Strategi hijau pulau Koh Mak di Thailand, tempat waktu seakan berjalan lebih lambat
Memperingati Hari Bumi, CNA mengunjungi destinasi wisata rendah karbon pertama di Thailand dan dampaknya terhadap pembangunan yang berkelanjutan.

KOH MAK, Thailand: Terletak di lepas pantai, di Teluk Thailand, Pulau Koh Mak ibarat saudara kandung yang aneh.
Beberapa tahun terakhir, kepulauan di sisi Thailand ini memang semakin berkembang dan ramai dikunjungi turis yang ingin menikmati laut biru tenang dengan pemandangan pulau yang menawan.
Sementara pulau Koh Kood menawarkan kemewahan, dan Koh Chang terkenal dengan kehidupan malam dan hiburannya, pulau ketiga dan yang terkecil, Koh Mak, justru mencoba tidak terjebak pada pariwisata massal.
Para pemimpin di Koh Mak memang sengaja melakukan pendekatan yang berbeda. Menginjakkan kaki di pulau kecil yang hanya dihuni beberapa ratus orang ini, rasanya seperti kembali ke masa lalu.
Pantai dengan pasir keemasannya sebagian besar tak tersentuh pembangunan. Mobil golf listrik, untuk mengantarkan penumpang melintasi jalanan pulau yang bersih, melaju dengan hening. Gerai 7-Eleven, Starbucks, atau bar koktail murah yang banyak tersebar di tempat wisata Thailand, absen keberadaannya di Koh Mak.
Pulau ini sudah sunyi saat malam masih terlalu dini. Hampir tidak ada pergerakan kecuali ombak yang terhempas ke bibir pantai.

"Tidak ada yang tetap sama di dunia ini, tapi yang coba kami lakukan saat ini adalah menahan jarum jam dan memperlambat waktu, untuk melestarikan alam dan cara hidup kami," kata Tanin Suddhidhanakool, pemilik usaha dan penduduk generasi kelima di Koh Mak.
Upaya mengubah pulau tersebut menjadi ikon wisata hijau telah terbayarkan. Koh Mak tahun lalu diakui sebagai satu dari 100 destinasi pariwisata berkelanjutan terbaik di seluruh dunia, berdasarkan penilaian Green Destinations Foundation.Â
Yayasan asal Belanda itu mendukung komunitas dan para pemilik usaha di destinasi pariwisata berkelanjutan, serta melakukan sertifikasi dan mengadakan berbagai program pelatihan.
Koh Mak menjadi satu dari tiga lokasi penerima penghargaan itu di Thailand, bersama dengan Desa Ban Huay Pu Keng di Mae Hong Son dan distrik Sapphaya di provinsi Chai Nat.
Koh Mak juga diakui sebagai destinasi rendah karbon pertama di Thailand.

Pulau ini diakui dunia karena telah merancang strategi pariwisata rendah emisi karbon, dan dampaknya yang minim terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Perjalanan ini dimulai pada 2012 dengan bantuan instansi pemerintah bernama DASTA - Badan untuk Wilayah Khusus Pariwisata Berkelanjutan.
Strategi ini fokus pada empat isu: Penggunaan energi yang efisien dan adopsi sumber energi alternatif, penghematan air, peningkatan manajemen sampah dan pelestarian cara hidup masyarakat lokal.
Di Koh Mak juga dijalankan inisiatif untuk mengonsumsi makanan dan sayuran yang ditumbuhkan penduduk setempat, mendorong hotel-hotel di pulau itu untuk beroperasi lebih ramah lingkungan, mengurangi penggunaan plastik dan meningkatkan keragaman terumbu karang.
Ambisi menjadikan Koh Mak sebagai pulau rendah-karbon sudah menjadi cara alamiah penduduknya dalam mengelola pulau itu selama lebih dari 100 tahun. Ada nuansa kedamaian yang dirasakan ketika hidup di sini. Ini bukanlah sebuah kebetulan.

