Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Ketika infertilitas lebih membebani istri, bagaimana pasutri bisa saling menguatkan

Perempuan sering kali memikul tanggung jawab dan rasa bersalah lebih besar ketika tak kunjung dianugerahi anak. CNA mengungkap bagaimana suami yang lebih terlibat dapat memudahkan langkah-langkah program kehamilan, terlepas dari hasilnya.

Ketika infertilitas lebih membebani istri, bagaimana pasutri bisa saling menguatkan
Ketika tak kunjung dapat momongan, sering kali perempuan yang merasa lebih bersalah. (Foto: iStock/PeopleImages)

SINGAPURA: Perempuan biasanya paling disoroti dan diharapkan paling berperan dalam menghadapi masalah infertilitas dan upaya memperoleh momongan. 

Terlepas dari apakah pihak laki-laki, perempuan, atau keduanya yang memiliki masalah, upaya mengatasinya cenderung dibebankan kepada istri. Di samping menanggung beban fisik dan emosional dari program kehamilan maupun teknik reproduksi berbantuan, istri sering menghadapi tekanan dan ekspektasi besar dari lingkar keluarga maupun pertemanan.

I Love Children, satu badan layanan sosial di Singapura yang fokus pada isu kesuburan, mengamati ketidakseimbangan ini pada laman Facebook serta pada program-program tatap muka mereka. 

Dari 18.000 pengikut Facebook I Love Children, sekitar 30 persennya laki-laki. Dalam kelompok dukungan kesuburan mereka, dari 1.500 anggota, 10 persennya adalah laki-laki. Akan tetapi, hampir semua komentar berasal dari perempuan, terutama mereka yang berharap untuk hamil atau pernah melalui pengalaman tersebut.

Bahkan ketika yang dikemukaan adalah masalah terkait laki-laki, misalnya soal sperma, justru perempuan yang lebih proaktif mencarikan jawaban.

Terkait infertilitas, perempuan cenderung proaktif mencari solusi dalam perjuangan pasutri untuk mendapatkan momongan. (Foto: iStock/Pornpak Khunatorn)

Chryssie Tang, manajer operasional I Love Children, mengatakan bahwa pada acara-acara tatap muka, seperti seminar kesehatan kesuburan hibrida mereka pada Maret lalu, biasanya lebih dari 70 persen pesertanya adalah perempuan. 

Menurut Tang dalam satu seminar tentang pemeriksaan kesuburan, beberapa wanita mengakui bahwa mereka lebih banyak berbicara daripada suami saat konsultasi medis, mulai dari memimpin percakapan dengan dokter hingga memberikan rincian tentang masalah pasutri.

MENGAPA TAK IMBANG

Dr. Liu Shuling, ahli kesuburan sekaligus konsultan senior di bagian kesehatan reproduksi di Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH), Singapura, memberikan penjelasan mengenai ketidakseimbangan tersebut. 

Ada alasan biologis yang tidak bisa dihindari, ujarnya. Perempuan bertanggung jawab mengandung bayi di dalam tubuh mereka, sehingga sering kali peran mereka lebih besar dalam program kehamilan. 

Akan tetapi, itu pula alasan kenapa mereka cenderung disalahkan dan dianggap bertanggung jawab ketika program kehamilan belum berhasil, menambah-nambah beban mereka. 

Di sisi lain, laki-laki terkadang menganggap tugas mereka hanyalah menyediakan sperma. Ini dapat membuat mereka merasa terpisah dari proses kehamilan, meski peran mereka justru sangat penting. 

Ketika beban terkait infertilitas yang ditanggung perempuan berlebihan, tekanan dan ketidakpastian dalam perjuangan pasutri memperoleh anak menjadi kian besar. (Foto: iStock/Filmstax)

"Bahkan meski (suami) suportif dan penuh kasih sayang, bisa jadi pria kadang merasa (kehamilan) itu sesuatu yang hanya perlu dialami secara menyeluruh oleh wanita, sementara mereka pengamat prosesnya saja," kata dr. Liu.

Cara laki-laki dan perempuan menghadapi masalah juga berbeda. Menurut dr. Liu, ketika stres dan kecemasan muncul, perempuan dapat mendiskusikan dan mencari solusi secara terbuka. Mereka pun lebih mudah untuk berbagi pendapat dengan orang lain.  

Sebaliknya, laki-laki lebih suka memikirkan masalah sendirian dan menghindari konfrontasi. Mereka cenderung mencari cara-cara alternatif untuk menghilangkan stres ketimbang langsung menghadapi sumbernya.

KETIKA KEDUANYA TAK SUBUR

Kini sama-sama berusia 33 tahun, Ivan dan Phoebe Lim menikah pada tahun 2018. Mereka lantas menunggu beberapa tahun sebelum memulai program kehamilan. Setelah mencoba lebih dari satu tahun, mereka pun menemui dokter spesialis kesuburan.  

Meski perjuangan tak mudah bagi keduanya, tantangan itu lebih berat bagi Phoebe.

Kata Phoebe: "Walaupun yang kami hadapi bukan cuma karena faktor perempuan, tapi kombinasi dari keduanya, saya merasa sayalah yang harus disalahkan."

Tiap kali mereka membuka diri kepada teman-teman tentang apa yang mereka hadapi, fokus percakapan seketika beralih ke Phoebe. "Mereka tanya ke saya, apa saya pernah begini begitu untuk meningkatkan atau mengurangi peluang untuk punya bayi – secara tidak langsung mereka meragukan tindakan-tindakan saya," ujarnya. "Walaupun saya yang mengandung, bukan berarti suami tidak melakukan apa-apa."

"Itulah pentingnya punya kesadaran yang lebih baik," kata Ivan. "Ketika saya lebih sadar tentang kesehatan dan masalah kami, saya melakukan yang saya bisa supaya peluang kehamilan lebih tinggi, misalnya memperbaiki pola makan dan olah raga. Bagaimanapun juga ini kan bayi kami, bukan bayi istri saya saja, jadi kami harus bisa kerja keras bersama."

Ivan mendukung istrinya dengan cara berada di sisinya selama program dan membereskan sebagian besar tugas yang mengharuskan keluar rumah. Tak merasa sendirian, tingkat stres Phoebe pun berkurang. Mereka menghadapi masalah infertilitas secara kompak.

"Saya jalani perawatan medisnya. Saya disuntik untuk fertilisasi in-vitro (IVF), dan sebagian besar pilnya saya yang harus minum," kata Phoebe. "Tapi suami ambil alih urusan rumah. Dia yang mengerjakan semua, mengurus rumah, dan dia bahkan ikut waktu saya bilang mau mengubah pola makan supaya peluang hamil lebih tinggi."

Pada tahun 2022, setelah siklus IVF ketiga, keluarga Lim menyambut bayi laki-laki mereka. Mereka mengelola halaman Instagram @ivfsingapore, membantu perempuan-perempuan lain yang sulit memperoleh momongan.

Collapse

AGAR SUAMI ISTRI SALING MENDUKUNG  

Senarai di bawah ini disusun berdasarkan rekomendasi dari dr. Liu Shuling serta pamflet tentang IVF dari bagian kerja sosial medis Rumah Sakit KK Singapura guna mendorong pasutri untuk saling mendukung hadapi isu infertilitas.

Suami yang lebih terlibat dapat memudahkan langkah-langkah program kehamilan, terlepas dari hasilnya. (Foto: iStock/nattrass)

1. Komunikasikan perasaan Anda kepada pasangan

Infertilitas dapat memunculkan berbagai emosi seperti kesedihan, frustrasi, rasa bersalah, bahkan amarah – dan wanita cenderung mengalaminya secara lebih intens.

Menurut dr. Liu, pasutri perlu mengekspresikan perasaan secara sehat, aktif mendengarkan satu sama lain tanpa menghakimi. Komunikasi terbuka tumbuhkan pemahaman, empati, dan rasa saling mendukung dalam hadapi tantangan.

2. Pelajari bagaimana pasangan hadapi stres

Naik turunnya emosi selama menjalani program kehamilan rentan membawa stres. Memahami cara pasangan mengatasinya akan sangat berguna bagi suami istri, kata dr. Liu.

Ada yang mudah membahas masalah, ada pula yang butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memahami berbagai perbedaan ini dapat membantu suami istri untuk saling menguatkan dan menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung.

3. Luangkan lebih banyak waktu berkualitas bersama

Masalah infertilitas bisa menyita perhatian. Penting bagi pasutri untuk meluangkan waktu bersama di luar urusan medis. Jalan-jalan malam secara rutin atau melakukan kegiatan yang dapat dinikmati berdua sangat disarankan oleh dr. Liu.

Kegiatan-kegiatan semacam ini dapat memperkuat ikatan emosional, hadirkan relaksasi, dan mengingatkan akan cinta dan kegembiraan yang Anda miliki tanpa perlu terus dibebani masalah kesuburan.

4. Tetapkan tujuan bersama sebagai keluarga

Mendiskusikan dan menyelaraskan tujuan-tujuan terkait pembinaan keluarga memungkinkan pasutri untuk kompak mengatasi masalah dengan lebih baik, kata dr. Liu. Ungkapkan keinginan Anda untuk memiliki anak biologis, adopsi, atau jalur alternatif lain. Cocokkan visi dan gapai tujuan bersama. 

Kesamaan visi membantu pasutri untuk saling mendukung dan mengambil keputusan sebagai satu kesatuan, sehingga meminimalkan potensi konflik atau salah paham.

5. Pentingnya jejaring dukungan

Masalah infertilitas jelas menantang, sehingga dukungan dari pihak lain yang pernah mengalaminya bisa sangat berguna. Menurut dr. Liu, para pasutri perlu bergabung dengan kelompok dukungan, menghadiri sesi konseling, atau menjalin komunikasi dengan para pasutri dengan situasi serupa. 

Dukungan eksternal hadirkan ruang aman untuk berbagi pengalaman, menggali wawasan, dan saling menyemangati bagi para pasutri yang perlu tahu bahwa mereka tak sendirian hadapi isu infertilitas.

INFERTILITAS PADA LAKI-LAKI

Audrey Woo, 39, dan Richard Dennis, 42, menikah pada tahun 2018. Mereka berjuang bertahun-tahun sebelum memutuskan untuk beralih ke upaya medis. 

Ternyata, yang tidak subur adalah pihak laki-laki – Dennis tidak dapat menghasilkan jumlah sperma yang cukup untuk membuahi.

"Saya hancur-lebur – secara emosional, fisik, mental," ujar Dennis. "Hasilnya membuat saya sangat sedih dan hubungan kami pun jadi renggang."

Akan tetapi, tiap kali pasangan ini menyampaikan kepada keluarga dan kawan-kawan bahwa mereka menjalani program kehamilan, lagi-lagi yang dianggap bermasalah adalah pihak perempuan.

"Orang-orang sekitar sering tanya keadaan saya," kata Woo. "Mereka tanya apa saya terlalu stres sampai susah hamil, apa saya makan ini itu, atau apakah yang saya lakukan sudah tepat untuk bisa punya bayi."

Kemungkinan infertilitas pada pihak laki-laki diabaikan. Menurut Dennis, tadinya mereka memang tidak terbuka soal itu. "Bebannya selalu pada istri dan perempuan, jadi kami tidak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa selain dokter kami, yang sekadar memberikan nasihat medis. Menyedihkan sekali," tambahnya.

Hal tersebut mendorong Dennis untuk mulai terbuka tentang isu infertilitasnya dengan lingkaran teman, keluarga, dan para pengikut di media sosial. 

Dia membuat akun Instagram @raisingdennis untuk berbagi kisah perjuangan, pengobatan, pertemuan-pertemuan dengan dokter, dan segala prosedur yang dijalani demi punya momongan. Lewat platform itu, banyak pria turut berbagi pengalaman pribadi seputar infertilitas.

"Saya ingin berbagi bahwa oke-oke saja bagi pria untuk membicarakannya dan bahwa hal itu memang terjadi pada sebagian dari kita," kata Dennis. "Kita harus bisa lebih saling mendukung."

Keterbukaan Dennis mengurangi tekanan dan stres pada istrinya, memperkuat ikatan dan memupuk rasa saling percaya di antara keduanya.

Pada tahun 2022, setelah melalui berbagai prosedur medis, pasangan ini berhasil menjalani program IVF dengan sperma dari donor. Tahun itu pula, mereka menyambut bayi perempuan.

Collapse

KOMPAK CARI CARA ATASI PROBLEMATIKA

Menurut dr. Liu, penting bagi laki-laki untuk membuang anggapan bahwa tugas mereka hanyalah membuahi, sebab peran suami sangat penting dari sisi medis, sosial, maupun emosional.

Agar dapat memecahkan masalah infertilitas bersama-sama, suami maupun istri harus berusaha memahami kecenderungan pasangannya dalam menghadapi stres. (Foto: iStock/Edwin Tan)

Ia mengatakan: "Setiap pasangan itu unik dan mungkin punya beragam perbedaan. Kuncinya adalah memahami apa saja perbedaan itu, apa yang dibutuhkan oleh pasangan agar yakin, dan bagaimana caranya menavigasi isu infertilitas sebagai satu tim di tengah perbedaan-perbedaan tersebut."

Dari pengamatan dr. Liu, ketika suami lebih berinisiatif dan siap hadir di semua sesi konsultasi di kliniknya, pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan saksama.

Ketika tantangan infertilitas dihadapi sebagai satu tim, pasutri cenderung lebih tenang dalam mengambil keputusan, meski stres dan kecemasan pasti tetap ada.

Ia menambahkan, suami yang tidak hadir, tidak acuh, atau tidak proaktif dalam konsultasi dapat mengulur-ulur program kehamilan, di samping membuat istri lebih stres dan bimbang, sehingga upaya memperoleh momongan menjadi lebih sulit secara keseluruhan.

Menurut dr. Liu, pengambilan keputusan yang efektif dan tepat waktu, dukungan emosional, serta pembagian tanggung jawab antara suami dan istri sangat penting demi program kehamilan yang lebih lancar dengan prospek yang lebih baik.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai dokter di Cianjur yang rela dibayar dengan sampah botol plastik demi membantu pasien yang kurang mampu.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement