Produksi daging di lab: Upaya Malaysia kurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan
Memperingati Hari Bumi, CNA mengulas fasilitas produksi daging budidaya pertama Malaysia di Penang dan apa dampaknya bagi perubahan iklim.
SINGAPURA: Malaysia akan mulai memproduksi sendiri daging yang dibudidayakan di laboratorium dalam dua tahun ke depan, sebuah langkah yang berpotensi membantu memerangi perubahan iklim.
Perusahaan Malaysia Cell AgriTech menargetkan pembangunan fasilitas produksi daging budidaya pertama di Penang pada akhir 2024. Di fasilitas tersebut, mereka akan menumbuhkan sel-sel hewan dalam bioreaktor untuk menjadi produk daging untuk konsumen.
Di permukaan, teknologi ini lebih ramah lingkungan dibanding peternakan tradisional. Menumbuhkan daging di lab menggunakan lahan yang jauh lebih kecil dan produksi bisa lebih dekat dengan konsumen, sehingga mengurangi jejak karbon dari pembukaan lahan serta logistik dalam pengiriman produk.
Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2013, sebanyak 14,5 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca yang disebabkan manusia terkait dengan peternakan.
Mayoritas emisi ini berasal dari produksi pakan dan gas yang dikeluarkan dalam proses pencernaan hewan, contohnya, ketika sapi bersendawa dan mengeluarkan metana. Gas metana disebut lebih berbahaya bagi lingkungan ketimbang karbondioksida.
"Kami menggunakan lahan, air, dan limbah yang lebih sedikit," kata pendiri Cell AgriTech Jason Ng kepada CNA, menekankan bahwa sel-sel daging hanya akan diambil dari satu ekor hewan.
"Jika bicara tentang ikan, beberapa orang tidak memakan kepala atau kulitnya. Tapi kami bisa mengambil sel otot dari ikan dan memproduksi fillet ikan."
Cell AgriTech yang bermitra dengan produsen daging budidaya asal Singapura, Umami Meats, menargetkan produksi daging budidaya ikan kerapu dan belut Jepang dalam skala ekspor pada 2025.
Saat ini Malaysia belum mengizinkan penjualan daging budidaya. Tapi Ng mengatakan perusahaannya tengah bekerja sama dengan kementerian kesehatan Malaysia untuk menetapkan peraturan keamanan untuk produk-produk ini.
Ng meyakini, proses sertifikasi yang ketat akan membuat daging budidaya lebih aman dikonsumsi daripada daging konvensional. Terlebih lagi produknya - tidak seperti hewan ternak - tidak akan disuntik antibiotik.
Perusahaannya pertama akan fokus membudidayakan boga bahari sebelum beranjak ke produksi daging merah dan ayam. Tingginya biaya produksi daging budidaya menjadikan produk ikan premium sebagai kandidat ideal untuk ditumbuhkan di lab karena harga jualnya yang tinggi.
Ng berharap bisa mengurangi harga ikan produksi labnya dari US$60/kg (Rp882 ribu) menjadi kurang dari US$30/kg (Rp441 ribu) sebelum 2025 dengan menggunakan medium kaya-nutrisi yang lebih murah dalam menumbuhkan sel-sel daging. Target akhirnya adalah membanderol seluruh produk daging budidaya di harga US$10/kg (Rp147 ribu).
"Tahun lalu, kami berhasil menemukan pengganti untuk bahan yang membuat daging budidaya sangat mahal," kata dia, menambahkan bahwa ini adalah langkah penting menuju produksi skala-besar yang membuka jalan didirikannya fasilitas tersebut.
Mekipun banyak yang mengatakan produksi daging di lab lebih ramah lingkungan daripada metode ternak tradisional, namun Ng mengakui perlu daya listrik besar untuk menumbuhkan daging di bioreaktor dalam jumlah banyak.
"Sinar matahari bagus di Malaysia, jadi kami akan menggunakan energi surya untuk menggerakkan bioreaktor. Kami tidak bisa mengatakan bahwa kami menggunakan nol listrik jika dibanding ternak konvensional, tapi kami mencoba meminimalkannya," kata dia.
HAMBATAN YANG MENGADANG
Dr Tan Thuan Chew, ahli protein alternatif di Universiti Sains Malaysia, mengatakan daging budidaya "tidak sepenuhnya tanpa dampak lingkungan".
"Produksi daging budidaya menghasilkan material limbah seperti media penumbuh, bioreaktor dan perangkat lainnya," kata dia kepada CNA. "Pembuangan material ini memiliki dampak terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik."
Media penumbuh adalah larutan yang membuat sel dapat tumbuh dan berkembang biak. Termasuk di dalamnya adalah fetal bovine serum, sisa-sisa cairan setelah darah yang diambil dari janin sapi menggumpal.Â
Walau demikian, Tan mencatat bahwa daging budidaya berpotensi "secara signifikan mengurangi" emisi gas rumah kaca dibanding produksi daging tradisional, dan dapat mengatasi berbagai masalah seperti kesejahteraan hewan dan ketahanan pangan.
"Namun, teknologi ini masih baru dan diperlukan riset dan pengembangan untuk membuatnya layak secara komersial dan berkelanjutan," kata dia.
Tan mengatakan, Malaysia perlu menanamkan investasi pada infrastruktur baru yang mendukung produksi dan distribusi daging budidaya, termasuk fasilitas khusus untuk menumbuhkan sel-sel daging.
"Sebagai tambahan, daging budidaya saat ini diproduksi dalam skala kecil, dan meningkatkan skala produksinya untuk memenuhi permintaan konsumen akan jadi tantangan," kata dia.
"Teknologi yang digunakan untuk menciptakan daging budidaya perlu disempurnakan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya."
Saat ini, Cell AgriTech bekerja sama dengan Umami Meats yang menyuplai teknologi produksi, termasuk pasokan sel-sel ikan, formula media penumbuh yang telah dioptimalkan dan pengetahuan terkait proses produksi.
Sementara Cell Agritech yang berbasis di Malaysia akan menyediakan proses manufaktur skala besar dengan pekerja dan ongkos produksi yang lebih murah.
Selain infrastruktur, Dr Tan mengatakan konsumen mungkin khawatir dengan keamanan, rasa atau tekstur dari daging budidaya. Pemerintah, kata Tan, harus membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi keuntungan daging budidaya ini.
Masih ada masalah juga terkait apakah daging yang ditumbuhkan di lab ini dapat tersertifikasi halal, kata Tan.
"Apakah daging budidaya ini halal atau tidak masih menjadi perdebatan di antara cendekiawan dan pakar Islam," kata Dr Tan.Â
Ng sendiri mengatakan bahwa Cell AgriTech telah mengundang otoritas sertifikasi halal di Malaysia untuk memimpin diskusi sebagai bagian dari komite kerja dengan para akademisi.
"Kami telah memberitahu JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) bahwa kami bisa mulai dengan daging boga bahari budidaya yang halal," kata dia.
"Mereka (JAKIM) perlu memiliki standar, mulai dari bagaimana caranya kami mengambil sel dari hewan. Jika mereka punya standar tersebut, kami yakin sertifikasi halal dapat dilakukan."
CNA telah mencoba meminta komentar dari JAKIM.
Untuk rasa dan tekstur, Ng mengatakan daging budidaya ditumbuhkan dari sel hewan sehingga tidak akan ada bedanya. Bahkan kadar kolesterolnya juga sama.
"Dari banyak pecinta daging, Anda tidak bisa membuat mereka memakan daging berbahan dasar tumbuhan (karena rasanya berbeda). Itulah mengapa kami menciptakan alternatif ini, karena ini adalah daging asli," kata dia.
Ng juga mengklaim daging budidaya miliknya lebih bergizi dibanding daging konvensional, karena sel-selnya diberikan makan dan dirawat dengan baik.
Berbagai kelebihan ini, dia meyakini, akan lebih menjual ketimbang potensi kebaikannya terhadap lingkungan ketika diperkenalkan kepada publik Malaysia.
"Sejujurnya, orang-orang Eropa lebih peduli terhadap permasalahan lingkungan ini," kata dia.
"Tapi Malaysia juga telah berkomitmen dalam perjanjian pengurangan emisi karbon, jadi (saya rasa daging budidaya) akan selaras dengan agenda pemerintah."
MENGURANGI DAMPAK IKLIM
Dr Tan mengatakan pemerintah Malaysia bisa merencanakan kebijakan dan peraturan untuk mendukung praktik peternakan yang berkelanjutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari industri daging.
Termasuk juga, kata Tan, menggunakan kebijakan yang sudah ada seperti Kebijakan Agro-Pangan 2021-2030 dan Kebijakan Nasional untuk Perubahan Iklim, dan peraturan luar negeri seperti kebijakan daging budidaya Singapura.
Pada 2020, Singapura adalah negara pertama di dunia yang menyetujui penjualan produk daging budidaya. Dua tahun kemudian, AS mengumumkan bahwa daging lab aman dimakan.
"Konsumen dapat diedukasi mengenai dampak lingkungan dari produksi daging dan didorong untuk mengurangi konsumsi daging atau beralih ke alternatif yang lebih berkelanjutan," Dr Tan menambahkan.
Rencana produksi daging budidaya di Malaysia muncul seiring angka konsumsi daging global yang meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan konsumsi per kapita hampir dua kali lipat sejak awal 1960-an, berdasarkan data FAO.
Sebuah studi pada 2009 mengkalkulasikan konsumsi daging Malaysia akan meningkat terus sampai 2020, memicu juga peningkatan produksi daging dan emisi gas rumah kaca.
Studi ini dilakukan oleh Tey Yeong-Sheng, peneliti senior dari Institut Pertanian dan Studi Kebijakan Pangan di Universiti Putra Malaysia.
Dalam studi itu disebutkan, produksi daging unggas di Malaysia diproyeksi mengeluarkan 3,2 miliar metrik ton emisi karbondioksida pada 2020, naik dari 1,7 miliar metrik ton pada 2010. Produksi daging unggas diketahui memiliki dampak lingkungan terbesar, disusul oleh daging sapi, babi dan domba.
Dr Tan juga menyerukan peningkatan standar hidup di Malaysia, yang secara tidak langsung akan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dari produksi dan konsumsi daging.
"Masyarakat yang hidup dalam kemiskinan seringkali memiliki akses terbatas untuk pilihan makanan yang sehat dan berkelanjutan, membuat mereka terlalu tergantung pada produk daging yang murah dan tidak sehat," kata dia.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai perjuangan perempuan Jawa Barat melestarikan owa Jawa dalam keadaan nyaris buta.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.