Sejak akhir abad ke-19, nenek moyang dari generasi saat ini di Koh Mak membeli pulau tersebut dan pindah ke sana dari Ban Koh Po, sekarang bagian dari Kamboja. Sejak saat itu, mereka sengaja meredam perkembangan di pulau.
Sementara pulau tetangga, Koh Chang dan Koh Kood, dimiliki dan dikendalikan sebagian besarnya oleh pemerintah dan angkatan laut Thailand, Koh Mak yang dimiliki secara privat ditentukan nasibnya oleh lima keluarga pemiliknya.
kontrol privat yang ketat membuat perkebunan kelapa sawit dan karet masih banyak ditemui di seluruh bagian pulau. Dan masih ada keterikatan komunal dalam mengambil keputusan.
Musyawarah warga lokal dilakukan ketika keputusan yang sulit harus diambil, mulai dari izin pembangunan sampai permohonan masuknya pelaku usaha dari luar.
Adalah kedatangan jet ski bermotor sekitar 20 tahun lalu yang telah memicu perdebatan sengit di antara warga Koh Mak. Tapi akhirnya mereka memutuskan untuk berani menolak segala bentuk aktivitas yang bisa mengganggu kedamaian pulau.
"Kami khawatir akan terlalu banyak orang yang datang dan kami tidak bisa mempertahankan cara kami hidup. Itulah mengapa dengan melakukan musyawarah kami telah mengatakan tidak kepada banyak hal," kata Nipon Suddhidhanakool, warga generasi kelima dan pemilik sebuah penginapan kecil.

Ada beberapa peraturan yang menjadi pemandu perilaku di Koh Mak, di antaranya pembatasan jumlah kendaraan, blokade kapal feri menuju pulau, larangan penggunaan bahan kimia dan kemasan makanan, larangan olahraga laut dan darat yang mengganggu, serta membatasi aktivitas bising setelah pukul 10 malam.
"Peraturan dan regulasi membantu publik untuk memahami bagaimana cara kami hidup di sini dan bagi para investor yang datang agar mengetahui nilai-nilai yang melindungi cara hidup kami tersebut," kata Nipon.
"Kami berusaha semampunya untuk menjadi masyarakat yang hidup tenang sekaligus sebagai tempat tujuan wisata."
KEMAJUAN YANG TERKENDALI
Tidak semua bagian pulau diperuntukkan bagi perdesaan dan alam. Deretan penginapan mewah telah bermunculan di sisi pesisir utara. Namun etos operasional penginapan-penginapan itu dirancang agar tetap selaras dengan seluruh bagian Koh Mak.
Pak Kanjanapak telah tinggal selama tiga tahun di pulau itu sebelum akhirnya memutuskan mendirikan resornya - Little Moon Villas.
Ketika itu, dia memikirkan gaya dan kepekaan apa yang harus dimiliki penginapannya. Hal itu akhirnya diwujudkan dalam gaya penginapan arsitektur terbuka, yang menjadikan alam sebagai pengalaman utama bagi tamu di resornya. Gaya ini sesuai dengan keinginan warga Koh Mak agar pulau itu bebas dari pagar.
"Tamu-tamu kami adalah mereka yang mengerti bagaimana Koh Mak seharusnya. Beberapa orang mungkin tidak memahami apa itu rendah-karbon, tapi mereka paham bahwa itu adalah cara hidup bersatu dengan alam," kata dia.

Salah satu inisiatif Pak adalah agar resornya memfilter air minum sendiri untuk tamu demi mengurangi dampak buruk botol plastik sekali pakai - sebuah masalah yang jamak terjadi di pulau-pulau wisata.
"Saya memperkirakan bahwa kami bisa mengurangi penggunaan botol plastik hingga sekitar 15.000 per tahun. Jadi kami beralih ke botol kaca," kata dia.
"Awalnya, kami khawatir tamu tidak menyukai botol kaca dengan air yang kami produksi sendiri. Tapi ternyata para tamu senang dengan apa yang kami lakukan."
Dalam waktu dekat, resor itu akan memasang panel tenaga surya sebagai penyedia energi bersih dan juga meningkatkan pengalaman bersantap "dari pertanian ke meja makan" dengan menu dari bahan-bahan makanan yang ditumbuhkan di pulau tersebut.
Kepala organisasi pemerintahan sub-distrik Koh Mak, Nohn Suvachananonda, membayangkan ke depannya pulau itu akan menjadi sebuah tempat pelarian bagi turis.Â
"Ketika dunia menjadi sangat maju, akan ada sekelompok orang yang ingin kembali ke alam. Kami melihat Koh Mak adalah jawaban dari kebutuhan mereka. Di sini mereka bisa merasakan kehidupan masyarakat lokal sesungguhnya dan cara hidup tradisional mereka," kata dia.
Dia menambahkan: "Saya selalu mengatakan kepada kawan saya untuk datang ke Koh Mak dan 'merasakan gaya hidup klasik'. Anda bisa kembali ke kehidupan yang santai ditemani laut, udara bersih dan makanan."
"Tapi kami tidak akan kembali ke belakang. Kami memang melakukan konservasi, tapi juga pembangunan di waktu bersamaan."

