Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Diilhami sulitnya besarkan anak dengan autisme, ibu di Singapura tergugah dirikan lembaga amal

Kampanye The Takeout bermula pada 2020 ketika Faraliza Zainal dan timnya ingin membantu keluarga dengan masalah finansial, kondisi yang mereka semua pernah mengalaminya juga.

Diilhami sulitnya besarkan anak dengan autisme, ibu di Singapura tergugah dirikan lembaga amal
Faraliza Zainal dan putranya Ashraf dalam Parade Ungu, di depan stan Ashraf's Cafe. (Foto: MIJ Hub)

SINGAPURA: Faraliza Zainal dan putranya yang masih balita pernah sama-sama menangis tersedu.

Peristiwa itu bermula ketika mereka pergi ke taman untuk bermain, namun mendadak turun hujan. Rencana bermain pun gagal, Faraliza kemudian mengajak putranya kembali ke mobil. Namun bocah itu bersikeras menolak untuk masuk.

Butuh waktu lama bagi Faraliza untuk membujuk putranya agar masuk ke mobil. Dalam perjalanan pulang, Faraliza menangis karena tidak habis pikir atas kelakuan anaknya.

"Apa maumu?" teriak dia berulang kali. Anak itu lalu menangis selama dua jam tanpa merespons ibunya.

Bahkan, anak itu seperti tidak tahu sama sekali bagaimana cara merespons ibunya.

Selama ini Faraliza memang dalam penyangkalan tentang spektrum autisme yang kemungkinan dialami putranya. Gangguan ini biasanya memiliki gejala seperti keterlambatan berbicara atau sulit berkomunikasi di masa kanak-kanak.

Autisme biasanya dapat didiagnosis ketika usia anak tiga tahun, dengan berbagai gejala yang seringkali muncul di usia 18 bulan.

Insiden di taman itu akhirnya mendorong Farazila mengambil kursus cara merawat anak berkebutuhan khusus, sampai pada akhirnya dia memprakarsai organisasi nirlaba My Inspiring Journey (MIJ) Special Education Hub, untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus seperti putranya, Mohd Ashraf Mohd Ali.

Mohd Ashraf Mohd Ali dan kawannya Shahir Sumani membagikan makanan berbuka untuk keluarga di Woodlands. (Foto: CNA/Raydza Rahman)

Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga amal Farazila telah memperluas layanan mereka dengan menyediakan bantuan makanan rumahan kepada sekitar 30-an keluarga berpenghasilan rendah dengan anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak dengan keterlambatan perkembangan umum dan sindrom down. Banyak dari anak-anak itu adalah bekas pelajar di MIJ.

Kampanye bernama Takeout tersebut kini telah berusia empat tahun. Mereka sempat mengalami kekurangan dana tahun lalu, memaksa Faraliza dan timnya mengurangi pengiriman makanan pekanan menjadi sebulan sekali.

Tahun ini, selama bulan Ramadan, mereka kembali mengirim makanan berbuka puasa setiap pekan untuk keluarga-keluarga di Singapura. Jumlah yang diantar sekitar 170 paket makanan setiap harinya selama delapan hari berturut-turut.

CNA mengikuti proses persiapan dan distribusi makanan pada 26 Maret lalu dan berbicara dengan Faraliza mengenai perjalanan keluarganya membesarkan Ashraf yang saat ini berusia 23 tahun.

Warga di Woodlands menerima makanan berbuka dari Ashraf. (Foto: CNA/Raydza Rahman)

MASA-MASA "ROLLERCOASTER"

Kepada CNA, Faraliza mengatakan pengalaman dia dan suaminya membesarkan putra mereka, ditambah kesulitan finansial yang dialami sebagai orangtua anak berkebutuhan khusus, membuat dia bisa memahami kesulitan yang dialami para penerima donasi MIJ.

"Di tahun-tahun awal ketika Ashraf pertama kali didiagnosis, saya bisa menggambarkannya seperti masa-masa 'rollercoaster'," kata dia.

"Secara emosional, saya tidak stabil... Dan itu adalah hari-hari saat saya tidak punya banyak pengetahuan tentang autisme. Jadi sebagai orangtua muda, saya tidak tahu apa-apa."

