Balada mudik dengan motor: Acuhkan bahaya demi pulang ke kampung halaman
Nivell Rayda dan Wisnu Agung Prasetyo dari CNA menempuh perjalanan 230km dengan motor dari Jakarta ke Cirebon di Jawa Barat untuk merasakan pengalaman mudik.
CIREBON, Indonesia: Badan saya seakan berteriak memohon agar motor ini menepi. Bokong nyeri, kaki mati rasa, dan saya berjuang keras tetap terjaga betapapun banyak angin segar yang terus menerpa wajah.
Kami baru menempuh 50km dari total jarak 230km dari Jakarta ke Cirebon di Jawa Barat, namun sudah berpikir: "Apakah saya mampu melakukan ini?"
Tiga jam sebelumnya, saya memutuskan untuk mencari tahu bagaimana rasanya menjadi orang Indonesia yang meninggalkan kota besar di hari-hari terakhir Ramadan untuk merayakan Idul Fitri besama keluarga di kampung halaman.
Lebih khusus lagi, saya ingin tahu bagaimana rasanya melakukan eksodus tahunan atau mudik menggunakan sepeda motor, seperti jutaan orang Indonesia lainnya.
Pemerintah tahun ini memperkirakan 123 juta warga Indonesia akan mudik, eksodus Ramadan pertama sejak semua larangan bepergian untuk menghindari penyebaran COVID-19 dicabut pada pada 31 Desember lalu.
Dari angka tersebut, 25 juta di antaranya diprediksi akan mudik dengan kendaraan roda dua. Padahal pemerintah telah berulang kali mengimbau masyarakat untuk tidak melakukannya.
"Kampanye seyogyanya tidak menggunakan motor (untuk mudik) tolong di-campaign. Please jangan naik motor, karena sangat berbahaya," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 7 April lalu.
Tidak seperti kendaraan roda empat yang stabil, nyaman, dan aman, motor adalah moda transportasi yang berbahaya. Pada 2022, kecelakaan motor menyumbang 65 persen dari 94 ribu kecelakaan di seluruh Indonesia, berdasarkan data Korps Lalu Lintas Kepolisian RI (Korlantas).
Risiko kecelakaan meningkat selama musim mudik karena para pemotor terkadang mengangkut barang yang terlalu besar dan membawa lebih dari satu orang penumpang. Para pemudik juga kerap membawa anak-anak dalam perjalanan yang melelahkan tersebut, bahkan terkadang tidak memakaikan mereka helm.
Untuk membujuk masyarakat agar meninggalkan motor mereka di rumah, pemerintah Indonesia telah menawarkan tiket feri, kereta, dan bus gratis untuk pulang kampung.Â
Kepolisian Daerah Metro Jakarta bahkan telah mempersilakan para pemudik menitipkan motor mereka di kantor-kantor polisi agar lebih aman.
Tapi berbagai upaya ini hanya mampu mengakomodasi ribuan pemudik, bukannya jutaan dari mereka yang mudik dengan motor setiap tahunnya.Â
BAHAYA MENGINTAI KETIKA LETIH MELANDA
Tidak seperti jurnalis visual CNA, Wisnu Agung Prasetyo, yang merupakan penggemar motor, perjalanan jauh dengan roda dua adalah hal baru bagi saya.
Wisnu pernah menghabiskan lebih dari 20 jam berkendara dengan motornya dari Jakarta ke kampung halamannya di Ngawi, yang terletak 600km jauhnya di provinsi Jawa Timur.
Dengan seorang pemula di atas motor, kami berdua memutuskan berkendara ke Cirebon, kota dekat perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, 230km jauhnya dari kediaman kami di Jakarta.
Jika menggunakan mobil, perjalanan ini akan tuntas dalam waktu tiga setengah jam. Tapi karena motor dilarang menggunakan jalan tol di Indonesia, laju kami terbatas hanya di jalanan kecil pedesaan, membuat waktu tempuh semakin lama.
Kami berangkat pagi-pagi sekali - pukul 3 pagi lebih tepatnya - untuk sebisa mungkin menghindari macet.
Tapi ternyata, jalanan yang menghubungkan kedua kota itu telah dipenuhi pemudik bermotor, yang bisa dikenali dengan muatan yang mereka bawa.
