Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Jatuh bangun eks pilot tempur Singapura pertahankan peternakan burung unta miliknya

Pendiri Peternakan Burung Unta Desaru di Johor, Malaysia, berbincang dengan CNA soal jatuh bangun perjalanan bisnisnya, termasuk ketika dia terpaksa berkorban jutaan dolar untuk mempertahankan peternakan tersebut.

Jatuh bangun eks pilot tempur Singapura pertahankan peternakan burung unta miliknya
Colin Teh memberi makan burung unta di peternakannya di Sungai Rengit, Johor, Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

PENGERANG, Johor: Saat Colin Teh melintasi kandang berpasir di Peternakan Burung Unta Desaru, salah satu burung berbulu tebal yang tidak bisa terbang itu menghampirinya. Dia kemudian menggigiti kerah baju Teh.  

Peternak berusia 70 tahun itu seperti tidak terganggu. Dengan lembut Teh membelai bulu burung unta tersebut dan menjulurkan tangannya. Burung berleher panjang dengan tinggi 2,5 meter itu kemudian mematuki jemari Teh dengan ganas.

"Ketika mereka mematuki jarimu, itu tanda kasih sayang - bukan menyerang. Itu pertanda mereka menerimamu sebagai teman," kata warga Singapura ini.

"Sama sekali tidak sakit. Mereka adalah makhluk yang manis sekali," lanjut Teh.

Ikatan spesial antara Teh dan burung-burung untanya terjalin sejak bertahun-tahun silam. Dia telah menernakkan burung-burung unta leher hitam Afrika itu sejak 1995.

Saat ini, Peternakan Burung Unta Desaru di Pengerang, Johor, adalah salah satu yang terbesar di Malaysia. Peternakan ini juga populer di kalangan turis Singapura yang singgah sejenak atau berlibur singkat ke Johor.    

Dalam percakapan dengan CNA di peternakannya, Teh mengenang perjalanan karier dan pengorbanannya untuk mempertahankan bisnis tersebut selama 28 tahun terakhir.

Kendati banyak sekali kesulitan yang dia hadapi, terutama ketika pandemi COVID-19, Teh mengaku tidak menyesal telah mengambil keputusan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya tersebut. 

BERHENTI MENGUDARA DEMI BETERNAK

Perjalanan Teh sebagai peternak burung unta dimulai sebagai sebuah pertaruhan.

Pada tahun 80-an, Teh lulus sebagai pilot militer di Angkatan Udara Republik Singapura (RSAF). Jabatan pertamanya adalah sebagai instruktur untuk melatih para calon penerbang. 

"Saya tidak merasa cocok di organisasi ini dan tidak lama kemudian saya memutuskan untuk berhenti terbang," kata Teh, yang mengundurkan diri dari RSAF pada 1994.

"Saya memutuskan melakukan sesuatu yang saya sukai - yaitu beternak," kata dia lagi.

Ketika itu Teh sadar betul, bahwa dia akan meninggalkan karier yang bagi banyak orang sangat menjanjikan dan membawa kemapanan. Namun Teh sudah bertekad bulat untuk mengganti seragam pilotnya dengan baju terusan peternak. 

Pada sebuah perjalanan ke Afrika Selatan pada 1995, dia mengunjungi peternakan burung unta dan langsung tertarik dengan burung raksasa itu.

Kala itu dia berpikir, beternak burung unta akan menguntungkan karena unggas itu mudah dikembangbiakkan. 

Wisatawan memberi makan bayi burung unta di Peternakan Burung Unta Desaru, Sungai Rengit, Johor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

"Orang seringkali memiliki persepsi yang salah tentang burung unta. Hanya karena mereka tinggi dan posturnya aneh, mereka mengira burung unta agresif. Tapi saya telah mempelajari bahwa burung unta jinak dan menggemaskan jika dirawat dengan benar," kata Teh.

