Redupnya pesona observatorium tertua di Indonesia karena polusi cahaya pariwisata

LEMBANG, Indonesia: Sejak dibuka pada 1923, Observatorium Bosscha telah menjadi magnet bagi para astronom dari seluruh dunia yang ingin menguak misteri alam semesta.
Namun observatorium astronomi tertua di Indonesia itu mungkin sedang memasuki masa-masa senjanya.
Dari bangunannya yang berusia seabad, bintang dan benda langit lainnya semakin redup terlihat. Cahayanya berusaha keras bersaing dengan benderang lampu yang terpancar dari hotel, restoran, dan taman hiburan di sekitarnya. Perbukitan Lembang yang dahulunya sunyi, kini memang telah berubah menjadi daerah wisata yang sangat berkembang.
"Saat observatorium ini dibangun, Lembang dulu sedikit penduduknya. Dulu Lembang itu isinya perkebunan dan peternakan. Penduduknya ketika itu sedikit sekali. Tapi sekarang Lembang sudah ramai. Wilayah ini sudah menjadi destinasi pariwisata yang populer, dan akibatnya ada banyak cahaya," kata direktur Observatorium Bosscha Premana Premadi kepada CNA.
Polusi cahaya itu menyulitkan para astronom dalam melakukan penelitian ilmiah, kata Premana.

Pengamatan langit malam, kata dia, hanya bisa dilakukan setelah pukul 23.00, dengan catatan langitnya cerah. Itu pun, para peneliti hanya bisa mengamati bintang pada sudut lebih dari 30 derajat di atas cakrawala. Jika teleskopnya diarahkan lebih rendah, benda-benda langit tidak terlihat sama sekali akibat cahaya terang dari kota Bandung dan penginapan di sekitarnya.
Situasi ini sepertinya akan terus memburuk.
Dalam penelitiannya pada 2018, Hendra Agus Prastyo, mahasiswa pascasarjana Institut Teknologi Bandung menuliskan bahwa pada 2017 wilayah dengan radius 20km dari Observatorium Bosscha, dengan luas 195km persegi atau 15,5 persen dari total wilayahnya merupakan daerah berpolusi cahaya tinggi.
Hendra juga menulis, berdasarkan pencitraan satelit antara 2013 dan 2017, luas wilayah dengan polusi cahaya tinggi meningkat sebesar 13,7km persegi per tahunnya.
Daerah dengan polusi cahaya tinggi memiliki langit yang terang benderang, menyebabkan bintang-bintang terlihat redup atau bahkan tidak terlihat sama sekali.
Polusi cahaya yang terus meningkat ini membuat direktur Bosscha, Premana, menjadi khawatir.
"Ada observatorium di Tokyo, di Paris, yang sekarang sudah menjadi museum, tidak lagi menjalankan fungsinya," kata dia, seraya menambahkan bahwa komunitas peneliti di Indonesia berusaha semampunya agar Bosscha tidak mengalami nasib yang sama.
KONTRIBUSI BOSSCHA BAGI DUNIA ASTRONOMI
Ketika Bosscha dibangun pada 1920-an, lokasinya sangat ideal untuk pengamatan bintang. Observatorium ini terletak di puncak bukit pada ketinggian 1.300m di atas permukaan laut, dengan pandangan 360 derajat tanpa adanya penghalang apa pun.
Bosscha juga memiliki keunggulan tersendiri dibanding observatorium lain yang lebih canggih: Lokasinya dekat dengan khatulistiwa, memungkinan ilmuwan untuk meneliti belahan bumi utara dan selatan sekaligus.
Observatorium berusia seabad ini terletak di 6,8 derajat lintang selatan, lebih dekat ke khatulistiwa dibanding observatorium Mauna Kea di Hawaii (19,8 derajat lintang utara) atau observatorium Las Campanas di Chile (29 derajat lintang selatan). Observatorium di Hawaii dan Chile itu memiliki teleskop terbesar dan peralatan pengamatan bintang tercanggih di seluruh dunia.
Kedekatan Lembang dengan khatulistiwa adalah salah satu alasan mengapa Karel Albert Rudolf Bosscha memilih lokasi itu sebagai proyek filantropinya, yaitu membangun observatorium astronomi. Bosscha adalah pengusaha Belanda yang memiliki perkebunan teh di perbukitan sekitar lokasi tersebut.
"Pada awal 1900-an, terjadi gelombang terobosan ilmiah di Eropa, salah satunya Einstein dengan teori relativitas-nya," kata Premana.
"Semua teori itu memerlukan bukti. Dan Anda tidak bisa menemukan bukti dari teori tersebut di Bumi. Pembuktian teori itu memerlukan energi yang tinggi sekali, massa yang luar biasa besar dan waktu yang sangat panjang. Buktinya ada di luar sana, di alam semesta kita. Orang-orang lalu berlomba-lomba mengamati alam semesta, bintang, dan galaksi."

Ketika observatorium Bosscha dibuka pada Januari 1923, para ilmuwan dari Eropa berbondong-bondong datang untuk mempelajari dan merekam fenomena astronomi yang dengan jelas terlihat di Hindia Belanda, nama Indonesia ketika itu.
Premana - yang namanya diabadikan untuk sebuah asteroid - mengatakan 100 tahun sejak dibuka, Bosscha terus memberikan konstribusi yang penting bagi dunia astronomi dan fisika, walau tidak dilengkapi dengan peralatan-peralatan paling canggih.
Bosscha berperan dalam perjalanan mencari planet yang bisa ditinggali di luar sistem tata surya kita, yang dikenal dengan nama eksoplanet, dan juga berkontribusi dalam memperkaya pengetahuan kita soal evolusi bintang.
"Teleskop-teleskop besar seperti di Hawaii atau Chile sangat kompetitif. Orang-orang berebutan untuk memakai teleskop itu. Jadi mereka hanya bisa melakukan pengamatan dalam waktu singkat," kata dia.
"Untuk riset mendetail yang memerlukan beberapa kali observasi dalam waktu bertahun-tahun, perlu observatorium kecil seperti Bosscha. Di sini, mereka punya lebih banyak waktu. Mereka bisa menghabiskan bermalam-malam di Bosscha, sementara jika menggunakan teleskop besar hanya bisa beberapa jam saja."

DISKUSI YANG DINANTIKAN
Terletak hanya 8km di sebelah utara jantung kota terbesar keempat di Indonesia, Bandung, polusi cahaya selalu menjadi tantangan bagi para ilmuwan di Bosscha sepanjang 100 tahun sejarahnya.
Tapi masalah itu semakin bertambah ketika hotel, restoran, dan taman hiburan mulai bermunculan di Lembang pada 1980-an.
Berdasarkan data pemerintahan kabupaten Bandung Barat, tempat Lembang berada, saat ini ada sekitar 200 pusat pariwisata di wilayah tersebut. Setiap tahunnya, bertambah satu atau dua atraksi baru.
Observatorium Bosscha, dengan arsitektur bergaya kolonialnya yang masih dipertahankan, juga merupakan salah satu pusat wisata utama di Lembang.
Direktur Bosscha, Premana mengatakan pemerintah seharusnya memfasilitasi pembicaraan antara pihak observatorium dengan para pemain industri pariwisata di Lembang.
"Kami tidak ingin menegasi pembangunan kota. Tapi kita bisa mengatur desain, jenis, posisi, sampai ketinggian lampu-lampu tersebut. Gunakan sensor gerak, pasang tudung pada lampu jalanan, arahkan lampu ke bawah, hanya nyalakan jika dibutuhkan," kata Premana.
"Diskusi semacam ini adalah sesuatu yang kami nanti-nantikan. Ada caranya agar kedua pihak mendapatkan apa yang mereka inginkan."

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan pemerintahannya sedang merumuskan peraturan tata ruang untuk melindungi Bosscha.
"Kuncinya adalah keseimbangan. Ini memang sulit. Masyarakat berhak membangun, tapi tolong jangan berlebihan," kata Ridwan kepada CNA.
"Saya sudah menolak mengeluarkan lima izin untuk membangun apartemen karena akan berdampak pada ketersediaan air, rencana tata ruang, termasuk berpengaruh terhadap Bosscha... Kami akan melindungi (Bosscha) melalui perencanaan tata ruang."
SIASAT UNTUK TETAP RELEVAN
Dengan polusi cahaya yang memburuk di Lembang, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membangun observatorium lain yang terletak 1.800km jauhnya di provinsi Nusa Tenggara Timur yang sepi penduduk.
Observatorium Nasional Timau, yang dibuka Februari lalu, menjadi yang pertama dari banyak observatorium lainnya yang akan dikelola dan dioperasikan dari jarak jauh oleh para ilmuwan di Bosscha.
"Jika kami punya beberapa teleskop di banyak tempat, maka mereka bisa memproduksi hasil yang sama dengan satu teleskop raksasa. Ini soal mengumpulkan cahaya. Pengamatannya bisa bergantian. Bintang-bintang mungkin belum naik (di Bosscha) tapi di observatorium lainnya mereka sudah terlihat tinggi di langit," kata Premana, menambahkan bahwa timnya saat ini sedang mencari lokasi lainnya untuk observatorium ketiga.
Walau ada observatorium lain di wilayah dengan lingkungan yang lebih ideal, Premana mengatakan Bosscha yang sudah berusia seabad masih punya peran untuk dimainkan.
"Masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di Bosscha," kata dia. "Bosscha tidak akan dipindahkan. Sejarahnya panjang, pengalamannya juga panjang."

Premana berjanji akan terus mengedukasi masyarakat mengenai perlunya mengendalikan polusi cahaya, dengan harapan Bosscha dapat terus beroperasi sebagai observatorium.
"Di Jakarta, masyarakat sudah tidak bisa lagi melihat bintang. Menyaksikan bintang semakin menjadi sebuah kemewahan. Dalam hati, orang-orang menyadari bahwa memandang langit malam dan mengamati bintang adalah sesuatu yang menyenangkan dan juga menenangkan," kata dia.
"Kami berharap nostalgia, perasaan itu, kerinduan melihat bintang akan menjadi sebuah jawaban. Hubungan manusia dengan langit tidak bisa digantikan dengan apapun juga."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai teknologi pemenang penghargaan yang berhasil mendinginkan suhu ruangan di rumah-rumah Indonesia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.