Beberapa dari mereka mengenakan tas ransel di pundak. Beberapa lainnya mengikatkan tas-tas, bahkan koper di jok motor mereka. Ada juga yang membawa kardus, diletakkan di bagian bawah skuter, diapit di antara kaki-kaki mereka.
"Kami menyarankan pemotor tidak membawa terlalu banyak barang, karena akan menyulitkan bermanuver," kata Kepala Korlantas, Inspektur Jendral Firman Santyabudi kepada CNA.
Wisnu dan saya dengan cepat belajar pentingnya bagi pemotor untuk tetap tangkas berkendara dan waspada di jalanan, terutama ketika letih melanda.
Dua jam berkendara, kami melihat dua pemotor tergelincir di jalanan yang licin dan berlubang, padahal mereka hanya membawa sedikit barang. Para pengendara itu tidak terluka, namun salah satu motor mengalami bengkok pada setangnya sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan sebelum memperbaikinya di bengkel.
Beberapa menit kemudian, tepat saat matahari terbit, kami ditabrak dari belakang oleh pemotor saat berhenti di lampu merah. Pria itu mengaku mengantuk dan sesaat kehilangan fokus.
Tabrakan yang bersuara keras dan mengejutkan itu menyebabkan sedikit lecet dan rusak ringan pada pelat nomor dan lampu sen kiri belakang motor kami. Tapi saya bisa merasakan roda depan motor pria itu menyerempet tumit saya.
Pria itu meminta maaf dan kami memutuskan untuk melupakan insiden tersebut setelah dia berjanji akan mencari tempat untuk beristirahat.
Kami segera mengaspal lagi, kali ini dengan pemikiran dalam benak bahwa kondisi jalanan sangat tidak terduga dan bisa berbahaya.
PERJALANAN YANG TIDAK AMAN DAN NYAMAN
Setelah empat jam di perjalanan, kelelahan mulai melanda dan saya berjuang keras untuk tetap terjaga.
Saya meminta Wisnu untuk mencari tempat istirahat, tapi satu-satunya lokasi yang cukup aman dan layak bagi kami untuk tidur adalah lantai beton tak berubin di depan sebuah toko kosong.
Lantai itu berdebu dan keras, tapi kami bisa tertidur selama 30 menit, menggunakan ransel sebagai bantal dan jaket sebagai naungan kami dari terik matahari.
"Ini yang harus kami hadapi sebagai pemotor," kata Wisnu.
Dia menambahkan, seiring dekatnya hari Idul Fitri dan jalanan penuh padat dengan pemudik, akan banyak terlihat orang-orang yang tidur di masjid, emperan toko, pom bensin, atau bahkan trotoar.
Kondisi ini sangat kontras dengan kenyamanan dan kemudahan yang dirasakan pemudik dengan kendaraan roda empat. Andai saja mengendarai mobil, kami bisa dengan mudah parkir di tempat peristirahatan yang banyak tersebar di jalan tol, merebahkan sandaran kursi dan menyalakan pendingin udara.
Kami juga tidak akan khawatir motor atau barang bawaan kami dicuri, terutama jika melintasi jalan-jalan provinsi yang sepi dan terpencil.
Saya terbangun dari tidur singkat dengan bersimbah peluh. Kantuk memang hilang, tapi rasa lelah masih bercokol. Saya terpaku di lantai selama sekitar 20 menit, menyaksikan para pemotor melintasi jalanan yang berdebu dan berliku di hadapan.
Banyak terlihat keluarga yang terdiri dari empat orang, terkadang lima, berada di atas satu sepeda motor. Biasanya, ada anak balita yang tidur di pangkuan ibu mereka. Sangat jarang terlihat anak-anak ini mengenakan helm.
Djoko Setijowarno, pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, mengatakan mudik dengan motor jauh lebih murah ketimbang moda transportasi lainnya.
Untuk keluarga miskin yang tidak mampu membeli tiket kereta atau bus, yang harganya bisa meroket di musim mudik, mengendarai motor menjadi satu-satunya cara untuk pulang ke kampung halaman.
"Untuk beberapa orang, (keterjangkauan) lebih penting dari pada keselamatan," kata dia kepada CNA. "Kita harus menanggapinya dengan serius. Paling tidak, pemerintah harus melarang anak-anak. Jangan biarkan (pemotor) membawa anak-anak (saat mudik)."
Walau menyadari banyak pemotor yang melanggar aturan, namun Kepala Korlantas Irjen Firman mengatakan 92.000 polisi yang dikerahkan di seluruh Indonesia untuk mengamankan mudik hanya akan memberikan peringatan bagi para pelanggar, tidak menilang.
"Operasi ini tentang kemanusiaan yang fokus pada pelayanan publik. Kami tidak ingin dilihat sebagai orang yang hanya menilang. Kami tidak ingin menjadi orang yang membatasi keinginan orang untuk pulang ke kampung halaman. Kami hadir untuk membantu memastikan perjalanan mereka selamat, aman dan nyaman," kata dia.
MENCEGAH MUDIK DENGAN MOTOR
Berbagai institusi pemerintah telah mencoba mencegah masyarakat mudik dengan motor.Â
Kementerian Perhubungan, contohnya, telah memberikan tiket gratis bagi 10.000 penumpang dan ruang bagi 5.000 motor di kapal feri dari Jakarta ke Semarang di Jawa Tengah. Kedua kota terpaut jarak 470km.
Kemenhub juga menyediakan gerbong kereta yang mampu membawa 10.000 motor ke berbagai kota di Indonesia. Program ini tidak gratis, tapi penumpang hanya perlu membeli tiket untuk diri sendiri dan bukan untuk motor mereka.
Sementara itu, pemerintah DKI Jakarta menyediakan tiga truk yang mampu membawa total 80 motor dari ibu kota ke Solo di Jawa Tengah, yang berjarak 560km jauhnya. Sementara pemilik motornya menggunakan jasa bus gratis yang disediakan pemerintah Jakarta.
Pakar transportasi Djoko mengatakan upaya ini hanya solusi sementara yang cuma bisa mengakomodasi sebagian kecil dari pemudik. Pasalnya beberapa program pemerintah tersebut memiliki batasan kuota dan daerah tujuan.
Pemerintah, kata dia, seharusnya fokus pada meningkatkan transportasi publik di kota-kota seluruh Indonesia.
"Transportasi publik di kota-kota kecil dan desa tidak sebagus Jakarta, itulah mengapa sebagian orang membawa motor untuk bepergian di kampung halaman," kata dia.
Muhammad Rudy, salah satu pemotor yang kami temui di jalan, menyuarakan hal yang senada dengan Djoko.
"Itulah mengapa istri dan anak-anak saya berangkat dengan bus dan saya dengan motor," kata pria 34 tahun ini kepada CNA, dalam perjalanannya ke Batang, Jawa Tengah, 370km dari Jakarta.
Pemudik lainnya, Ahmad Fuady, 32, memutuskan membawa istri dan anaknya mudik dengan motor karena kampungnya hanya sekitar 132km dari Jakarta di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Untuk menuju kampung halamannya, kata dia, tidak ada bus atau kereta.
"Pemerintah paling tidak harus membuat pemudik dengan motor lebih aman dan nyaman. Yang mudik pakai mobil punya akses tol dengan jalanan yang mulus dan rest area. Sementara kita pemotor harus menghadapi jalanan berlubang dengan penerangan yang sangat minim (dari lampu jalan)," kata dia kepada CNA.
Memang, perjalanan dari Jakarta ke Cirebon sarat dengan jalanan yang tidak terawat dengan baik. Selain itu, tidak ada tempat khusus bagi pemotor untuk bisa beristirahat dengan aman dan nyaman selama perjalanan mereka, selain restoran, masjid, dan pom bensin.
Kami telah menghabiskan lebih dari 10 jam di jalan, berhenti di beberapa tempat untuk meregangkan kaki, makan dan istirahat. Kelelahan dan kurang tidur, badan saya terasa nyeri, tapi saya lega dan bahagia perjalanan ini akhirnya berakhir.
Tapi bagi sebagian pemotor, perjalanan masih jauh dari kata selesai.
Masih ada ratusan kilometer lagi yang harus ditempuh untuk menuju kampung halaman, tempat mereka akan menghabiskan beberapa hari ke depan dengan keluarga dan kawan-kawan masa kecil.
Dan tak lama setelahnya, mereka harus mengaspal lagi, kali ini untuk menempuh perjalanan sebaliknya: Kembali ke tempat mereka tinggal dan bekerja di kota-kota besar seperti Jakarta.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai usaha di Cianjur, Jawa Barat, cegah malapetaka berulang akibat gempa.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.
Â