Dia kemudian mengunjungi Malaysia dan membeli 30 burung unta muda dari dinas pertanian setempat. Peternakan burung unta pertamanya akhirnya dibuka di Semenyih, Selangor.

Teh memulai peternakan itu dengan modal sebesar RM1 juta (Rp3,3 miliar), hasil menjual  sebidang tanah miliknya di Malaysia.

Bisnisnya menguntungkan di tahun-tahun awal. Dia sudah mendapatkan untung dari usahanya tersebut dan mulai menambah skala peternakannya.

Setelah membeli 30 burung unta pertama, dia menambah lagi 70 ekor di bulan berikutnya. Pada tahun 2000, dia memutuskan memindahkan peternakannya dari Semenyih ke lokasi saat ini di Sungai Rengit, kota di tenggara Johor.

Peternakannya terletak sekitar satu setengah jam berkendara dari Johor Bahru.

"Lokasinya dekat dengan Singapura, jadi sangat mudah bagi saya untuk pulang dan mengunjungi keluarga," kata Teh.

"Tempat ini juga mudah dikunjungi oleh turis dari Singapura, peternakan sangat ramai terutama pada akhir pekan dan liburan sekolah," lanjut dia.

Colin Teh saat memperlihatkan telur burung unta kepada pengunjung peternakannya. (Photo: CNA/Fadza Ishak)

Pada 2008, peternakannya telah menjadi rumah bagi 500 burung unta. Tempat itu kemudian menjadi lokasi wisata terpadu, di mana turis bisa mendapatkan edukasi seputar burung unta, mengendarai burung unta untuk anak-anak, atau makan di restoran yang salah satu menunya menyajikan telur burung unta dadar.

Teh mengatakan sebelum COVID-19, peternakannya sempat menjagal "sebagian kecil" burung unta dan menyajikan dagingnya sebagai pilihan menu bagi pengunjung, di antaranya tumis atau burger daging burung unta.

Namun menurut Teh, bisnis daging burung unta kurang menjanjikan. Pasalnya, hanya 20 persen dari burung unta yang bisa dimakan - hanya bagian paha dan paha atasnya saja.

TERPAKSA MEMOTONG BURUNG UNTA DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Pandemi COVID-19 membuat sektor pariwisata terhenti. Antara 2020 dan 2022, peternakan Teh hampir tidak pernah dikunjungi turis dan dia kehilangan sumber utama pemasukan agar roda bisnis tetap berputar.

Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) yang diberlakukan selama pandemi oleh pemerintah Malaysia menyebabkan pendatang dari Singapura tidak boleh melintasi perbatasan dengan bebas.

Kondisi itu menyebabkan peternakan mengalami kesulitan keuangan. Pengeluaran untuk pakan burung unta, perawatan kandang, dan upah pegawai tetap tinggi, sementara tidak ada pemasukan keuangan dari pengunjung.

"Setiap bulan, pengeluaran antara RM15.000  (Rp50 juta) hingga RM20.000 (Rp67 juta). Kondisi ini berlangsung selama dua setengah tahun. Sangat menyedihkan dan membebani kami. Saya sempat berpikir untuk menutupnya," kata Teh.

Tidak ada pilihan lain bagi Teh selain menjual beberapa properti keluarganya di Malaysia, demi membiayai operasional peternakan.

Namun langkah itu belum cukup. Seiring pandemi yang mengganas dan masa depan peternakan kian terancam, Teh kemudian menyadari tidak ada pilihan selain harus menjagal sebagian besar burung-burung untanya untuk dijual dagingnya. Dari situ, dia mendapatkan pemasukan sekaligus mengurangi pengeluaran.

Dada burung unta tidak bisa dimakan. Bagian tubuh dari burung unta yang bisa dikonsumsi hanya paha dan paha atas. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Pada 2019, peternakan itu memiliki sekitar 300 burung unta. Tapi kini, hanya tersisa 100 ekor karena mati secara alamiah atau dipotong.

Sebagai seorang pecinta hewan, keputusan itu sulit bagi Teh.

"Jika membicarakan tentang menjagal burung unta, saya agak berat. Satu-satunya cara saya bisa melaluinya adalah menghindari kontak dengan burung unta yang akan dipotong. Kami meletakkan mereka di belakang peternakan dan tidak mendekatinya lagi," kata Teh.

"Kami harus menjaga operasional peternakan dan menghasilkan pemasukan untuk biaya pakan dan perawatan. Biayanya sekitar RM6 (Rp20 ribu) untuk pakan satu ekor burung unta setiap harinya. Jadi jika dikalikan 200 atau 300 burung unta, maka angkanya dengan cepat bisa mencapai ribuan ringgit."

Untungnya pembatasan pergerakan di Malaysia karena pandemi COVID-19 telah dicabut dan peternakan Teh mulai menangguk untung lagi.

MENCARI CALON PENERUS

Dengan semakin tua usianya dan munculnya masalah kesehatan, Teh mengatakan kepada CNA bahwa dia akan pensiun dalam waktu dekat.

Bersama istrinya, Joyce, pasangan ini telah mengelola peternakan itu selama hampir tiga dekade dan Teh ingin menyerahkan operasionalnya ke pihak lain. Namun dia tetap ingin menjadi konsultan di peternakan itu dan bisa mengunjunginya kapan saja. 

Joyce Teh telah mengelola peternakan itu bersama suaminya selama lebih dari 28 tahun. (Foto: Fadza Ishak)

"Beternak adalah sebuah gaya hidup yang berat. Kau akan berkorban banyak dan tinggal jauh dari keluargamu. Kebanyakan waktu saya dihabiskan di Malaysia, sementara anak-anak saya di Singapura. Kami juga punya keluarga di Kuala lumpur dan kami terpisah-pisah," kata Teh.

Dia mengakui, tidak mudah mencari penerus yang akan memimpin bisnis peternakan ini. Anak-anaknya kini sudah sibuk dengan karier mereka masing-masing.

"Ketika cucu-cucu saya berkunjung, mereka memohon agar peternakan ini tidak dijual. Cucu saya yang paling kecil bilang, akan mengambilalih bisnis ini suatu hari nanti. Sekarang memang mudah berkata seperti itu, tapi ketika mereka lulus kuliah, kita lihat saja nanti," kata dia.

Dalam tiga bulan terakhir, Teh telah melatih keponakannya Kuan Yik Han untuk bisa mengurus peternakan tersebut.

Sebelum bergabung pada Januari 2023, Kuan punya bisnis sendiri dan sama sekali belum pernah bekerja di peternakan. Sejauh ini, kata dia kepada CNA, pekerjaan ini cukup menghasilkan.

"Memang pekerjaannya banyak berjalan di lumpur dan berkeringat. Tapi saya kira pekerjaan ini bagus. Seperti kata pepatah, 'Kau tidak akan tahu sebelum mencoba'," kata Kuan yang saat ini berusia 30-an.

Colin Teh berencana pensiun dari mengelola peternakan karena masalah kesehatan yang dideritanya. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

"Burung unta adalah jenis hewan yang spesial. Mereka mudah dijinakkan dan dirawat, dan tidak takut kepada manusia," kata dia lagi.

Teh mengaku optimistis Kuan akan menjadi calon yang tepat untuk mengelola peternakan dan merawat burung-burung untanya. 

"Sudah 2 sampai 3 bulan dia bekerja di sini dan telah menunjukkan antusiasme yang tinggi serta membantu banyak di peternakan," kata Teh.

"Saya berharap tidak lama lagi, dia akan mengambil alih semuanya," tambah Teh.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 
  
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai dugaan penganiayaan yang berujung sorotan tajam terhadap gaya hidup mewah ASN di Indonesia.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement