Dari pemburu menjadi pelindung: Usaha penduduk setempat melestarikan hutan hujan kuno di selatan Thailand
Di hutan hujan selatan Thailand, penduduk setempat ada di garis terdepan dalam melindungi alam. CNA mengungkap penyebab perubahan sikap penduduk dan harapan mereka akan masa depan.

SURAT THANI, Thailand: Para jagawana bergerak dalam formasi yang rapi, selalu waspada saat berjalan menembus belantara tebal dan melintasi sungai sedalam pinggang. Hutan hujan itu riuh dengan suara burung-burung yang bersahutan, bersembunyi di rerimbunan pohon.
Jika dilihat dari jauh, kelompok jagawana ini bisa disangka tentara militer. Para lelaki itu - beberapa di antaranya sudah berpengalaman, sisanya anak-anak muda, termuda berusia 19 tahun - mengenakan seragam loreng, menggenggam senapan dan terlihat garang.
Kendati demikian, rekam jejak keberhasilan mereka dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa pekerjaan jagawana lebih kepada melacak gajah untuk dipantau, ketimbang mencari pemburu liar untuk ditangkap.
Para jagawana ini berasal dari unit perlindungan hutan Taman Nasional Khao Sok di provinsi Surat Thani, selatan Thailand. Misi patroli mereka bisa berlangsung hingga 14 hari dengan menjelajah jauh ke dalam hutan belantara.
Sebagian besar wilayah Khao Sok adalah hutan hujan yang masih perawan. Hutan ini lebat dan lembab, bagian dari sistem hutan hujan kuno yang lebih tua dari pada Amazon.
Daerah ini memiliki masa lalu yang kelam; pernah menjadi lokasi wabah mematikan, medan konflik gerilya dan banjir besar. Namun hari ini, Khao Sok menjadi mercusuar ekowisata dan contoh baik dari upaya perlindungan lingkungan yang sukses.

Hutan hujan merupakan ciri khas dari banyak wilayah di Asia Tenggara, mulai dari bentangan hijau yang luas di Kalimantan hingga Pegunungan Kapulaga yang berkabut di Kamboja. Wilayah-wilayah ini sangat penting untuk menanggulangi perubahan iklim.
Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi kerugian yang besar karena penggundulan hutan ilegal, pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren buruk tersebut mulai berbalik di banyak wilayah Asia Tenggara.Â
Di Thailand, negara di mana penggundulan hutan dan perburuan hewan liar sempat merajalela, masyarakat setempat menemukan lebih banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan melestarikan alam ketimbang merusaknya.
Perjalanan tim patroli Jagawana Khao Sok sering berhenti untuk mendokumentasikan apa yang mereka temukan. Temuan-temuan itu kebanyakan hal-hal remeh, seperti botol-botol plastik.
Tapi semuanya dicatat dan dipetakan. Bahkan hal-hal kecil seperti itu menjadi indikasi adanya aktivitas manusia yang perlu diawasi.

Para jagawana juga mencari sumber makanan hewan, seperti pohon buah-buahan, agar memahami lebih baik kehidupan satwa liar di wilayah tersebut.
Tim berhenti sejenak untuk memeriksa bekas cakaran di sebuah pohon yang tinggi. Menurut mereka, itu adalah tanda beruang yang sedang mencari madu. Temuan tersebut membuat mereka senang, karena menandakan alam sebagian besarnya belum tersentuh di wilayah ini.
Titik koordinatnya dicatat lalu tim jalan lagi, dipandu kapten mereka, Ponchai Yenchai.
Dia telah melakoni pekerjaan ini selama 20 tahun, tetapi keluarganya punya sejarah yang lebih panjang di hutan hujan ini.
"Awalnya, setiap keluarga di sini memiliki ayah yang pekerjaannya seperti pemburu liar. Mereka sebenarnya bukan pemburu liar, hanya untuk mencari makan," kata Ponchai.
"Tidak ada peraturan apapun atau taman nasional ketika itu. Jadi, adalah hal biasa jika mereka masuk hutan dan memburu hewan liar. Mereka tidak menjualnya, tapi melakukan itu untuk bertahan hidup."
"Saya mengikuti ayah saya sejak kecil. Kami berburu di banyak tempat. Saya belajar titik mana yang ada banyak hewannya, dan titik mana yang banyak hasil hutan, seperti pohon buah-buahan atau tanaman musiman yang bisa kami makan. Itu adalah pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi," kata dia.

Para pemburu liar sekarang menjadi pelindung di seantero Khao Sok. Penduduk desa setempat saat ini bekerja sebagai pemandu wisata, memimpin para turis asing menjelajah ke seluruh penjuru taman nasional.
"Ketika mantan pemburu liar melihat ada banyak turis datang, mereka beralih dari berburu satwa liar menjadi pemandu wisata dan operator perahu boat. Mereka juga membuka restoran dan toko-toko. Dengan begini, mereka bisa mendapatkan pemasukan langsung dan ini tidak ilegal," kata Terdthai Kwanthong, kepala Taman Nasional Khao Sok.
"Kondisi ini membuat masyarakat ikut membantu dalam konservasi alam. Kehidupan di sini jauh berbeda dibanding dulu. Mereka telah bergabung bersama kami dan bekerja sama dalam merawat hutan dan satwa liar."
"Inilah sebabnya mengapa insiden perambahan, perusakan sumber daya hutan dan perburuan satwa liar sekarang menjadi nol."

LUKA LAMA, PELUANG BARU
Khao Sok telah berubah. Bukan hanya penduduknya yang dulu tinggal dan bergantung pada hasil hutan, tetapi juga perubahan pada kondisi alamnya dalam skala yang masif.
Pada tahun 1980-an, proyek pembangunan bendungan hidroelektrik telah menenggelamkan 162 kilometer persegi lahan hutan. Dua tahun sebelumnya, wilayah itu dinyatakan sebagai taman nasional, yang berarti tidak diizinkan adanya penebangan dan pertambangan.
Dengan kondisi negara yang membutuhkan listrik, proyek bendungan menjadi prioritas. Penenggelaman menyebabkan penderitaan besar. Banyak hewan yang mati tenggelam dan semua warga desa di wilayah itu dipaksa pindah.
Karun Pengchan, sekarang berusia 78 tahun dan tinggal di pinggiran taman nasional, masih mengenang peristiwa itu dengan kesedihan yang mendalam.
"Anak-anak dan istri saya ketika itu tidak melakukan pekerjaan yang rumit - yang penting hasilnya cukup untuk makan," kata pensiunan guru ini.
"Suatu hari, para kepala sub-distrik mengatakan akan ada survei dan bendungan akan dibangun. Kami harus bersiap. Kami mungkin tidak bisa tinggal lagi di tempat ini."
"Kami masih tinggal di sana sampai rumor itu akhirnya menjadi nyata. Begitu mereka mulai menggali terowongan, warga desa baru yakin ini benar-benar serius."

"Kami kehilangan segalanya. Semua orang harus meninggalkan wilayah yang biasa mereka tinggali, ranjang yang biasa mereka tiduri, rumah yang biasa mereka tempati, apa kiranya perasaan mereka? Kami sampai tidak bisa berkata-kata."
"Istri saya dan saya masih ingat di mana rumah kami. Kami bisa menunjukkan lokasinya. Jika kami naik perahu dengan anak-anak atau cucu, kami bisa memberitahu mereka bahwa dulu rumah dan tanah kami ada di sini," kata dia.
Walaupun sebagian warga masih sedih jika mengenang hidup mereka sebelum adanya bendungan, namun saat ini Khao Sok justru menarik banyak turis asing yang ingin jalan-jalan di hutan atau menjelajahi kehidupan air dan pegunungan batu kapurnya yang menjulang dramatis.
Tempat ini telah dijuluki "Guilin-nya Thailand" karena mirip dengan lokasi wisata hutan batu gamping yang terkenal di China. masuknya aliran uang ke Khao Sok memicu perubahan perilaku masyarakat sekitar.
Dengan adanya ekowisata ini, penduduk lokal telah mendapatkan upah, kompensasi dan insentif. Kondisi ini, kata Regan Pairojmahakij, staf senior perencanaan program di RECOFIC, adalah strategi agar perlindungan alam dapat berjalan lebih baik lagi di Thailand.Â
RECOFIC adalah organisasi nirlaba yang membantu masyarakat untuk dapat secara aktif mengelola hutan di Asia dan Pasifik.

"Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit dan penuh kompromi. Dan ketika ingin membawa nenek Anda ke rumah sakit, dan anak-anak ke sekolah, itu perlu uang," kata dia.
"Sejak lama banyak warga asli dan penduduk setempat di dalam dan sekitar hutan menggantungkan hidup pada perekonomian yang tidak berbasis uang tunai. Mereka dalam posisi sulit ketika harus mencari dan mendapatkan uang tunai. Dan akhirnya mereka akan mencari uang di hutan."Â
"Jika kita bisa memberikan mereka sumber pemasukan lain, seperti bantuan atau pendanaan langsung tunai, saya kira ini penting agar mereka juga mendapatkan hak dasar yang sama dengan orang lain, yaitu untuk bisa merawat keluarga dan meningkatkan taraf hidup."
Dia mengatakan bahwa ekowisata bisa mewujudkan ini, dengan cara mendukung rantai pasokan lokal untuk produk-produk kehutanan serta merangkul peluang pasar baru dan berkembang yang mendukung pengurangan emisi karbon dan perlindungan keragaman hayati.
"Secara pribadi saya melihat harapan dan perubahan besar ketika kita mulai melihat pasar yang menawarkan keuntungan dan pengakuan terhadap kelompok masyarakat yang secara historis miskin dan termarjinalkan ini, atas peran vital yang mereka mainkan dalam melindungi sisa-sisa ekosistem yang menjadi sandaran kita sebagai masyarakat global untuk bertahan hidup," kata Pairojmahakij.

MENGHIDUPKAN KEMBALI HUTAN TUA
Thailand telah menapaki jalan yang benar dalam hal perlindungan hutan. Seperti beberapa negara ASEAN lainnya, angka penggundulan hutan menurun dalam beberapa tahun terakhir. Tingkat penurunan jumlah pepohonan di Thailand pada 2021 turun 38 persen dibanding 2017, berdasarkan data Global Forest Watch.
Thailand belakangan ini tergabung dalam koalisi internasional yang mendukung target global dalam melindungi atau melestarikan setidaknya 30 persen daratan dan lautan di Bumi pada akhir dekade ini.
Hutan tropis seperti di selatan Thailand sangat vital bagi penyerapan karbon untuk membantu menghilangkan emisi berbahaya penyebab pemanasan global. Fungsi ini menjadikan hutan sebagai bagian penting bagi upaya mitigasi perubahan iklim.
"Hutan-hutan (di selatan Thailand) adalah salah satu jenis hutan penyerap karbon tertinggi yang pernah ada. Hutan-hutan ini relatif lebih tangguh dalam menghadapi perubahan iklim, dibandingkan hutan gugur kering di utara negara ini yang lebih rentan kekeringan dan kebakaran," kata Pairojmahakij dari RECOFIC.
Ketika hutan ditebang atau dibakar, karbon yang tersimpan di pepohonan dan tanah akan dilepaskan ke udara, dan tidak ada lagi karbondioksida yang bisa diserap di masa mendatang.Â

Di provinsi Surat Thani, alih fungsi lahan yang mengubah hutan hujan primer menjadi konsesi ekonomi bisa disaksikan di mana-mana.
Karena mengambil sumber daya hutan menjadi ilegal, masyarakat setempat akhirnya mencari alternatif lain untuk mencari uang. Kebun kelapa sawit, karet, kopi dan nanas telah mendominasi lahan.
Meski kebanyakan perubahan fungsi lahan ini bersifat permanen, namun di sebuah wilayah kecil dekat Khao Sok, upaya pemulihan hutan tengah dilakukan.
Pondok Komunitas Anurak terletak di pinggiran taman nasional. Pondok itu memang dikelilingi hutan, namun sebagian besar wilayahnya berbeda, penuh dengan pohon kelapa sawit. Lahan ini memang dulunya adalah perkebunan sawit.
Pria yang pernah memiliki lahan ini adalah Nattawut Chuphet, 48 tahun. Dia menjualnya kepada pemilik saat ini, namun tetap bekerja di pondok itu sebagai pemandu penjelajahan hutan.

Dia juga memimpin salah satu program pelestarian alam Anurak untuk menanami kembali wilayah itu. Perlahan, kelapa sawit digantikan dengan tanaman asli hutan.
"Kami sudah merawat lahan ini sekitar 70 atau 80 tahun setelah generasi nenek moyang kami pindah ke sini. Mereka menanam rambutan dan kopi, tapi tidak terlalu menghasilkan. Jadi, mereka menggantinya dengan menanam kelapa sawit," kata Natthawut.
"Reforestasi telah dimulai. Dalam 10 tahun ke depan, akan terlihat seperti hutan di masa lalu. Banyak pohon yang telah ditanam."
"Di masa depan nanti, saya kira hasil alam akan berlimpah seperti masa lalu, dan semua orang akan mengerti pentingnya pelestarian alam demi generasi berikutnya. Dan jika kita bisa melestarikan lebih banyak alam, maka akan ada lebih banyak juga turis yang datang," kata dia.
Dampak pariwisata massal menjadi ancaman dari keseimbangan yang tengah diupayakan di Khao Sok.

Dengan adanya penduduk setempat yang mencintai alam demi masa depan mereka, maka ada harapan ekosistem hutan hujan yang berharga ini dapat terus lestari.
Jagawana Ponchai adalah salah satu dari mereka - yang bangga dengan perannya dalam menjaga tanah nenek moyang agar tetap aman.
"Ini adalah rumah saya. Jika kami merawatnya, orang-orang akan datang dan melihat hasil kerja kami, dan mereka akan mengembangkan daerah ini lebih baik lagi," kata dia.
"Jika kami tidak merawat rumah kami, maka kami tidak bisa berharap ada orang lain yang akan merawatnya bukan?"
Laporan tambahan oleh Ryn Jirenuwat.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai pengalaman mudik dengan motor yang melelahkan dan berbahaya.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.