Kekeringan panjang, kelangkaan air bersih, dan gagal panen akibat El Nino ancam Indonesia

JAKARTA: Sekian pekan sudah warga Desa Ridogalih beramai-ramai — jalan kaki maupun bersepeda motor, di bawah teriknya matahari musim kemarau — menuju satu sungai kecil untuk mandi dan cuci pakaian.
Di desa yang tenang ini — sekitar 90 menit dari ujung timur Jakarta dengan kendaraan bermotor — sumur-sumurnya telah surut sejak awal Juni, kering kerontang hingga ke dasar.
Sementara itu, sawah-sawah yang dulunya subur membentang seolah lautan manikam hijau telah malih menjadi dataran gersang, dengan batang-batang padi yang mencuat layu kecoklatan.
Didera kemarau panjang, sumber air terdekat bagi warga hanyalah Cihowe, sungai kecil yang membelah desa di Provinsi Jawa Barat ini.
"Sekarang saja permukaan air sungainya sudah surut," ujar Hanifah, 45 tahun, kepada CNA.
Ibu dua anak itu khawatir, jika kemarau terus berlanjut, Cihowe akan menyusut. Ini pernah terjadi pada 2019, ketika El Nino terjadi berbarengan dengan Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Kedua fenomena cuaca tersebut mengakibatkan kekeringan berkepanjangan di berbagai wilayah Indonesia.

IOD positif menekan pembentukan awan di beberapa wilayah Samudra Hindia tropis, dan umumnya menyebabkan kondisi lebih kering dan lebih hangat di sebagian besar Asia Tenggara bagian selatan.
Menurut Hanifah, kala itu sumur-sumur di Ridogalih mengalami kekeringan selama tujuh bulan, dan Sungai Cihowe berhenti mengalir. Warga harus mengantre berjam-jam untuk memperoleh air bersih dari truk-truk tangki kiriman pemerintah dan donatur.
Â
Kedatangan truk-truk itu tak menentu dan warga terpaksa menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk membeli air mineral. Dengan keringnya sawah ladang, para petani Ridogalih pun mencari kerja serabutan di tempat lain, sehingga desa tersebut kehilangan sebagian besar penduduk usia produktif.
Para ilmuwan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kedua fenomena cuaca tersebut akan terjadi lagi tahun ini, dan memperingatkan bahwa jutaan penduduk Indonesia mungkin akan menghadapi kekeringan berkepanjangan, kelangkaan air bersih, dan gagal panen.
BMKG juga memperingatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan mungkin akan meningkat tahun ini.

"Pemerintah daerah perlu melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera (untuk hadapi kekeringan)," tegas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, pada 21 Juli lalu. Ia menambahkan, kemarau diperkirakan akan mencapai puncaknya antara Agustus dan September, dan akan berlangsung hingga awal tahun depan.
Akhir bulan lalu, para pejabat daerah di seluruh Indonesia mulai memetakan daerah-daerah rawan kekeringan dan menyusun strategi untuk memitigasi dampak dari kedua fenomena cuaca tadi. Setidaknya satu provinsi, yakni Jawa Barat, telah mengumumkan keadaan darurat.
DAMPAK YANG MELUAS
Menurut data pemerintah, pada tahun 2019, sekitar 92 persen wilayah di Indonesia melaporkan musim kemarau yang "lebih parah dari biasanya" sebagai akibat dari El Nino dan peristiwa IOD positif.
Kondisi tersebut menyebabkan menurunnya akses terhadap air bersih bagi sekitar 48,5 juta orang di seluruh Indonesia. Tahun itu, keadaan darurat kekeringan diumumkan di provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pemerintah belum memperkirakan berapa banyak orang yang akan terkena dampak kekeringan pada tahun ini, namun beberapa daerah sudah mulai merasakan efek dari dua fenomena cuaca yang disebutkan sebelumnya.
Menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia, pekan lalu paceklik dilaporkan terjadi di tiga kabupaten di Papua setelah musim kemarau mengakibatkan gagal panen. Para pejabat berusaha mengirimkan bantuan makanan dan lainnya ke daerah-daerah terdampak.
Di Sragen, Jawa Tengah, lebih dari 3.000 orang di empat kecamatan menghadapi krisis air bersih dan harus bergantung pada pasokan dari badan penanggulangan bencana setempat, demikian dilaporkan media lokal. Badan penanggulangan bencana memperkirakan mereka yang terkena dampak akan meningkat seiring berlanjutnya musim kemarau.
Kelangkaan air juga dilaporkan terjadi di dua kabupaten lain di provinsi tersebut.
Sementara itu di Jakarta, Sungai Ciliwung yang sering banjir telah mengalami penyusutan permukaan air selama beberapa pekan terakhir.
Pekan lalu, di pintu air Katulampa, tinggi air sempat mencapai nol sentimeter — sesuatu yang langka. Itu artinya tidak ada air yang masuk dari anak-anak Sungai Ciliwung di daerah hulu yang berbukit-bukit. Tinggi rata-rata permukaan air di sini 50 cm, dan ketika banjir besar bisa mencapai hingga 200 cm.
Musim kemarau juga memengaruhi kualitas dan kuantitas air di daerah lain.
Seorang warga Jakarta, Nurbayati, mengatakan bahwa layanan air ledeng yang ia terima terputus-putus selama beberapa pekan terakhir.
"Airnya mengalir cuma di waktu-waktu tertentu saja. Mengalir beberapa jam saja terus berhenti lagi. Makanya banyak orang di lingkungan saya termasuk saya sendiri mulai beli tangki buat nyimpan airnya," ujar Nurbayati, menambahkan bahwa airnya pun kadang keruh dan berbau kaporit.

