Atasi masalah sampah, pelajar di Malaysia coba ubah rumput laut jadi bioplastik
Tiga pelajar di Sabah bereksperimen dengan rumput laut merah untuk membuat bioplastik yang bisa terurai dalam empat hingga enam minggu, bukan ratusan tahun seperti plastik pada umumnya.
SABAH, Malaysia: Media Malaysia menjuluki kota pesisir Semporna di ujung timurlaut Sabah sebagai "pintu masuk menuju surganya selam skuba".Â
Pulau-pulau di dekat Semporna dikaruniai pantai pasir putih dengan air yang sebening kristal. Salah satunya adalah Sipadan, yang terkenal di seluruh dunia sebagai surga menyelam yang terpencil dan kehidupan laut yang indah.
Terlepas dari kehidupan surgawi di pulau-pulau tersebut, kondisi Semporna sangat jauh berbeda.
Di dekat pasar yang menjual segala macam barang, mulai dari makanan kering hingga boga bahari, daerah pesisir Semporna dipenuhi sampah. Di pantainya yang berbatu, warga dengan sandal jepit harus berjalan melintasi botol-botol dan kontainer plastik sebelum naik ke perahu kayu mereka.
Di sebuah lahan parkir kosong, anak-anak bermain sepakbola di antara sampah-sampah yang berserakan di aspal maupun pinggiran rerumputan.
Selama bertahun-tahun, beberapa ulasan perjalanan tentang Semporna memberikan gambaran yang sama. "Semporna yang diklaim sebagai pintu gerbang ke surga mungkin adalah tempat terkotor di dunia yang pernah saya kunjungi," tulis seorang pengunjung dari Swiss pada Mei 2019 di situs Tripadvisor.
Tapi harapan masih ada, jika saja ambisi dari tiga pelajar berusia 16 tahun dari sekolah asrama dekat Semporna bisa terwujud.
Untuk menuju sekolah menengah sains MARA tempat mereka bersekolah, Anda harus keluar dari jalan raya utama sekitar 20 menit dari Semporna. Anda akan melalui jalan berliku nan bergelombang melintasi sebuah desa kecil sebelum sampai di sekolah tersebut, yang terletak di tengah berhektar-hektar kebun kelapa sawit.
"Semporna sangat kotor," kata Fahim Nazhan, siswa kelas 3 di sekolah tersebut. "Air di pantai-pantai pulau utama dulu jernih, namun sekarang berubah jadi cokelat. Wilayah itu menjadi tercemar."
Majelis Amanah Rakyat, atau MARA, adalah badan pemerintah yang memberikan bantuan dan pelatihan bisnis dan industri bagi anak-anak Bumiputera.
Berdasarkan laporan National Geographic, lebih dari 8 juta ton sampah plastik dari wilayah-wilayah pesisir mengalir ke laut setiap tahunnya. Plastik ini berbahaya bagi kehidupan laut, misalnya jika termakan atau membuat hewan-hewan tersedak.
Hal inilah yang memicu Fahim dan dua kawan sekelasnya, si kembar identik Muhammad Fauzan Lakarani dan Muhammad Fauzi Lakarani, untuk melanjutkan eksperimen yang telah dimulai oleh kakak-kakak kelas mereka.
Mereka menggunakan Kappaphycus, sejenis rumput laut merah yang banyak ditemukan di Sabah, untuk membuat bioplastik yang bisa terurai dalam empat atau enam minggu, bukan ratusan tahun seperti plastik biasanya.
Tapi ada tantangannya. Sulit dan mahal untuk menciptakan bioplastik yang kuat dan antiair seperti plastik berbahan dasar minyak, yang diproduksi dalam jumlah besar dan dijual murah untuk penggunaan sehari-hari.
Muncul juga argumentasi yang mengatakan bahwa bioplastik - walau mampu dibuang di mana saja dan hilang dengan sendirinya - tidak akan menyelesaikan pencemaran plastik, tidak seperti jika warga mengurangi sampah dan meningkatkan daur ulang.Â
Fauzi ingin bioplastik berbahan dasar rumput laut menjadi "bagian dari solusi". "Saya berharap proyek ini dapat membuat dunia jadi tempat yang lebih baik. Karena bisa kita lihat sendiri, plastik adalah masalah besar bagi negara kami," kata dia menambahkan.
MENGUBAH RUMPUT LAUT JADI BIOPLASTIK
Ketiga pelajar itu memutuskan memulai proyek mereka tahun lalu, sebagai bagian dari kelas sains. Bekal mereka adalah pengetahuan sains kelas dua sekolah menengah dan pengalaman yang dibagikan kakak-kakak kelas.
"Kami memilih rumput laut karena sangat populer di wilayah ini," kata Fauzi yang tumbuh besar dengan memakan hidangan rumput laut yang banyak dijual di restoran setempat. "Jadi, mudah bagi kami untuk menemukan bahan bakunya."
Di seluruh dunia, berbagai perusahaan juga mencoba menggunakan rumput laut - salah satu organisme dengan pertumbuhan tercepat di dunia - untuk membuat bioplastik. Pada 2013, perusahaan rintisan Skipping Rocks Lab dari Inggris berhasil memproduksi botol air minum yang bisa dimakan terbuat dari rumput laut cokelat.
Di Sabah, ketiga siswa ini membeli rumput laut dengan harga murah dari petani setempat atau terkadang mengambil sendiri di pantai, lalu membawanya ke lab.
Rumput laut kemudian dikeringkan selama satu hari, lalu diblender hingga menjadi serbuk. Air, tepung jagung dan gliserol ditambahkan, lalu semua bahan diaduk selama 30 menit menggunakan pengaduk magnetik sampai hampir menjadi jeli.
Langkah terakhir adalah yang paling penting: larutan ditempatkan di lemari pengering dan dipanaskan di suhu 60 derajat Celcius selama 12 jam. Jika terlalu lama, larutan akan terbakar, membuat hasilnya menjadi cokelat dan rapuh.
Fahim, Fauzi dan Fauzan telah melalui proses panjang ini selama puluhan kali dalam setahun terakhir, melalui banyak proses percobaan dan kegagalan. Mereka telah menggunakan berbagai jenis tepung jagung dan durasi pemanasan, untuk mencari kombinasi yang membuahkan hasil terbaik.
Resep yang mereka gunakan sekarang adalah yang terbaik sampai saat ini, menghasilkan material mirip plastik seukuran ibu jari berwarna putih, namun masih terlalu lembut dan mudah robek.
Tapi tetap saja, itu adalah sebuah kemajuan, mengingat mereka hanya melakukan ini di waktu senggang. Kebanyakan hari-hari mereka dihabikan di kelas atau mengerjakan tugas. Akhir pekan diisi untuk pelajaran tambahan dan aktivitas ekstrakurikuler.
Fauzi menggambarkan bagaimana mereka menghabiskan malam di lab sains, berusaha keras tetap terjaga dan memastikan produk mereka tidak terlalu panas. Pernah satu kali, dia ketiduran dan terbangun karena mencium bau terbakar.
"Sangat mengecewakan jika hal itu terjadi, karena prosesnya sangat lama dan kami harus menunggu hasilnya," kata Fauzi.
Kendati sulit, mereka ingin tetap maju. Berikutnya mereka ingin membuat purwarupa wadah dan sedotan plastik, namun tidak mematok tenggat waktu.
Tahun depan mereka akan mulai mengikuti kelas kimia. Melalui kelas ini, mereka berharap mendapatkan pengetahuan mengenai bahan kimia yang diperlukan agar produk mereka lebih tahan lama.
Namun Fahim menekankan, bahan kimia yang digunakan akan sangat sedikit, karena mereka ingin agar produk tersebut tidak berbahaya bagi hewan-hewan laut.
"Targetnya adalah memasarkannya di Malaysia, mungkin juga secara internasional," kata Fahim.
TANTANGAN PRODUKSI DAN PEMASARAN
Salah satu perusahaan di Sabah yang memproduksi bioplastik berbahan rumput laut tahu betul sulitnya memasarkan produk tersebut.
"Banyak problematika teknis yang harus kami atasi. Pelaku industri sudah nyaman dengan performa teknis dari plastik biasa," kata Chung Ngin Zhun, yang mendirikan Rhodomaxx pada 2018.
"Menjadi sebuah dilema ketika industri ingin sesuatu yang bisa terurai secara alami, tapi mereka juga mau produk yang kuat atau antiair. Jika sesuatu bisa terurai, berarti tidak bisa antiair."
Chung meyakini perusahaannya adalah yang pertama di Malaysia dalam memproduksi bioplastik berbahan dasar rumput laut dan produk-produk pertanian lainnya. Warga asli Sabah ini memasok bahan baku dari petani lokal atau dari negara-negara lain seperti Indonesia dan Filipina.
"Kami harus membersihkan rumput laut dan memurnikannya. Asam amino, hormon dan lemak semua diekstraksi agar hasil tani bisa digunakan, sementara selulosa diekstraksi untuk menjadi bahan baku atau zat kimia prekursor bagi bioplastik kami," kata dia.
Rhodomaxx telah berhasil menghasilkan kantong plastik kecil dari rumput laut, dan Chung mengatakan kekuatan tariknya, atau ketahanan terhadap robek, "sama dengan" Polietilena berdensitas rendah yang menjadi bahan baku kantong plastik konvensional.
Namun kemampuan tahan air dari plastik rumput laut "tidak ada apa-apanya" dibanding plastik tradisional, jadi Chung harus menemukan pasar khusus untuk menjual produknya.
Contohnya, produknya bisa digunakan untuk barang-barang yang dikirim dalam kondisi kering atau memerlukan kemasan plastik yang terurai dalam air.Â
Masalah lainnya adalah penetapan harga dari produk ini, karena Chung mengatakan ongkos produksinya "sangat tinggi" dan harga akhir "bergantung pada" skala ekonomisnya.
Industri plastik saat ini sangat didukung oleh perusahaan-perusahaan minyak besar. Kemewahan tersebut, kata Chung, tidak diperoleh pabrik-pabrik bioplastik.
Namun perusahaannya memproduksi dua jenis produk rumput laut sehingga bisa mengurangi ongkos produksi.
"Bioplastik berbeda karena bahan bakunya tidak hanya satu. Ada orang yang menggunakan tapioka, limbah fiber, rumput laut atau protein," jelas Chung.
"Jadi tidak ada 'Petronas' atau 'BP' yang dapat dijadikan sandaran industri ini sebagai pijakan, karena semua orang punya caranya sendiri. Itulah mengapa sulit mencapai skala ekonomisnya."
Chung yakin, jika dalam hal proses produk dan spesifikasi teknis, perusahaannya tidak terlalu jauh untuk bisa menjadikan bioplastik populer.
"Satu-satunya yang menghambat pertumbuhan bioplastik sebenarnya adalah para pengguna plastik dan material kemasan itu sendiri," kata dia, menambahkan bahwa masyarakat perlu mengetahui keuntungan dan kelemahan menggunakan bioplastik.
Chung berpikir bahwa proyek-proyek seperti yang dilakukan ketiga pelajar di Semporna sangat menggembirakan. Dia berharap upaya yang berangkat dari bawah ini dapat menarik perhatian para pemain-pemain besar.
"Semoga upaya ini terdengar sampai ke atas hingga ke pembuat kebijakan dan para pemain industri tentang bagaimana cara mengadopsi gerakan ini ke dalam praktik keseharian mereka, bukan sekadar aksi humas atau pemasaran saja," kata dia.
BISAKAH BIOPLASTIK MENGATASI MASALAH SAMPAH DI LAUTAN?
