri sayuran hidroponik mereka.
Siswa-siswa menanam sawi hijau dan pakcoy, dan membawa hasil panennya pulang. "Jumlahnya sebenarnya cukup mengejutkan," kata siswa lainnya Teo Jing You, yang mengatakan jumlah panen lebih sedikit dari yang dia harapkan setelah bekerja keras menanamnya.
"Saat liburan bulan Desember, kami mendatangi komite warga dan memperkenalkan kepada semua orang di sana tentang pertanian hidroponik," kata dia.
Walau langkah-langkah penting seperti menggunakan panel surya dapat melestarikan atau menjaga lingkungan, namun hal-hal kecil seperti kebiasaan konsumsi juga bisa membantu, kata Ashri.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai Malaysia yang akan mendirikan fasilitas produksi daging di lab.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.