PEMERINTAH BERSIAP HADAPI KEMARAU PANJANG
Presiden Joko Widodo pada Senin (24/7) menginstruksikan pemerintah daerah dan badan-badan usaha milik negara untuk menyiapkan dana guna membantu mereka yang terdampak oleh kekeringan.
"Kita berharap kita bisa mendahului agar apabila nanti El Nino datang, masyarakat tidak kaget karena memang panasnya bisa mengganggu kesehatan. Yang kedua, pangan juga bisa terganggu," ujarnya kepada para wartawan di Jakarta.
Menurut Jokowi, pemerintah siap menyediakan bantuan pangan dan subsidi untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga akibat gagal panen.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menyatakan pemerintah juga perlu bersiap menghadapi berbagai dampak lain dari kemarau yang berkepanjangan.
"Pada musim kemarau, udara akan menjadi lebih kering dan banyak debu sehingga juga sangat rentan terhadap penyebaran penyakit," katanya dalam sebuah pernyataan.
Ardhasena mengimbau partisipasi masyarakat dalam mengurangi dampak kekeringan dengan menggunakan air seperlunya dan tidak terlalu sering melakukan kegiatan yang membutuhkan air dalam jumlah besar, seperti menyirami kebun atau mencuci mobil.

Deputi Bidang Pencegahan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Prasinta Dewi, mengatakan pihaknya telah mendorong pemerintah daerah untuk menyusun strategi mitigasi menghadapi dampak kekeringan.
"Setiap daerah harus membuat rencana kontinjensi berdasarkan sumber daya yang mereka miliki. Lalu mereka perlu mendata apa saja yang mereka perlukan jika terjadi bencana," ujar Prasinta dalam sebuah diskusi bulan lalu.Â
Menurutnya, beberapa provinsi sudah mulai memetakan daerah rawan kekeringan dan menyiapkan puluhan truk tangki guna mendistribusikan air dari sumber-sumber air tak terdampak ke berbagai wilayah yang membutuhkan.
Pemerintah Jawa Barat mengambil langkah lebih jauh dengan mengumumkan status darurat 24 Juli, sehingga provinsi ini dapat mengalokasikan dana dan sumber daya yang lebih besar untuk mengatasi kekeringan, sekaligus meminta bantuan dari pemerintah pusat.

Firdaus Ali, pakar teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan solusi jangka panjang yang lebih strategis untuk memitigasi kekeringan.
Menurutnya, negara sebesar Indonesia idealnya memiliki setidaknya 4.000 bendungan dan waduk untuk menampung air selama musim hujan serta mendistribusikannya di musim kemarau. Dengan populasi 270 juta jiwa, Indonesia saat ini baru memiliki 235 bendungan dan waduk.
"Kita perlu infrastruktur air yang masif untuk meningkatkan pasokan air bersih, mengendalikan banjir, dan sebagainya," ujar Ali dalam sebuah diskusi baru-baru ini. Ia menambahkan, proyek-proyek semacam ini membutuhkan investasi miliaran dolar.
"Kita masih jauh (dari ideal) dan pastinya ini tidak akan mudah."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai pengalaman mudik dengan motor yang melelahkan dan berbahaya.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.