Faraliza sering bertengkar dengan suaminya, Mohammad Ali Dawood, yang pernah bekerja penuh-waktu di industri penerbangan. Pasangan ini mengalami masa-masa sulit ketika Ali dipecat beberapa tahun sebelumnya pada krisis keuangan 1997.

Pendiri MIJ Hub, Mohammad Ali Dawood dan Faraliza Zainal (Foto: MIJ Hub)

Pada dua tahun pertama kehidupan Ashraf, Faraliza tidak dapat menerima bahwa putranya itu "spesial". Kejadian-kejadian emosional yang dialami Ashraf setiap hari, termasuk peristiwa di taman, membuat Faraliza dan Ali frustrasi dan tidak yakin mesti melakukan apa.

"Saya ingat ketika pertama kali dia mengalami peristiwa emosional. Sulit bagi saya menghadapinya karena tidak tahu apa yang dia mau," kenang Faraliza.

"Saya sendiri bisa marah karena berpikir, 'Mengapa anakku seperti ini?' Karena dia tidak bisa mengekspresikan diri dengan jelas."

Barulah ketika Faraliza mulai mengambil kursus dan belajar lebih banyak tentang autisme, dia mulai menerima Ashraf apa adanya. Kemudian, Faraliza memiliki dua anak lagi.

Kesulitan keuangan yang dialami membuat mereka harus mengencangkan ikat pinggang.

Selain autisme yang membutuhkan sesi terapi mahal, Ashraf juga menderita penyakit langka bernama tuberous sclerosis yang membuat dia mengalami kejang-kejang epilepsi. Kondisi ini membuat dia seringkali harus menjalani pengobatan di rumah sakit, dan biayanya mahal.

Ketika Ashraf mulai menghadiri kelas agama dengan adik perempuannya, kondisinya memburuk. Teman sekelasnya pernah mengejek Ashraf "gila", membuat dia lari bersembunyi di bawah meja.

Karena khawatir akan kesehatan mental putranya, Faraliza mengeluarkan Ashraf dari kelas tersebut. Tapi Ashraf melihat adiknya sangat senang mengikuti kelas itu dan meminta apakah  dia bisa mengikutinya lagi.

Di saat itulah Faraliza memutuskan berhenti kerja dan mendirikan MIJ pada 2011, lembaga penyedia kelas agama Islam setiap akhir pekan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak saat itu, MIJ telah menerima orang-orang berkebutuhan khusus usia antara dua hingga 30 tahun dari semua kalangan masyarakat.

Saat ini ada lebih dari 300 siswa yang mengikuti program MIJ di tiga cabang, yaitu Geylang Serai, Woodlands, dan Jurong. MIJ menghadirkan berbagai program, di antaranya sebagai pusat kegiatan masyarakat, penanganan siswa inklusif dan program kesiapan kerja bagi siswa dewasa.

Faraliza mengatakan,"kami melihat MIJ tumbuh seiring pertumbuhan Ashraf. Karena ketika kebutuhan Ashraf bertumbuh, dia harus ditempatkan di sekolah yang membuat dia merasa aman dan nyaman."   

"Jadi kami membuka kelas harian untuk mereka yang sulit menempuh pendidikan akademik namun masih bisa mengikuti pendidikan kejuruan. Dari waktu ke waktu, kami punya program-program lain berdasarkan permintaan dari para orangtua di luar sana - orang tua seperti saya yang memiliki anak berkebutuhan khusus."

Pada 2018, MIJ mendirikan Kafe Ashraf di bekas gedung MIJ lama di Changi Road No. 168, menjual menu-menu Barat dengan harga terjangkau.

Para karyawan di Kafe Ashraf. (Foto: MIJ Hub)

Kafe yang didirikan MIJ tersebut mempekerjakan dan melatih orang-orang yang berkebutuhan khusus agar bisa memasak, menyajikan makanan, dan mengembangkan kemampuan sosial di lingkungan yang aman. Sayangnya, gerai fisik kafe itu ditutup tahun lalu setelah pandemi COVID-19 berdampak buruk pada bisnis dan berakhirnya masa sewa.

Saat ini mereka hanya menerima pesanan secara daring, dan MIJ juga mendirikan gerai di kantin sekolah Methodist Girls’ School.

Faraliza kemudian menggagas Kampanye Takeout pada Oktober 2020. Gagasan ini muncul setelah timnya melakukan survei terhadap siswa-siswa dari keluarga berpenghasilan rendah, dan mendapati kebanyakan dari mereka hanya makan sekali sehari.

Faraliza juga terkejut ketika mengetahui bahwa keluarga-keluarga ini menjadikan mi instan, yang harganya murah dan mudah dibuat, menjadi makanan pokok sehari-hari.

"Begitulah awal mula munculnya kampanye ini. Saya pernah mengalami momen-momen tersebut," kata dia. "Keuangan sangat ketat, makanannya tidak enak. Kami tidak bisa makan di luar. Kami tidak bisa makan enak."

MIJ lalu mulai mengirimkan makanan hingga tiga kali sepekan dan mendapatkan respons positif. Faraliza mengatakan beberapa keluarga menyimpan paket makanan yang diberikan untuk dimakan malam hari.

"Beberapa bahkan mengatakan bahwa (ketika melihat) karyawan kami yang berkebutuhan khusus, mereka terinspirasi agar anak-anak mereka juga bisa ikut berkontribusi kepada masyarakat," tambah dia.

Sampai akhir tahun lalu, MIJ berhasil mengumpulkan dana S$200.000 (Rp2,2 miliar) dan mengirimkan lebih dari 22.000 paket makanan. MIJ lalu mengalami kekurangan dana dan mulai memangkas frekuensi pengiriman menjadi hanya sebulan sekali.

Awal tahun ini, MIJ mengalihkan kampanye pengumpulan dana ke situs GIVE.asia untuk membiayai Kampanye Takeout. Melalui situs tersebut, sejauh ini mereka berhasil mengumpulkan S$21.000 (Rp231 juta) untuk membeli paket makanan berbuka selama bulan Ramadan.

Akhir Maret lalu, karyawan MIJ dan relawan dari berbagai organisasi, salah satunya Universitas Manajemen Singapura, bekerja sama menyiapkan makanan. 

Hamizul Hakim Muhammad, 27, telah menjadi bagian dari Kampanye Takeout sejak pertama kali diluncurkan tiga tahun lalu. Dia memimpin grup beranggotakan 60 relawan muda dari Masjid Al Abdul Razak, yang berlokasi hanya beberapa menit perjalanan dari markas MIJ.

"Saya kira ini adalah cara untuk berkontribusi kepada masyarakat dan membantu selama Ramadan," kata Hamizul.

Para relawan juga telah merencanakan acara khusus pada 1 April nanti ketika para siswa MIJ mengadakan pertunjukan dan buka bersama dengan teman-teman dan keluarga mereka.

Ke depannya, Faraliza berharap Kampanye Takeout dapat menggalang lebih banyak dana dan kembali menyalurkan makanan kepada yang membutuhkan setiap minggunya.

Bagi keluarga Faraliza, keadaan sudah mulai membaik. Dia punya satu saran untuk keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus: Jangan terlalu lama berpikir untuk bisa menerima mereka apa adanya.

"Saya membuat kesalahan itu selama dua tahun ... Saya menyadari pentingnya intervensi dari awal," kata dia.

"Seringkali, sebagai orangtua, kita ingin mereka memenuhi harapan kita, tapi kita lupa bahwa anak itu punya batasan tertentu ... contohnya, jika Anda punya anak dengan autisme, mengapa mereka bertepuk tangan? Mengapa mereka menutup telinga? Mengapa mereka selalu berteriak?"

"Kita harus memasuki dunia mereka dan memahami mengapa mereka melakukan itu. Hanya dengan memahami mereka lebih baik, maka kita akan bisa merawat mereka dengan lebih baik juga."

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai perjuangan eks pilot tempur Singapura mempertahankan peternakan burung unta miliknya.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement