Dengan panel surya dan hidroponik, Singapura tanamkan edukasi perubahan iklim kepada pelajar
Selain membangun infrastruktur ramah lingkungan di sekolah, Singapura juga mendorong siswa agar sadar lingkungan di aktivitas keseharian, salah satunya dengan menghabiskan makanan mereka demi mengurangi sampah.
SINGAPURA: Sekolah-sekolah di Singapura melakukan berbagai upaya ramah lingkungan demi mengurangi emisi karbon, sembari meningkatkan pendidikan mengenai masalah iklim kepada para siswa sejak usia dini.
Menurut Kementerian Pendidikan Singapura awal April lalu, ada lebih dari 180 sekolah yang telah bergabung dengan program SolarNova. Melalui program ini, sekolah-sekolah tersebut secara bertahap memasang panel-panel surya di atap-atap bangunan mereka.
Sudah lebih dari 40 sekolah yang telah menyelesaikan pemasangan panel surya, dua kali lipat lebih banyak dibanding pada 2021.
Kementerian Pendidikan Singapura mengatakan, sekolah-sekolah juga mengembangkan inisiatif itu dengan peningkatan infrastruktur lainnya, seperti penggunaan lampu LED dan kipas angin gantung di langit-langit kelas.
Selain proyek-proyek infrastruktur, sekolah juga mendorong para siswa agar lebih sadar lingkungan melalui berbagai aktivitas harian, seperti harus menghabiskan makanan untuk mengurangi sampah.
Para siswa juga dituntut memainkan peran aktif dalam merencanakan acara-acara seperti Hari Bumi, yang jatuh pada 22 April setiap tahunnya.
Seluruh kegiatan ini selaras dengan rencana Kementerian Pendidikan Singapura untuk memasukkan materi pelestarian lingkungan dalam kurikulum sekolah.
Kementerian Pendidikan Singapura memang telah menyediakan bahan-bahan pembelajarannya, namun sekolah juga dapat merancang sendiri program-program lingkungan sesuai dengan kebutuhan mereka.
PEMANFAATAN TENAGA SURYA
Sekolah Dasar Edgefield di Punggol memenuhi 40 persen kebutuhan energinya dari panel surya yang dipasang di atap.
Selain untuk lampu dan kipas angin di kelas, panel surya itu juga memberikan daya untuk pertanian hidroponik yang dirawat oleh 3 hingga 4 orang siswa.
Guru sains SD Edgefield, Debbie See, mengatakan: "Pendidikan tentang iklim dan kelestarian lingkungan telah berubah drastis dalam beberapa tahun terakhir. Kebutuhannya lebih mendesak sekarang, karena para siswa telah melihat dan merasakan sendiri dampak dari perubahan iklim."
Termasuk yang dirasakan para siswa adalah pola cuaca ekstrem dan naiknya permukaan air laut, kata See yang telah mengajar selama 20 tahun.
"Karena itulah, jelas sangat penting untuk melibatkan siswa dalam misi pelestarian dan membuat mereka berperan aktif dalam menjaga planet ini. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah penjaga planet ini di masa depan."
SD Edgefield juga mengajarkan kehidupan yang lestari melalui tindakan keseharian, seperti mengurangi sampah makanan dengan menghabiskan makanan mereka.
Siswa yang makanannya habis akan mendapatkan cap, yang nantinya bisa ditukar dengan stiker atau pin.
Siswa kelas 5 di SD Edgefield, Dash Chiang, mengatakan: "Saya ingin belajar membuat sesuatu yang bisa menjernihkan air, tapi bukan sekadar sistem filter. Sesuatu yang lebih canggih, sesuatu yang lebih efisien dan efektif."
MENGATASI MASALAH SAMPAH MAKANAN
Selain mengajarkan siswa mengenai pemanasan global dan masalah lingkungan seperti polusi dan penggundulan hutan melalui mata pelajaran sains, Kementerian Pendidikan Singapura tahun ini juga memberi perhatian khusus untuk keberlangsungan pangan.
Di SMP Bukit Batok, sisa-sisa makanan dikumpulkan dari kedai-kedai di kantin dan dimasukkan ke alat pengurai yang akan mengubahnya menjadi pupuk kompos atau nutrisi bagi taman sekolah.
Anita Chandrasagara, yang telah mengajar geografi selama lima tahun di sekolah tersebut, mengatakan para siswa merespons langkah itu "dengan sangat baik".
"Saya merasa mereka telah meningkatkan kesadaran soal masalah lingkungan, dan juga soal bagaimana konsumsi sumber daya berpengaruh terhadap lingkungan. Kami telah melihat peningkatan daur ulang di sekolah," kata dia.
Sekolah tersebut juga telah menunjuk para Pemimpin Hijau di antara para siswa untuk mengawasi dan merencanakan aktivitas sehari-hari, sekaligus untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan Hari Bumi.
"Saya ingin belajar lebih banyak tentang pelestarian lingkungan sebagai karier di masa depan," kata siswa kelas 4, Alicia Hua, salah satu Pemimpin Hijau di SMP Bukit Batok, sambil menambahkan bahwa perannya saat ini membuat dia tertarik bekerja di sektor lingkungan saat dewasa nanti.
Saat ini sekolah-sekolah tersebut tengah mencari cara berkolaborasi dengan mitra komunitas dan organisasi lingkungan, untuk memberikan ruang tumbuh bagi para siswa di bidang ini.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai rencana Malaysia mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memproduksi daging budidaya di lab.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.