Program deradikalisasi Singapura: Jalan panjang dua pemuda membersihkan diri dari paham ekstrem
"Mengetahui ada seseorang di luar sana yang peduli kepada saya benar-benar memainkan peranan besar," kata seorang mantan tahanan.

- Dua pemuda yang ditahan di bawah Undang-undang Keamanan Dalam Negeri Singapura (ISA) karena mendukung ISIS, mengisahkan proses rehabilitasi mereka kepada CNA.
- Mentor dan penasihat agama dari Kelompok Rehabilitasi Agama (Religious Rehabilitation Group - RRG) menjelaskan bagaimana mereka berhasil mendapatkan kepercayaan para pemuda ini dalam melakukan deradikalisasi.
- Pendidikan, menetapkan tujuan pribadi dan memperkuat hubungan keluarga adalah bagian dari proses deradikalisasi.
SINGAPURA: Hamzah masih SMP ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria - Negara Islam Irak dan Suriah) mulai muncul di pemberitaan. Didorong rasa penasaran terhadap gerombolan yang mengklaim berjuang atas nama agama itu, Hamzah mulai mencari tahu di internet, mempelajari lebih jauh tentang ISIS.
Rasa penasarannya luar biasa. Dalam waktu kurang dari setahun, Hamzah telah menonton lebih dari 500 video ceramah dai ekstremis dan pembunuhan sadis oleh para militan. Dalam sehari, dia bisa menonton hingga lima jam.
Pemuda ini berniat pergi ke Suriah dan bergabung dengan kelompok tersebut. Setelah meriset di mana keberadaan kamp militer ISIS dan rute menuju ke sana, Hamzah berencana membeli tiket pesawat ke Turki dengan uang dari beasiswa sekolahnya.
Dia kemudian ditangkap pada 2015 atas pelanggaran Undang-undang Keamanan Dalam Negeri Singapura (Internal Security Act - ISA).
"Saya bukan orang yang suka kekerasan. Tapi saya mencoba menonton sebanyak mungkin video pemancungan agar saya mati rasa."
"Saya merasa, adalah tugas (seorang Muslim) untuk bergabung dan berjuang bersama mereka, dan akan berdosa jika tidak menganggap mereka sebagai khilafah," kata Hamzah mengenai keyakinannya soal ISIS ketika itu.
Masyarakat mungkin menganggap ini adalah bentuk radikalisasi. Tapi bagi para pemuda seperti Hamzah, ini sebuah "perjalanan spiritual" dan pencarian atas sumbangsih apa yang bisa mereka berikan untuk agama, jelas ustaz Ahmad Saiful Rijal Hassan, relawan penasihat agama di Grup Rehabilitasi Agama (RRG) sejak 2011.
"Kita harus memahami bahwa pada awalnya niat mereka mulia, untuk tujuan yang mulia. Mereka punya niat yang murni, bukan ingin menyebarkan kekacauan atau menciptakan masalah," kata dia.
"Pada akhirnya ini soal keyakinan, ya kan? Jadi, mereka meyakini bahwa melakukan hal seperti ini akan menjadikan mereka Muslim yang sejati."
CNA berbincang dengan dua remaja yang pernah teradikalisasi - Hamzah dan Daniel - dan orang-orang yang terlibat dalam proses rehabilitasi mereka untuk memahami bagaimana mengubah pemikiran ekstrem. Nama kedua pemuda ini diganti demi melindungi identitas mereka.
Two young men who were detained under the Internal Security Act after becoming supporters of the Islamic State shared their rehabilitation journey with CNA. Tan Si Hui with more.
MENONTON VIDEO LAGI DAN LAGI
Hamzah mengaku apa yang telah dia lakukan bertentangan dengan sifat aslinya. Berulang kali dia menonton video pembunuhan sadis untuk membuat dirinya mati rasa ketika nanti harus melakukannya sendiri.
"Saya ingat menonton video itu lagi dan lagi, dan melihat orang-orang dibakar hidup-hidup ... dan di medan perang, menembaki orang-orang, saya memaksa diri sendiri untuk menyaksikannya agar mental saya siap."
"Saya sedikit merasa jijik karena tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Tapi saya tetap memaksakan diri."