PENTINGNYA GENERASI PENERUS
Bagi DASTA, penghargaan internasional untuk Koh Mak merupakan pengakuan atas kerja keras selama bertahun-tahun yang tidak diukur diukur atau dinilai.
"Ada banyak hal yang dipertimbangkan untuk menjadi sebuah model keberlanjutan. Butuh waktu yang lama. Tapi saya kira karena telah memenangkan penghargaan Top 100, citra pulau ini menjadi jelas dan hasilnya lebih nyata," kata Sutharak Soonthornwipat, direktur pelaksana Kantor DATSA Area 3 yang mencakup provinsi Trat.
"Akan ada lebih banyak wisatawan berkualitas yang datang. Dan ini akan menjadi tujuan atau panduan penting bagi pulau-pulau lainnya agar mempertimbangkan mengikuti langkah ini."
"Sekarang, kami menargetkan memperluas pembangunan yang telah dilakukan di Koh Mak ke Koh Chang dalam beberapa tahun ke depan," kata dia.
Warga Koh Mak menyadari apa yang mereka lakukan saat ini telah mengorbankan keuntungan materi - sebuah realitas yang berusaha dihindari di tempat-tempat lain.
Pembangunan ekonomi - dan potensi pendapatan di dalamnya - jauh berbeda dengan pulau terdekat Koh Chang dan Koh Kood.
Namun pengorbanan finansial itu ternyata menghasilkan keuntungan-keuntungan lainnya.

"Kami selalu berpikir jika membiarkan pariwisata tumbuh tanpa arah, kami akan kehilangan kendali dan itu akan memengaruhi cara hidup kami dan tidak akan ada lagi kebahagiaan di sini," kata Tanin.
"Jika terumbu karang rusak, hutan hilang, udara akan menjadi buruk dan orang-orang berselisih, bagaimana kami bisa memperbaikinya? Saya kira uang dan keuntungan yang didapat tidak cukup untuk mengembalikan itu semua."
"Berbahaya jika kami membiarkan semua berubah terlalu cepat."
Generasi kelima penduduk Koh Mak - yang mempelopori gaya hidup ini - sudah mulai menua. Mereka menyadari bahwa masa depan Koh Mak akan segera jatuh ke tangan anak-anak mereka.
"Menurut saya dengan menjadi ramah lingkungan dan rendah karbon tidak akan menguntungkan. Tapi dengan adanya generasi penerus ini, saya yakin mereka bisa menemukan cara untuk berbisnis," kata Nipon.

Dengan menargetkan kepada wisatawan yang tepat, Nippon mengatakan, jenis pariwisata khusus yang mereka pilih memiliki banyak potensi. Berbagai aktivitas baru seperti yoga, jelajah alam dan program-program sukarelawan komunitas yang lebih menarik sudah dimulai.
Dia tidak setuju dengan pendapat saudaranya, Tanin, yang mengatakan pembangunan di pulau itu harus diperlambat agar bisa bertahan untuk tahun-tahun mendatang. Harapan Nipon jatuh kepada para generasi berikutnya dan dia yakin mereka akan menemukan cara baru untuk tetap sukses dan harmonis di pulau itu.
"Kita harus membiarkan waktu berjalan, tapi kita juga harus memahami setiap generasi dan berjalan beriringan dengan mereka," kata dia.
"Koh Mak mungkin satu dari sedikit pulau yang bisa melakukannya di Thailand. Tapi sampai kapan? Kami tidak tahu. Ini terserah mereka."
Laporan tambahan oleh Ryn Jirenuwat
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai perjuangan perempuan di Jawa Barat melestarikan owa Jawa di tengah kondisinya yang nyaris buta.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.