Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu

Advertisement

Advertisement

Indonesia

Ditinggalkan ibunya dan menjadi tunawisma saat remaja, Zulayqha berhasil bangkit dan membantu sesama

Setelah ibunya meninggalkan mereka, Zulayqha Zulkifli harus menjadi figur ibu bagi ketiga saudaranya. Dia juga harus bersekolah dan bekerja demi menghidupi keluarga. Kepada CNA, Zulayqha menceritakan perjuangannya untuk bangkit dari keterpurukan dan menjadi penyemangat hidup bagi saudara-saudaranya.

Ditinggalkan ibunya dan menjadi tunawisma saat remaja, Zulayqha berhasil bangkit dan membantu sesama
Zulayqha Zulkifli, 29, telah menjadi figur ibu untuk kakak dan adik-adiknya sejak dia berusia 15 tahun. (Foto: Zulayqha Zulkifli)

SINGAPURA: Bagi Zulayqha Zulkifli, Hari Ibu memiliki makna yang berbeda. Ketika kebanyakan orang menghadiahi tanda kasih bagi ibu mereka, Hari Ibu bagi perempuan 29 tahun ini justru membuatnya terkenang pada ibu yang meninggalkannya saat dia masih remaja. 

Zulayqha dan ketiga saudaranya - kakak lelaki tertua Zulhaqem, adik perempuan Zulastri, dan adik bungsu lelaki Zulfeqar - tumbuh tanpa kasih sayang dan kehadiran sang ibu.

Kehidupan keempat bersaudara ini relatif stabil sampai tahun 2010 ketika orang tua mereka bercerai. Saat Zulayqha dan saudara-saudaranya mencoba ikhlas menghadapi perubahan pada kehidupan mereka, sang ibu mulai sering menghilang. Saat itu mereka masih duduk di bangku SMP.

"Hal yang paling menyakitkan bukan karena dia tidak ada, tapi karena kehadirannya tidak konsisten," kata Zulayqha.

"Akan lebih mudah bagi kami jika dia pergi saja sekalian. Dia ada di rumah selama beberapa hari, lalu hari berikutnya menghilang, dan kami tidak tahu dia pergi kemana."

Orang tua Zulayqha menjual rumah mereka setelah bercerai. Akibatnya, keempat anak itu dan ibunya tinggal berpindah-pindah di rumah kerabat, dimulai dari rumah bibi dari sisi ibunya.

Tinggal menumpang bukanlah situasi yang menyenangkan. 

"Ibu kami tidak pernah benar-benar ada di rumah, atau jika pun ada, dia akan mencari masalah dengan mendebat semua orang. Situasi itu sangat sulit dihadapi bibi kami dan anak-anaknya ... kondisinya saat itu penuh ketegangan," kata Zulayqha.

Kakak beradik itu tinggal kurang dari setahun dengan bibi mereka sebelum akhirnya diminta keluar.

Zulayqha dan saudaranya selama lima tahun berjuang mendapat tempat tinggal yang layak setelah orang tua mereka bercerai. (Foto: iStock/zhangdl)

Zulayqha dan saudaranya kemudian tinggal bersama sang ayah di rumah paman mereka. Namun kondisinya tidak juga kunjung membaik. Perselisihan dengan anggota keluarga lainnya membuat kakak beradik itu terpaksa keluar pada 2012 dan tinggal di lantai kosong sebuah apartemen dekat rumah paman mereka. Di tempat tersebut, mereka tidur dan tinggal selama beberapa tahun.

MENGGANTIKAN FIGUR IBU

Di saat ayah mereka bekerja keras sebagai tukang bersih-bersih untuk meringankan beban keluarga, Zulayqha bertanggung jawab menggantikan figur seorang ibu. 

Dia belajar cara mengatur keuangan dengan baik, agar mampu bertahan hidup sebisa mungkin dengan pendapatan ayahnya yang tak seberapa. Jika tidak sedang sekolah, dia bekerja sebagai kasir di 7-Eleven untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Walau sang ayah tinggal bersama mereka, namun secara emosional Zulayqha adalah sumber kenyamanan dan penyemangat bagi saudara-saudaranya.

"Sejak ibu saya pergi, ketika saudara-saudara saya sedang sedih, mereka akan mencari saya. Ketika mereka bertengkar, mereka minta saya menengahi," kata Zulayqha. "Saat itu, bahkan ketika tidak tahu harus berkata atau melakukan apa, saya menyadari bahwa kehadiran sayalah yang terpenting bagi mereka." 

Dia juga memastikan saudara-saudaranya bisa makan. Untungnya, tetangga di perumahan sekitar kadang memberikan makanan atau bermain dengan mereka di lantai kosong tempat Zulayqha tinggal.

Makanan-makanan tersebut adalah pemberian yang berharga, dan Zulayqha akan membaginya rata dengan saudara-saudaranya. Untuk mengisi perut, mereka juga bergantung pada mi instan yang dibawanya sepulang kerja.

Bagi Zulayqha, saudara-saudaranya selalu menjadi prioritas pertama. Dia rela memberikan jatah makannya agar saudara-saudaranya bisa cukup kenyang. Akibat kebiasaan makan yang buruk ini, Zulayqha mengalami sakit lambung menahun.

GIAT BELAJAR DEMI PUNYA RUMAH

Zulayqha dan saudaranya menemukan cara melupakan kesulitan hidupnya, yaitu dengan belajar dan saling peduli satu sama lain. (Foto: iStock/Shurong Lo)

Di masa-masa sulit tersebut, Zulayqha mengingat betul kata-kata ayahnya kepada mereka: Fokuslah pada sekolahmu.

"Ketika kami mulai tinggal di lantai kosong sekitar tahun 2012, saya sedang menempuh pendidikan di ITE (Institut Pendidikan Teknik)," kata Zulayqha. "Saya akan memastikan saudara-saudara saya sudah mengerjakan PR mereka dan kami selalu belajar bersama di atas meja batu."

Setelah menyelesaikan pendidikan pelayanan masyarakat dan bantuan sosial di ITE, dia mendapat kesempatan untuk menempuh studi pekerjaan sosial di Nanyang Polytechnic (NYP) pada 2014. Kendati demikian, kesibukan dan perjuangannya dalam merawat saudara-saudaranya tidak dia tinggalkan.

Saya merasa tidak memiliki kehidupan sendiri, tapi terpaksa harus menjalaninya demi keluarga.

Setiap paginya, Zulayqha harus mempersiapkan dirinya dan saudara-saudaranya untuk beraktivitas. Dia sekolah sampai sore, lalu malam harinya bekerja sebagai kasir. Setelah pekerjaannya selesai, dia kembali ke lantai kosong tempatnya tinggal untuk menyelesaikan PR atau belajar dan bercengkerama dengan saudaranya.

Zulayqha berusaha tidak terlalu memikirkan kesulitan hidupnya ketika itu. Prioritas utamanya, kata dia, adalah sekolah dengan baik dan memastikan saudara-saudaranya juga demikian. Dia menyalurkan seluruh energinya untuk bekerja keras demi masa depan mereka. Walau itu berarti tidak ada waktu lagi untuk hal lain baginya selain mengerjakan tugas sekolah.

"Jika diingat-ingat lagi, itu masa-masa yang gila," kata Zulayqha. "Sangat melelahkan dan menegangkan, dan saya merasa tidak punya kehidupan sendiri, tapi terpaksa harus saya jalani demi keluarga."

Kakak beradik itu memutuskan untuk menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain. Itulah mengapa tidak banyak orang mengetahui kesulitan yang mereka hadapi, termasuk guru-guru mereka sendiri. Barang-barang pribadi mereka disimpan di beberapa tempat, salah satunya di rumah paman mereka, dan menjalani hidup seadanya.

Upaya keras Zulayqha terbayarkan. Dia menerima berbagai penghargaan akademik di ITE dan NYP. Dari situ, dia berhasil membiayai pendidikannya dan mengangkat beban finansial keluarga.

Zulayqha saat wisuda di Nanyang Polytechnic. (Foto: Zulayqha Zulkifli) 

Kakak Zulayqha juga berprestasi di sekolah. Kedua anak tertua di keluarga ini mengumpulkan uang saku dan beasiswa dari sekolah, lalu membaginya menjadi empat agar mereka semua mendapatkan jatah yang sama rata.

Saat Zulayqha mulai menempuh diploma di NYP pada 2014, kehidupan mereka mulai membaik. Berkat skema Sewa Rumah Sementara yang digagas Dewan Pembangunan Perumahan Singapura, dia dan keluarganya bisa memiliki rumah sendiri, sebuah flat sewaan dengan empat kamar.

TULANG PUNGGUNG KELUARGA DAN MASYARAKAT

Keluarga Zulayqha (searah jarum jam dari kiri atas): Zulastri, ayah mereka Zulkifli Atnawi, Zulayqha, Zulhaqem, dan Zulfeqar, di rumah mereka. (Foto: Zulayqha Zulkifli)

"Kondisi sedikit membaik karena kami bukan lagi tunawisma, tapi hari-hari saya masih sangat sibuk," kata Zulayqha.

"Saya harus mengurus rumah, memastikan semua tagihan dibayar tepat waktu, pergi sekolah, memenuhi kebutuhan saudara-saudara, dan membantu ayah - banyak yang mesti diurus."

"Saya ingin selalu hadir untuk keluarga. Memang melelahkan, tapi mau bagaimana lagi? Ibu kami tidak ada. Jadi jika yang saya lakukan bisa meringankan beban ayah dan saudara-saudara saya, maka akan saya lakukan."

Pada 2019, Zulayqha menyelesaikan kuliahnya pada jurusan pekerjaan sosial di Universitas Ilmu Sosial Singapura. Didorong tekad kuat untuk membantu keluarga dengan masalah yang sama seperti dirinya, Zulayqha memutuskan menjadi pekerja sosial di Pusat Layanan Keluarga milik Yayasan Rotary Clubs Singapura.

Kehidupan saudara-saudaranya juga berjalan dengan baik. Kakaknya Zulhaqem, 31, menjadi analis di Kantor Perdana Menteri, Zulastri, 28, menjadi guru kesenian dan Zulfeqar, 27, adalah kepala koki pastri.

Zulayqha (kedua dari kiri) bersama saudara-saudaranya yang menjadi penyemangat hidupnya. (Foto: Zulayqha Zulkifli)  

"Kami adalah sebuah pengecualian. Tidak semua orang seberuntung keluarga kami dan selalu saja ada yang perlu ditingkatkan dari sistem kemasyarakatan," tambah Zulayqha.

"Saya tahu rasanya menjadi tunawisma dan tak punya harapan, terutama tanpa kasih sayang seorang ibu. saya tidak ingin hal itu terjadi kepada orang lain. Tetangga, yang tidak terlalu mengenal kami, telah membantu kami ketika kami membutuhkan. Jadi jika saya bisa membantu mereka yang membutuhkan dengan apapun, akan saya lakukan."

Pada 2020 ketika Singapura menerapkan pembatasan aktivitas karena pandemi COVID-19, Zulayqha mendapati banyak keluarga berpenghasilan rendah di daerahnya hidup sangat menderita. Dia dan Zulhaqem lalu memulai Project Hills, sebuah gerakan pengumpulan donasi dari masyarakat untuk keluarga yang memerlukan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Zulayqha dan seluruh keluarganya turun tangan langsung membagikan bantuan.

Saat ini, Project Hills telah menyokong kehidupan lebih dari 1.000 keluarga yang tinggal di perumahan sewa sekitaran Mei Ling Street, Stirling Road, Jalan Bukit Merah, Spooner Road dan Kim Tian Place.

Selain menyalurkan donasi, menyediakan makan siang dan makan malam setiap pekannya kepada keluarga di daerah miskin, Zulayqha dan timnya juga merasa perlu memahami masalah lebih mendalam. Mereka kemudian melakukan survei dan upaya penjangkauan masyarakat agar mengetahui lebih baik kondisi keluarga para penerima bantuan. Langkah ini membuat pekerjaan mereka lebih efektif dan tertarget.

Project Hills yang dicetus Zulayqha melakukan upaya penjangkauan ke masyarakat, melakukan berbagai program donasi dan mengelola ratusan relawan untuk menyokong kehidupan keluarga-keluarga yang memerlukan bantuan. (Foto: Zulayqha Zulkifli)

"Setiap ibu mendampingi pencapaian anaknya dan menyaksikan pertumbuhan di setiap tahap kehidupan mereka. Ibu adalah sumber kenyamanan dan keamanan bagi anak-anaknya," kata Zulayqha.

"Saya tidak pernah mendapatkan cinta dan kasih itu dari ibu saya, tapi saya mampu menjadi figur ibu bagi keluarga dan masyarakat. Saya bersyukur atas kesempatan tersebut."

"Saya masih mencoba pulih dari derita yang saya alami. Saya juga telah belajar bagaimana merawat diri sendiri dan orang lain," kata dia.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
  
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai suka duka menjadi ibu asuh bagi anak-anak yang membutuhkan di Singapura. 

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement