Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Berjuang dalam gelap: Nyaris buta tak surutkan tekad Tini lestarikan owa jawa

Untuk memperingati Hari Bumi, CNA mengangkat perjuangan perempuan di Jawa Barat dalam melestarikan owa jawa yang hampir punah, walau dia sendiri dalam keadaan hampir buta. 

 Berjuang dalam gelap: Nyaris buta tak surutkan tekad Tini lestarikan owa jawa
Tini Kasmawati memberikan pisang kepada salah satu owa Jawa di hutan dekat desanya di Sukabumi, Jawa Barat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

SUKABUMI, Jawa Barat: Dengan tongkat yang menuntun langkahnya, sembari membopong tas berisikan pisang matang, Tini Kasmawati harus bersusah payah melintasi jalan setapak yang licin dan berlumpur di hutan yang mulai menggundul dekat desanya. Hujan gerimis, udara pagi yang dingin, dan yang paling merepotkan: penglihatan yang kian memburuk, sama sekali tidak menyurutkan langkahnya.

Tidak jarang, perempuan dengan gangguan penglihatan ini tergelincir di medan yang berbukit-bukit itu. Tapi Tini maju terus, tidak sabar bertemu makhluk yang menjadikan hutan ini rumah mereka: owa jawa, spesies terancam punah di Jawa, pulau terpadat di Indonesia.

Dalam sembilan tahun terakhir, Tini, penjual makanan berusia 51 tahun dari desa Lengkong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah memberikan makanan kepada satu keluarga owa Jawa yang tinggal di bukit yang dulunya dinaungi pepohohan yang lebat.

Bukit itu kini perlahan beralih menjadi perkebunan karet atau permukiman warga.

"Owa jawa hanya makan (buah) yang matang. Tetapi sebelum matang, sudah diambil sama pemilik (petani). Kalau nggak diambil sama pemilik, dicuri orang lain," kata Tini kepada CNA.

Dengan nyaris tidak ada yang bisa dimakan kecuali dedaunan dan serangga, konflik antara owa jawa dan warga kerap terjadi di desa Lengkong, semakin mengancam keberlangsungan hidup spesies yang hanya berjumlah sekitar 2.000 ekor di alam liar ini.

Owa jawa adalah makhluk teritorial dan jarang keluar dari wilayahnya, kecuali demi mencari pasangan untuk dikawini dan tinggal bersama seumur hidupnya.

Upaya Tini dalam memberikan makan kepada para owa jawa - dengan dimasukkan ke dalam ember lalu diletakkan di atap bambu - tidak hanya mencegah terjadinya konflik, tetapi juga meningkatkan keberlangsungan hidup hewan tersebut.

"Owa jawa punya insting yang sangat bagus. Jika mereka merasa kemarau panjang akan datang dan makanan jadi langka, mereka akan menunda punya anak," kata Tini.

Tini Kasmawati meletakkan pisang di dalam ember untuk memberi makan owa Jawa di hutan dekat rumahnya di Sukabumi, Jawa Barat. (Foto CNA/Wisnu Agung Prasetyo).

Dalam beberapa tahun terakhir, kawanan owa jawa di dekat desa Lengkong bertambah dari satu keluarga berjumlah empat ekor menjadi delapan ekor. Dua ekor anak owa jawa bahkan berhasil membentuk keluarga sendiri dan pindah ke wilayah lain di sekitar desa.

Namun, masa depan masih terlihat suram bagi mereka. 

Pada 2016, kerusakan jaringan saraf membuat Tini perlahan kehilangan penglihatannya. Mata kirinya sekarang buta total, dan daya melihat mata kanannya telah berkurang hingga di bawah 30 persen.

Kondisi ini semakin menyulitkan Tini dalam melakukan perjalanan selama 30 menit menuju bukit tempat owa jawa tinggal. Dia mengandalkan suara gemerisik dedaunan atau teriakan owa jawa yang khas mirip sirine untuk menemukan lokasi primata tersebut. 

Warga desanya enggan membantu, sehingga membuat usaha Tini - yang tidak menikah - tidak akan ada yang melanjutkan.

AWAL MULA KECINTAAN TERHADAP OWA JAWA

Tini mengatakan kepada CNA bahwa dia sudah sangat mencintai alam sedari kecil, selalu bermain di hutan dekat rumahnya.

"Dulu, populasi owa jawa sangat besar. Di daerah ini saja banyak koloni yang tinggal, karena dulu hutannya masih rapat, tidak seperti sekarang," kata dia.

Keadaan mulai berubah pada 1990-an ketika para penebang liar menebangi pepohonan di hutan Lengkong, merusak keanekaragaman hayati dan sebagian besar habitat tempat mencari makan owa jawa. Di lokasi yang sama, warga mulai menanam tanaman komersial seperti karet dan pinus, yang tidak bisa menjadi makanan owa jawa.

Saat itu, Tini tidak terlalu memikirkan soal kerusakan lingkungan di dekat rumahnya. "Saya suka melihat owa jawa. Saya suka alam liar. Tapi saya tidak terlalu memikirkan mereka," kata dia.

Perasaan itu berubah pada 2014 ketika seorang mahasiswi Belanda datang ke desanya untuk meneliti owa jawa. Mahasiswi itu menyewa kamar di rumah mendiang kakaknya dan Tini kerap menemani dia keluar masuk hutan.