Bagi Daniel, kesempatannya untuk berubah telah hilang ketika dia bersikeras mendukung ISIS kendati tengah diperiksa oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri Singapura (ISD) dan mendapatkan bimbingan rohani.
Pada 2017, Daniel yang ketika itu berusia 15 tahun diselidiki setelah merusak gambar Presiden Halimah Yacob dan menyerukan ISIS untuk memenggal kepalanya. Dia tetap menjadi pendukung kelompok militan itu dan akhirnya ditangkap pada 2020.
"Bahkan ketika diperiksa untuk pertama kalinya, saya meyakini itu adalah ujian bagi keimanan dan kesetiaan saya kepada ISIS," kata dia.
Ustaz Rijal kepada CNA mengatakan bahwa deradikalisasi adalah sebuah seni, bukan ilmu eksak yang bisa diukur kesuksesannya. Setiap kasusnya unik, dan tidak ada profil yang sama.
"Satu-satunya kesamaan yang bisa saya temukan adalah, mereka ingin melakukan sesuatu untuk agama. Mereka meyakini bahwa agama ingin agar mereka melakukan ini, dan ini adalah kewajiban mereka sebagai seorang Muslim," jelas Rijal.
Pekerjaannya - sebagai psikolog, mentor sekaligus pendamping dalam perjalanan rehabilitasi - adalah untuk mengeluarkan para individu radikal ini dari jurang kekerasan dan memandu langkah mereka menjauhi ekstremisme.
DUA JALAN YANG BERBEDA
Ketika Salim Mohamed Nasir pertama kali bertemu Hamzah di rumah tahanan ISD, dia mengalami perasaan yang tidak asing.
Pendidik berusia 62 tahun ini mengatakan, "Saya merasa terhubung dengannya, dia seperti anak saya ... hanya saja bedanya, anak saya mengambil jalan ini dan dia mengambil jalan yang lainnya ... Jadi bagi saya, memilih jalan yang benar sangat, sangat penting."
Salim telah menjadi sukarelawan di RRG sejak didirikan pada 2003. Ketika itu, sel teroris Jemaah Islamiyah (JI) ditemukan dan ditangkapi di Singapura.
RRG dan Kelompok Pascaperawatan Antar-Lembaga (Inter-Agency Aftercare Group), adalah kelompok relawan yang bermitra dengan ISD untuk membantu rehabilitasi dan reintegrasi mereka yang pernah ditahan atau mendapatkan perintah pembatasan.
Salim mengatakan, saat Hamzah teradikalisasi, tidak ada seorang pun yang menuntunnya ke jalan yang benar. Dengan karakternya yang ramah dan hangat, Salim mulai menjadi mentor Hamzah pada 2015.
"Mereka adalah orang-orang yang menyimpang karena merasa benar, tapi sebenarnya mereka salah," kata dia.
Hamzah mengatakan keluarganya "sangat disiplin" soal agama ketika dia tumbuh besar. Setiap hari sepulang sekolah dasar, dia menghadiri kelas agama selama tiga jam di madrasah, tapi berhenti saat dia masuk SMP.
Kepada CNA, ibunya mengatakan Hamzah dulu adalah anak yang penyayang dan ceria, selalu menjaga tiga adiknya dan disukai teman-teman di sekolah.
Tapi setelah terpapar paham ekstrem dan konten-konten kekerasan, Hamzah menjadi radikal.
Ibunya baru menyadarinya ketika Hamzah mengatakan ingin bergabung dengan ISIS di Suriah. Terkejut dan kecewa, dia mencoba mencegah dan meminta putranya untuk fokus belajar dan mencari pekerjaan, tapi nasihat itu dianggap angin lalu.
Hamzah mengaku awalnya ragu pada dalih pembunuhan dan kekerasan yang dilontarkan ISIS. Karena sejak kecil, dia tumbuh dengan pemahaman bahwa Islam menyuarakan kebenaran dan anti kekerasan.
Tapi ceramah dari dai-dai ekstremis telah mengubah pemahamannya tersebut, dan menumbuhkan perasaan simpatik terhadap militan ISIS. Mendengar mengenai Muslim yang dibunuh dan disiksa "juga telah memainkan emosi saya", kata Hamzah.
PROSES DERADIKALISASI DALAM TAHANAN
Hamzah ditahan pada 2015 saat sedang merencanakan pergi ke Suriah. Dia mengaku mengikuti program deradikalisasi dengan "pikiran terbuka", tapi Salim mengingat adanya kemarahan dalam diri remaja ini.
"Dia mengatakan 'kenapa saya ada di sini?' ... Dia bersikeras untuk tidak mau membuka diri. Jadi saya berusaha agar dia mau terbuka," kata Salim.
Di rumah tahanan, mereka bertemu seminggu sekali selama dua jam. Salim memperkirakan, butuh empat kali pertemuan sampai dia bisa menyelami pemikiran pemuda itu.
Salim dengan jelas menegaskan kepada Hamzah, bahwa dia bukan kawan, juga bukan aparat. "Saya ingin dilihat sebagai seseorang yang bisa didatangi jika mereka dalam masalah - untuk dimintai penjelasan, untuk dimintai saran," kata dia.
Demi mencairkan suasana, Salim biasanya muncul di awal sebagai guru, menawarkan bantuan dalam mengerjakan tugas sekolah. Seiring berjalannya waktu, hubungan itu berkembang hingga mencakup pembahasan mengenai emosi dan kehidupan sosial, pemikiran kritis, tujuan hidup dan hubungan dengan keluarga.
Tapi tidak semuanya berjalan dengan lancar.
"Ada kalanya kami berdua menyerah dan dia menunjukkan sikap tidak hormat. Dan saya katakan, jika kamu tidak sopan, kita hentikan di sini ... lalu terkadang saya langsung keluar ruangan. Tapi saya melakukan itu hanya sebagai taktik," kata Salim.
Setelah beberapa saat, Salim menemuinya kembali.
Program mentoring ini diawali dengan masukan dari pihak-pihak yang juga terlibat dalam rehabilitasi, seperti psikolog dan penasihat agama. Setelah berdiskusi dengan mereka, Salim merancang strateginya sendiri untuk sesi mentoring.
Sesi ini biasanya untuk membantu mereka memproses perasaan amarah dan penyesalan, dan agar mereka menggunakan masa penahanan sebagai momen introspeksi diri.
Dalam kasus Hamzah, strateginya adalah untuk "menyadarkan" pemuda ini, membuat dia mau sekolah lagi dan merancang target-target hidup pribadi. Salim awalnya terkejut dengan penolakan yang dia terima.
"Kamu sudah di sini, kamu tidak bisa mengendalikan keadaan - saya katakan itu kepada dia. Jadi apa yang bisa kamu kendalikan? Kamu hanya bisa mengendalikan dirimu," ujar Salim.
Hamzah mengatakan: "Dia (Salim) telah membantu saya di masa-masa sulit, terutama di dalam (tahanan). Dia membantu saya dalam mengembangkan keterampilan diri pribadi."
"Dan juga di masa itu, saya mengambil (pendidikan) O-Level ... mungkin itu adalah pertama kalinya saya serius belajar, karena sebelumnya saya mengabaikannya."
"Dia seperti figur ayah, karena dia memiliki anak seusia saya."

MENUJU PEMBEBASAN
Perintah penahanan di bawah ISA akan ditinjau oleh dewan penasihat dalam waktu tidak lebih dari 12 bulan. ISD mengatakan, mereka baru akan dibebaskan setelah dianggap bukan lagi ancaman bagi keamanan Singapura.
Perkembangan dalam proses deradikalisasi menjadi faktor dalam menilai apakah seorang tahanan layak dibebaskan atau tidak. Penilaian diberikan atas pertimbangan dari psikolog, petugas pendamping ISD, sipir rumah tahanan, dan penasihat agama RRG.
Kepada CNA, Ustaz Rijal mengatakan dia memiliki tiga faktor dalam memberikan penilaian: Sikap tahanan saat sesi konseling, pemahaman konsep beragama dan apa rencana mereka untuk masa depan.
Sesi konseling agama dilakukan sebulan sekali di rumah tahanan. Berdasarkan pengalaman Rijal, perlu komunikasi yang jujur dan terbuka untuk membangun hubungan baik. Ustaz berusia 37 tahun ini berkata, berkomunikasi sesuai usia mereka juga penting agar bisa cocok.
Dia memulai konseling dengan bertanya tentang video atau kutipan apa yang membuat mereka ingin menjadi pengikut pemimpin radikal. Rijal akan menyaksikan video itu sendiri, lalu menyampaikan apa yang menurutnya salah dan bertanya kepada tahanan mengapa dia menganggap tayangan itu dapat dibenarkan. Perbincangan ini juga meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang jihad dan hukum Syariah.
Dari sini mereka akan memiliki landasan yang sama untuk berdiskusi dan menjadi dasar bagi Rijal untuk meminta tahanan berkomentar dan melihat materi-materi yang dia berikan. Rijal juga memberikan mereka bahan bacaan untuk dipelajari di dalam sel.
Pencerahan dalam bentuk teks keagamaan sangat penting dalam proses ini. Rijal akan meminta tahanan menunjukkan dalil-dalil yang membenarkan pemahaman radikal mereka. Jika tidak bisa menunjukkan dalilnya dalam Al Quran, kata Rijal, ini menandakan bahwa mereka hanya "taklid buta", tidak memahaminya ideologinya.
Beberapa tahanan mendebatnya lebih sengit dibanding yang lain. Awalnya, mereka sangat sulit diyakinkan. "Tapi setelah saya memberikan mereka dalil yang banyak, mereka tidak bisa lagi mengelak."
Hamzah juga mengutarakan hal yang sama. "Jika mereka bisa memberikan saya dalil-dalilnya, maka saya bodoh jika mengabaikannya."
"Kami harus memperluas pemikiran mereka," kata Rijal. "Kami harus membuat mereka menyadarinya sendiri. Maksud saya, kami tidak bisa mengatakan 'kamu salah'.
"Ketika kami memberikan mereka teks bacaan alternatif, ketika kami memberikan mereka interpretasi yang berbeda, maka mereka akan paham ... Pandangan mereka sempit, mereka berada di dalam ruang gema, dan mereka terperosok lebih jauh ke dalam lubang karena hanya membaca dari satu sumber tertentu."
Setelah dibebaskan dari rumah tahanan, mereka akan mendapatkan perintah pembatasan. Menurut ISD, perintah pembatasan berisikan larangan bagi mereka untuk pindah alamat atau pekerjaan, atau bepergian ke luar negeri tanpa izin.
Mereka juga tidak diizinkan mengakses internet atau media sosial, mengeluarkan pernyataan publik, berbicara pada pertemuan publik, mencetak, menerbitkan atau berkontribusi pada publikasi apapun, atau menjadi anggota sebuah organisasi tanpa izin.
Jika aparat memutuskan perintah pembahasan bisa dicabut, maka individu itu harus terlebih dulu menjalani penilaian ketat seperti sebelumnya.Â
"Mereka yang dinilai telah mengalami perubahan drastis selama rehabilitasi dan mampu reintegrasi ke masyarakat sehingga bukan lagi ancaman bagi keamanan, maka perintah pembatasan akan dicabut," kata ISD.
KONSEP BERAGAMA
Ustaz Rijal mengatakan, jihad dan hukum Syariah adalah dua konsep beragama yang dibahas selama konseling terhadap para pemuda yang teradikalisasi.
"Mereka meyakini bahwa jihad berarti mengangkat senjata, karena itulah yang terjadi di masa perkembangan Islam," kata dia. "Kita harus memahami bahwa hal-hal khusus yang terjadi di waktu-waktu khusus memiliki alasan atau tujuan. Jadi tidak bisa dipahami di luar konteks itu."
"Kita harus kembali ke prinsip dasar dalam memahami jihad, yaitu perjuangan. Perjuangan melawan apa? Perjuangan melawan penindasan. Penindasan ini dapat muncul dalam bentuk sifat-sifat buruk," imbuh Rijal.
"Jika mereka susah bangun pagi untuk sekolah, itu adalah perjuangan pribadi mereka. Jadi itu juga bentuk dari jihad ... Jihad sebenarnya adalah mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik, dan jadi baik menjadi lebih baik lagi. Jadi mereka bisa terus meningkatkan kualitas hidup."
Kepada CNA, Daniel menceritakan bagaimana pandangannya soal jihad berubah dalam proses deradikalisasi: "Saya jadi mengerti bahwa jihad bukanlah soal kekerasan atau peperangan."
"Jihad adalah soal berjuang untuk melakukan hal-hal yang baik, bisa dalam bentuk memperbaiki diri sendiri, atau melakukan kebaikan kepada orang lain. Saya menyadari walau makna jihad terdengar sederhana, tapi tidak mudah menjadi orang yang lebih baik atau membuat perubahan positif."
Ustaz Rijal mengatakan bahwa ISIS telah "menjual" pemahaman yang salah "bahwa jika kamu tidak menegakkan hukum Syariah di sebuah negeri, maka kamu telah mengkhianati agama sendiri, kamu bukanlah Muslim sejati."
Menurut Rijal, Syariah sejatinya adalah sebuah cara hidup, bukannya memaksakan hukum kepada orang lain. Syariah adalah bagaimana seseorang "berperilaku sebagai Muslim", misalnya dengan tidak memakan makanan yang dilarang agama.
Tidak semua peserta rehabilitasi terbuka terhadap konseling keagamaan. Dari 57 warga Singapura anggota JI yang tertangkap, lima di antaranya masih dalam tahanan.
ISD mengatakan, empat orang dari mereka "masih tertancap kuat paham radikal yang penuh kekerasan, walau upaya keras telah dilakukan ISD dan semua pihak yang terlibat dalam rehabilitasi, termasuk penasihat agama dan psikolog."
"ISD akan terus mencari cara untuk meyakinkan mereka," ujar ISD lagi.
PENTINGNYA PERAN KELUARGA
Ustaz Rijal dan Salim memiliki kesamaan dalam melakukan pendekatan dalam konseling, yaitu menekankan pentingnya peran keluarga.
Salim mengatakan, memperkuat hubungan di dalam keluarga sangat penting karena keluarga adalah "lingkungan terdekat yang sangat berpengaruh" bagi orang yang teradikalisasi. Jika tahanan memiliki masalah dalam keluarga, Rijal akan memberikan nasihat keagamaan, seperti betapa Islam memandang penting bakti kepada orang tua.
Para tahanan boleh dikunjungi keluarga mereka sepekan sekali. Selama Hamzah menjalani masa tahanan, tidak pernah sekalipun keluarganya melewati jam berkunjung.
"Setelah menjalani penahanan, saya menyadari bahwa saya sedikit egois, karena seharusnya saya lebih menghargai mereka dan bersyukur karena mereka selalu ada untuk saya," kata dia.
"Sekarang, keluarga adalah segalanya buat saya, dan saya akan selalu ada untuk mereka, dan mereka akan selalu ada untuk saya."
Daniel menggambarkan hubungannya dengan orang tua sangat akrab sebelum dia ditahan. Orangtuanya berkunjung secara rutin dan terus memotivasi ketika dia ditahan.Â
"Saya menganggap mereka sebagai pahlawan. Saya sangat menghormati dan mengagumi mereka," kata dia.
Petugas pendamping dari Kelompok Pascaperawatan Antar-Lembaga ditugaskan untuk memberikan bantuan sosial dan finansial dari keluarga para tahanan.
Hal ini penting, karena jika tahanan tahu bahwa keluarganya diperhatikan, mereka bisa lebih fokus pada rehabilitasi, kata Zaleha Ahmad, petugas pendamping yang juga direktur Urusan Pernikahan di Asosiasi Profesional Muslim (AMP), sebuah organisasi nirlaba yang melayani masyarakat Muslim di Singapura.
Zaleha menjelaskan, bantuan bagi keluarga tahanan bisa berupa subsidi biaya pengasuhan anak, iuran sekolah atau les pelajaran tambahan, dan juga transportasi ke sekolah atau madrasah.
Dia juga melihat bagaimana para kerabat ikut turun tangan memenuhi kebutuhan keluarga tahanan, terutama jika ada anak kecil.
Kebanyakan tahanan yang tertangkap dalam operasi pemberantasan JI di Singapura adalah pencari nafkah tunggal bagi keluarga mereka, serta berprinsip "paternalistik" dan "sangat tradisional", kata Zaleha.
Beberapa dari istri mereka tidak pernah bekerja sebelumnya. Tapi setelah suami mereka ditahan, banyak dari perempuan ini kemudian menjalani pelatihan dan mendapat pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak, imbuh Zaleha.
MEMETIK HIKMAH
Daniel yang sekarang berusia 20-an telah bebas dari perintah pembatasan pada Januari tahun lalu. Saat ini dia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan sekolah. Cita-citanya adalah bekerja di sektor keuangan.
Ketika mengingat kembali soal dukungannya terhadap ISIS, dia merasa bodoh.
"Sekarang jika saya membicarakannya, saya merasa bodoh karena telah tertipu dan terbutakan oleh kata-kata ISIS," kata dia.
Setelah dua tahun dalam tahanan, Hamzah dibebaskan dan mendapat perintah pembatasan pada 2017. Dia masih bertemu dengan Salim sebulan atau tiga bulan sekali, dan juga berbincang melalui pesan teks.
Salim mengatakan, mereka akan menghadapi tantangan yang berbeda ketika menjalani masa perintah pembatasan. Ditahan selama dua tahun, Hamzah seperti "ikan yang keluar dari air" dan perlu belajar lagi bagaimana cara menjalin hubungan dengan orang lain, seperti kawan-kawan sekolahnya.
Untuk beberapa waktu, Hamzah sering terlambat datang ke sekolah. Ketika Salim menasihatinya, kebiasaan itu berubah.
"Jika dia berjanji, dia akan menepati janjinya. Itu hal yang saya suka dari dia," kata Salim.
Hamzah menjadi orang pertama di keluarganya yang lulus menjadi sarjana politeknik.
Kepada Hamzah, Salim berkata: "Lihat kan, kamu bisa, adik-adikmu akan meneladanimu, Kamu tahu kenapa? Karena kamu adalah contoh nyata bahwa seseorang bisa berubah, dan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan."
Pada 2021, perintah pembatasan Hamzah dicabut - berita ini membuat keluarganya menangis haru.
Ibunya bangga karena Hamzah telah menjadi lebih dewasa. Dia mengatakan: "Dia menjadi sangat hormat dan berjanji akan merawat saya. Dia memberi uang setiap bulan untuk pengeluaran saya. Saya tahu bahwa dia mencintai adik-adiknya."
"Hamzah berkata ingin mencari pekerjaan dengan gaji yang bagus di masa depan, agar dia bisa memberikan yang lebih baik bagi keluarga."
Hamzah sekarang bekerja di bidang pemasaran. Sambil tertawa, Salim mengatakan Hamzah masih berutang kepadanya secangkir kopi dari gaji pertamanya.
Jika mengingat tahun-tahun yang dijalaninya di tahanan, Hamzah mengatakan waktu seperti "terbuang sia-sia" dan dia menyesalinya.
"Tapi jika dipikir, sebenarnya ada hikmahnya. Saya bertemu orang-orang hebat. Dan saya bisa mengejar ketertinggalan saya, terutama dalam pendidikan," kata dia.
"Saya juga merasa telah menyia-nyiakan waktu saya, tapi di saat yang sama, saya mendapatkan sesuatu, dan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa dalam perjalanan itu. Saya bersyukur atas persahabatan yang terjalin dengan teman-teman dan kerabat."
"Saya tidak ingin kembali ke masa lalu."
Meski ada ketakutan dia bisa dikenali orang dan menghadapi stigma negatif, tapi Hamzah setuju diwawancara. Dia berharap, para pemuda yang membaca kisahnya tidak akan mengambil jalan menyimpang seperti yang hampir dilakukannya.
"Mereka pasti tidak ingin keluarga mereka kesusahan seperti ini, dan saya yakin mereka sendiri tidak ingin mengalami penderitaan ini," ujar dia.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini yang mengulas mengenai ekstremisme dan isu identitas di Indonesia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.