Ahli manajemen limbah padat mengatakan perjalanan bioplastik untuk menjadi solusi pencemaran lingkungan masih terlampau panjang.
"Produk ini punya potensi, tapi kenyataannya, kita masih menghadapi masalah kepraktisan dalam penggunaan plastik yang dapat terurai ini," kata Haidy Henry Dusim, dosen senior di fakultas sains dan kebijakan publik di Universitas Teknologi MARA di Sabah.
"Dalam hal ketahanan, produk ini mungkin tidak cocok untuk menggantikan semua jenis plastik, terutama jika kita bicara botol plastik."
Kekhawatiran lainnya, kata Haidy, bioplastik malah bisa mendorong masyarakat untuk buang sampah sembarangan. Hal ini akan jadi masalah lebih besar bagi manajemen pengolahan sampah.
"Produk ini boleh jadi ramah lingkungan. Tapi jika masyarakat masih suka buang sampah sembarangan, bukannya mengelola sampah, maka ini bisa jadi masalah lain," kata Haidy.
Dia mengatakan pemerintah daerah di Malaysia harus menerbitkan peraturan yang mewajibkan pemisahan sampah untuk meningkatkan daur ulang dan memperketat peraturan terkait buang sampah.
Pada 2019, media The Star melaporkan bahwa pemerintah daerah Semporna menyatakan "perang" terhadap para pembuang sampah, atas perintah ketua menteri Sabah ketika itu, Shafie Abdal.
Setidaknya sembilan pelaku buang sampah sembarangan ditangkap dalam sehari dan harus membayar denda RM500 (Rp1,6 juta) atau hukuman membersihkan lingkungan.
Untuk hukuman membersihkan lingkungan ada syaratnya: Mereka harus mengenakan rompi bertuliskan "monyet", sesuai dengan slogan program mereka, yaitu hanya monyet yang buang sampah sembarangan.
TETAP MAJU PANTANG MUNDUR
Kembali ke Sekolah Sains MARA, guru Shahrul Hafiz Abdul Ghani, yang memandu proyek rumput laut, mengatakan menciptakan plastik alternatif sama pentingnya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membuang sampah.
Shahrul mengatakan dia akan mengawasi proyek tersebut selama lima tahun. Proyek itu hanya dibiayai sekolah dan terkadang Shahrul harus merogoh koceknya sendiri.
"Jika bisa membuat purwarupa lainnya, mungkin di masa mendatang kita bisa menemukan investor untuk berinvestasi di proyek ini. Saya berharap ini akan menjadi produk yang bagus untuk dijual dan mengurangi dampak polusi," kata dia.
Untuk saat ini, para pelajar itu sudah berada di jalur yang tepat. Saat kelas 2, proyek itu meraih juara dua dari 400 sekolah dalam kompetisi sains dan inovasi nasional yang disponsori Samsung.
Mereka kecewa kalah dari proyek pemurnian air. Para juri ketika itu mengatakan purwarupa mereka masih jauh dari bentuk plastik sebenarnya.
"Jika kami bisa membuat plastik, saya tidak perlu sekolah lagi," kata Fahim sambil tertawa.
Mereka memberikan hadiah kemenangan, berupa handphone, tablet, dan earbud senilai RM25.000 (Rp83 juta) ke kakak-kakak kelas. Karena tanpa riset dan percobaan pertama oleh mereka, kemenangan ini tidak akan diperoleh.
Meski demikian, menjadi juara kedua adalah pencapaian besar bagi sekolah kecil di perdesaan tersebut. Kesuksesan yang tidak terduga ini membuat mereka semakin bersemangat untuk mencapai hal-hal yang lebih besar lagi.
"Saya tidak tahu (apakah akan berhasil), tapi kami akan mencobanya. Kami butuh keyakinan itu, tapi kami juga harus melakukan riset lainnya," kata Fahmi.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai upaya pemerintah Bali menertibkan wisatawan asing yang nakal.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.