"Saya heran, dia jauh-jauh dari Belanda datang ke sini cuma pengin tahu owa seperti apa," kata Tini.

"Setelah (mahasiswi itu) menyelesaikan risetnya, saya penasaran. Saya keluar masuk hutan sendirian dan mengamati mereka (owa-owa jawa)."

Sekawanan owa Jawa di hutan Sukabumi. Peneliti memperkirakan hanya tersisa 2.000 ekor owa Jawa yang terancam punah di alam liar. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Tini fokus memberi makan satu keluarga owa jawa yang tinggal di pinggiran hutan. Dia menamai sang pejantan sebagai Abah, betina; Emak, dan anak mereka yang tertua; Wiki, dan yang paling kecil; Jojo.

Kawanan itu tinggal dekat dengan permukiman warga, sehingga risiko terjadinya konflik sangat besar karena owa jawa dan warga desa saling berebut makanan.

"Ketika datang musim kemarau, tidak begitu banyak makanan yang bisa mereka konsumsi selain daun. Di saat itulah saya memberikan mereka makanan," kata Tini, menambahkan bahwa dia sudah berkonsultasi dengan mahasiswi Belanda yang pernah datang ke desanya.

KETIKA MALAPETAKA MELANDA

Tini sedang menemani para peneliti dari Indonesia pada akhir 2016 saat dia mulai kehilangan penglihatan.

"Entah kenapa saya nggak melihat lubang besar tepat di depan saya. Salah satu peneliti bertanya: 'Kok kamu nggak melihat lubang itu?' Saya juga bertanya hal yang sama kepada diri saya sendiri," kata Tini.

Mereka berpikir mungkin Tini kelelahan dan membawanya ke sebuah saung tempat beristirahat petani. Tidak lama setelah duduk, Tini jatuh dan pingsan.

Ketika sadarkan diri, Tini tidak bisa melihat apa-apa.

Dia tidak punya uang atau asuransi untuk mendapatkan perawatan medis yang layak. Akhirnya lembaga peneliti yang menggunakan jasanya sepakat membiayai sebagian ongkos pengobatan, sementara seorang politisi setempat menyediakan transportasi untuk membawa Tini ke Bandung, lima jam perjalanan dari desanya, untuk berobat ke dokter mata.

Pelestari owa Jawa, Tini Kasmawati, memiliki gangguan penghilatan. Mata kirinya buta total, sementara mata kanannya hanya melihat kurang dari 30 persen. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Setelah melalui beberapa kali operasi, Tini mulai memperoleh sebagian penglihatannya, cukup baginya untuk kembali melakukan apa yang dia cintai, yaitu merawat keluarga owa jawa.

Tapi Tini masih kesulitan melihat di kegelapan, objek yang lebih jauh dari jangkauan tangannya tidak lebih dari bayangan yang samar, pandangannya perlahan semakin memburuk.

"Biasanya saya masih bisa melihat dengan mata kiri, meski semuanya buram dan redup. Sekarang, saya nggak bisa melihat apa-apa lagi dengan mata kiri," kata dia, menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, sensitivitas cahaya di mata kanannya juga telah hilang.

TEKAD YANG MEMBARA

Walau kondisinya memburuk, Tini tetap bertekad merawat para owa jawa, yang kini telah beranak empat ekor lagi. Tini menamakan yang betina Tina dan tiga pejantan lainnya Naruto, Takeshi dan Arashi.

Untuk saat ini, Tini masih bisa menelusuri hutan bergantung pada ingatannya dan berjalan dengan bantuan tongkat. Tapi penglihatan yang memburuk membuat dia tidak bisa memastikan kondisi jalan yang dilaluinya, apakah kering atau licin. Terjatuh dan terluka, kata dia, semakin sering dia alami.

"Saya tidak punya regenerasi. Saya pernah bertanya (ke warga desa): 'Mau nggak bantu saya kasih makan (owa jawa)? (Mereka menjawab) 'Gajinya berapa?'," kata dia.

Tini menghabiskan sekitar Rp600.000 setiap bulannya untuk memberi makan owa jawa, sekitar setengah dari penghasilannya berjualan kopi dan makanan di warung. Tidak ada orang di desanya, bahkan saudara-saudaranya sendiri, yang bersedia membantu, kata dia.

"Saya punya cita-cita, suatu saat bisa membeli tanah tempat tinggal owa jawa dari warga setempat. Saya rencananya mau menanam buah-buahan di situ. Dengan begitu, walau saya sudah nggak ada, mereka nggak akan kelaparan," kata perempuan itu.

Sampai cita-citanya terwujud, Tini mengatakan akan terus melakukan semampunya untuk merawat para owa jawa. 

"Dulu kita punya harimau Sumatra. Dulu juga ada harimau Jawa dan Bali. Saat ini harimau sumatra yang tinggal sedikit saja masih diburu. Dan yang dua harimau lainnya sudah punah, tinggal gambarnya doang. Saya nggak mau hal itu terjadi sama owa Jawa," kata dia.

"Saya akan tetap berjuang sampai napas terakhir."

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai perjalanan pulang kampung dengan sepeda motor yang penuh bahaya. 

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Tini Kasmawati, pelestari owa Jawa, harus mengandalkan ingatannya dan tongkat berjalan untuk keluar masuk hutan karena penghilatannya yang memburuk. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement