Petaka global itu bernama pornografi anak – bagaimana menanganinya?
Di dunia maya, pertukaran foto dan video pencabulan anak telah berpindah dari dark web ke platform populer seperti Telegram. CNA menelusuri upaya pihak berwenang di Singapura memburu orang-orang yang terlibat.

SINGAPURA: Tiap hari selama lima tahun, Wong Ket Kok punya rutinitas durjana: Mengunduh aneka foto dan video pencabulan anak – sebagian menampilkan bocah-bocah sebaya anak-anak kandungnya.
Ketika dibekuk, pada laptop dan beberapa hard disk-nya ditemukan 47.000-an fail yang menampilkan bocah-bocah dalam aksi maupun posisi mesum.
Dalam kasus menggemparkan lain, Boris Kunsevitsky, pedofil Australia yang mencabuli lima anak di Singapura, memproduksi sejumlah besar video dan foto yang memperlihatkan dirinya tengah melecehkan anak-anak secara seksual.
Para penyidik menemukan folder berjudul “Jailbait” di komputernya, berisi aneka video dan foto hubungan seks dirinya dengan anak-anak di rumahnya di Singapura.
Beberapa tahun belakangan, kasus-kasus serupa kian marak, secara global maupun lokal. Pada tahun 2020, Singapura memberlakukan undang-undang khusus untuk menggempur materi daring (online) yang mengandung pelecehan terhadap anak.
"Setiap klip atau gambar berisi materi pencabulan anak mewakili adanya seorang anak yang memang dinodai secara seksual," ujar Wakil Jaksa Penuntut Umum Chong Kee En, spesialis penuntutan kejahatan seksual.
"Tidak satu pun anak dalam klip semacam itu punya kemampuan untuk memberikan persetujuan secara sadar. Sebagian dicekoki obat-obatan atau bahkan disiksa.
"Bahkan para pelaku yang tidak terlibat dalam produksi materi semacam itu harus bertanggung jawab karena telah memicu permintaan produksi materi serupa, yang berujung pada insiden-insiden pelecehan seksual berikutnya, dan makin banyak anak terseret ke dalam lingkaran ini."
CNA menelusuri seluk-beluk “lokapasar” foto dan video pencabulan anak yang telah beralih dari dark web ke platform pertukaran pesan populer seperti Telegram, dan bagaimana pihak-pihak berwenang di Singapura menangani kekejian tersebut.
PENGUNGGAHAN REGULER, PEMIKATAN SEKSUAL
Salah satu cara memperoleh akses ke jaringan pencabulan anak adalah dengan memproduksi dan mengunggah konten baru secara reguler. Itulah "kriteria keanggotaan" mereka, ujar Thomas Muller, direktur pengembangan jaringan untuk ECPAT International.
Sebagai jaringan global, ECPAT terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang berupaya mengakhiri eksploitasi seksual atas anak.
"(Jejaring pencabulan anak itu) sangat spesifik (hasratnya). Misalnya, ada yang tidak suka materi yang menampilkan anak berusia lebih dari 15 tahun, ya semacam itulah," ujar Muller yang berbasis di Bangkok.
Kalau sampai tidak rutin mengunggah konten lucah anak, seseorang bisa dicurigai sebagai penegak hukum lalu didepak. Kemudian, kelompok serupa akan dibentuk kembali di tempat lain.
Ini fenomena global, dan para pelaku di Singapura terhubung dengan sesamanya di negara-negara lain melalui internet. "Tidak ada negara (maupun) wilayah yang aman," ujar Muller.
Sekarang para pelaku bahkan mungkin tak perlu lagi membuat konten sendiri. Menurut Muller, ada peningkatan jumlah foto dan video yang dihasilkan oleh anak-anak dan remaja. Para korban ini dipaksa atau diinstruksikan untuk merekam adegan lucah menggunakan kamera web atau ponsel.
Tahun lalu, gambar-gambar yang demikian muncul dalam empat perlima laporan pencabulan anak secara daring yang diterima oleh Internet Watch Foundation (Yayasan Pengawasan Internet) atau IWF, lembaga amal perlindungan anak di Inggris. Menurut laporan tahunan lembaga tersebut, terjadi peningkatan 9 persen dibandingkan tahun 2021.
Sebagian pelaku juga melakukan "pemikatan" (grooming), yakni membina hubungan dengan anak atau remaja sebelum mencabuli mereka atau meminta mereka mengirimkan materi lucah. Di Singapura, pemikatan seksual terhadap anak di bawah 16 tahun merupakan tindak pidana.
Meningkatnya popularitas platform gim daring seperti Discord atau Roblox – yang mengintegrasikan fitur grup obrolan ke dalam gim itu sendiri – tak ubahnya rabuk dengan api.
Muller berkata: "Saya kira sudah umum dalam (kehidupan) anak-anak sekarang untuk beranjak dewasa dan punya pengalaman seksual pertama, bukan secara langsung, tapi berkenalan, punya hubungan online, lalu mengirimkan beberapa gambar karena rasa percaya.
"Lantas kepercayaan itu disalahgunakan dan gambar-gambar itu pun bocor, dibagi-bagikan tanpa sepengetahuan mereka."
KECANDUAN
Sang jaksa penuntut, Chong, mengatakan bahwa banyak pelaku awalnya adalah penikmat pornografi dewasa dan tidak aktif mencari foto atau video pencabulan anak, namun mereka "menjadi tidak peka dan bahkan kecanduan" setelah terus-menerus melihatnya.
Mengunduh maupun menerima materi lucah anak yang tercampur dalam tumpukan materi pornografi dewasa termasuk pelanggaran hukum, namun sebagian orang tidak menyadari itu.
"Termasuk pelanggaran jika mereka tahu atau sepatutnya tahu bahwa yang mereka miliki merupakan materi pelecehan seksual terhadap anak. Ini berlaku meski mereka tidak aktif menonton klip-klip semacam itu dalam koleksi mereka," ujar Kee En.
"Tiap kali klip dipertukarkan, tercipta bahaya baru dan si anak kembali jadi korban, diobjektifikasi oleh begitu banyak penonton di seluruh dunia."
Unit kekerasan seksual di Singapore Prison Service (Layanan Penjara Singapura) atau SPS, bagian dari divisi rehabilitasi psikologis dan koreksional, menambahkan bahwa orang yang menonton materi pencabulan anak berpotensi berbuat lebih jauh, yakni melakukan “pelecehan seksual fisik”.
"Banyaknya waktu yang dihabiskan online untuk menonton atau mengumpulkan (foto dan video), serta ketergantungan akan berbagai materi tersebut untuk kepuasan seksual, meningkatkan potensi mereka untuk melakukan tindakan serupa," jelas SPS.
"Kemudahan akses yang disajikan internet juga memungkinkan pelaku untuk memperluas jaringan online-nya dengan individu-individu lain dengan hasrat serupa.
"Forum-forum ini memfasilitasi pertukaran pemikiran menyimpang mereka, menormalisasi perilaku online yang menyimpang serta hasrat seksual mereka terhadap anak. Dibarengi akses terhadap calon korban, meningkatlah kemungkinan mereka mengulang-ulang kejahatan seksual."
SPS menambahkan bahwa tidak semua pelaku yang melihat gambar atau video semacam itu akan melakukan "pelecehan seksual fisik" terhadap anak.
Menurut SPS, menonton materi pencabulan anak dapat memengaruhi penilaian seseorang atau mengubah sikapnya terkait kepatutan dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan sikap para pelaku yang terdistorsi dapat melanggengkan tindak tanduk yang demikian.
"Misalnya, sebagian orang dewasa bisa saja cari pembenaran bahwa keterlibatan mereka sebatas menonton materi pelecehan seksual terhadap anak, namun tidak melakukan kontak seksual sungguhan. Mereka mungkin juga beranggapan bahwa anak-anak itu sudah menyetujui secara legal perekaman dan distribusi gambar mereka.
"Selain itu, berulang-ulang menonton materi eksploitasi seksual atas anak dapat mengikis kemampuan menahan diri dari melakukan hubungan seksual yang melibatkan anak-anak.
"Keterlibatan dalam produksi atau distribusi berbagai materi tersebut dapat pula didorong oleh keuntungan finansial, selain karena kemungkinan memang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak."

ENKRIPSI – MASALAH YANG BERLIPAT GANDA
Mereka yang menggandrungi materi lucah anak biasanya masuk ke dark web, namun platform lain seperti program berbagi fail peer-to-peer (P2P) dan grup-grup obrolan terenkripsi di Telegram atau WhatsApp kian populer akhir-akhir ini.
Program berbagi fail P2P memungkinkan pengguna komputer untuk saling bertukar data tanpa melalui server pusat. Untuk mengunduh materi lucah anak, satu pelaku dari Singapura menggunakan eMule, yang telah ada selama dua dekade terakhir.
Pelaku lain seperti Ansari Abdul Amin juga menggunakan penyimpanan berbasis cloud dan layanan file hosting setelah mulai menonton pornografi di Telegram antara 2013 dan 2014. Di antara video yang ia tonton, ada yang melibatkan bayi serta anak-anak di bawah usia 11 tahun dengan orang dewasa.
Ansari, yang ditangkap polisi pada 2021, menghapus fail-fail video yang bisa diputar ulang dan menyimpan yang baru untuk dipertukarkan.
Maret lalu, seorang pria Sri Lanka ditahan di Singapura karena mendistribusikan video pencabulan anak di grup WhatsApp yang dia kelola. Menurut jaksa, video-video tersebut menggambarkan "jurang kekejian paling dalam".
Kasus-kasus di atas menunjukkan telah beralihnya pertukaran materi ilegal ke platform-platform populer – tantangan mengkhawatirkan bagi lembaga-lembaga penegak hukum.
Menurut Thomas Muller, perusahaan-perusahaan pemilik platform terenkripsi bertanggung jawab untuk menyusun aturan. Para penyedia media sosial pun, kata Muller, tidak secara proaktif mencari-cari materi semacam itu, mereka harus memastikan bahwa platform mereka tidak mendistribusikannya.
"WhatsApp, Facebook, TikTok punya standar mereka sendiri, dan yang lainnya ... Mereka pun kewalahan," tambahnya.
"Jadi yang betul-betul kita dorong sekarang, dan saya kira kita makin mendengar dari perusahaan-perusahaan itu bahwa mereka ingin melihat regulasi pemerintah, karena mereka kini menyadari keterkaitan mereka dengan segala sesuatu yang buruk di dunia. Pemerintah perlu tanggap dan mengatur regulasi platform agar aturan mainnya sama untuk semua."
MENELUSURI KASUS DEMI KASUS
Ketika kasus-kasus ini diketahui oleh otoritas, para penyidik dapat memanfaatkan basis data internasional dan berkolaborasi dengan pihak berwenang di berbagai yurisdiksi lain.
Singapore Police Force (Kepolisian Singapura) atau SPF menyatakan bahwa sejak 1 Januari 2020 – ketika undang-undang khusus mulai diberlakukan – mereka telah menyelidiki 96 kasus serupa.
Seorang juru bicara SPF menambahkan bahwa para anggota kepolisian dilatih dan "dibekali pengetahuan dan keterampilan" untuk menyelidiki kasus-kasus terkait materi lucah anak.
Pihak SPF tidak menjabarkan proses pelatihan tersebut, dan tidak pula menjelaskan pemicu operasi lima pekan berupa pembongkaran aktivitas eksploitasi seksual secara daring terhadap anak yang berujung pada ditangkapnya 23 pria.
"SPF melakukan operasi yang menargetkan kegiatan eksploitasi seksual online atas anak, termasuk kepemilikan dan distribusi materi pelecehan seksual terhadap anak, dan akan terus mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap kegiatan ilegal ini," juru bicara SPF menambahkan.
Menurut Thomas Muller, untuk menyusup ke dalam berbagai jaringan terenkripsi yang mempertukarkan materi lucah anak, para penegak hukum melakukan penggerebekan dan menyita peralatan seperti laptop dan ponsel, kemudian mengambil alih peran administratif di jaringan-jaringan tersebut guna mengidentifikasi lebih banyak pelaku.

Memanfaatkan pangkalan data International Child Sexual Exploitation (Eksploitasi Seksual Anak Internasional) atau ICSE milik Interpol, para petugas SPF dapat berbagi data dengan pihak-pihak penegak hukum luar negeri.
Menurut Uri Sadeh, koordinator Crimes Against Children Unit (Unit Kejahatan Terhadap Anak) di Interpol, pihaknya “sudah lama bekerja sama" dengan SPF untuk isu eksploitasi seksual secara daring atas anak, dan kerja sama tersebut diperkuat pada 2020 ketika SPF terhubung ke pangkalan data ICSE.
Sadeh menjelaskan kepada CNA bahwa penyidik khusus dari sekitar 68 negara menggunakan pangkalan data tersebut untuk menelusuri benang merah antara para korban, pelaku, dan lokasi dengan bantuan peranti lunak pembanding gambar dan video.
"Pangkalan data ini mencegah pengulangan proses dan menghemat waktu yang berharga dengan cara menunjukkan kepada penyidik apakah suatu rangkaian gambar sudah pernah ditemukan atau diidentifikasi di negara lain, atau apakah ada kesamaan antara gambar-gambar tersebut," jelasnya.
Hingga saat ini, petugas penegak hukum di seluruh dunia telah mengidentifikasi sekitar 34.000 korban dalam pangkalan data ICSE.
LIVESTREAMING KEJAHATAN SEKSUAL
Menurut Bindu Sharma, direktur pelaksana kawasan Asia-Pasifik untuk International Centre for Missing and Exploited Children (Pusat Internasional untuk Anak Hilang dan Dieksplotasi) atau ICMEC, para penyidik juga dapat melacak metode pembayaran yang digunakan pelaku.
Sebagai organisasi nonpemerintah internasional, ICMEC memiliki kantor di Singapura dan beberapa negara lain di Asia-Pasifik.
Sharma memimpin program Asia-Pacific Finance Coalition Against Child Sexual Exploitation (Koalisi Keuangan Asia Pasifik Melawan Eksploitasi Seksual atas Anak) yang diluncurkan pada 2009 untuk menggempur livestreaming (penyiaran langsung melalui internet), penjualan, dan penyebaran materi pencabulan anak.
Ia menjelaskan bahwa livestreaming nyaris tak meninggalkan jejak bukti setelah berakhir. Dalam kasus-kasus ini, para pelaku umumnya membayar untuk menonton siaran langsung saat korban dicabuli.
"Livestreaming sepenuhnya bersifat komersial,” ujar Sharma. “Akan tetapi bukti kuncinya ada pada pembayarannya. Nah di situlah industri keuangan berperan – mereka perlu tanggap dan berkata, ini bukti yang kami miliki.
“Namun perlu ada … kemauan dan kemampuan untuk bekerja erat dengan berbagai organisasi penegak hukum.”
Sayangnya, kehadiran sistem pembayaran terenkripsi, terutama mata uang kripto seperti Bitcoin, kian menyulitkan pelacakan pelaku oleh penegak hukum.
"SUNGGUH MEMILUKAN": JAKSA PENUNTUT
Setelah diidentifikasi dan ditangkap, para pelaku pun dihadapkan pada proses pengadilan. Namun sebelumnya, penyidik dan jaksa penuntut seperti Chong harus mengkaji bukti-bukti. Sebagian kasus melibatkan ribuan video.
"Banyak dari kami merasa mual melihat klip-klip semacam itu, karena melibatkan balita atau bayi yang menderita. Sungguh memilukan ketika kami bisa melihat atau mendengar anak-anak itu kalut atau kesakitan," ungkap Chong kepada CNA.
"Saya pribadi merasa paling terpukul ketika melihat ada anak yang berusaha menutupi wajahnya saat direkam, karena sedikit martabat yang tersisa itu pun direnggut dari mereka.
"Ada juga rasa tidak berdaya, karena anak-anak itu sepertinya berada di negara-negara yang jauh. Mereka mungkin tidak akan pernah diselamatkan, dan para pelaku kejahatan tak terperikan ini mungkin tidak akan pernah diadili."
Kepada rekan-rekannya, Chong menyarankan untuk sering-sering ambil jeda saat meninjau materi semacam itu, serta melakukannya di pagi hari agar foto dan video tersebut "tidak menjadi hal terakhir yang kami kerjakan sebelum pulang ke rumah.”
Pun demikian, ia menjelaskan bahwa tugas mereka adalah menjaga objektivitas dan ketidakberpihakan, seberapa pun beratnya kejahatan tersebut, dan mereka merasa puas ketika berhasil menuntut kasus-kasus itu.
Ditambahkannya, sejak undang-undang khusus berlaku di Singapura sejak 2020 , pelanggaran dibuat "berjenjang" pada tiap tingkatan.
Pelaku yang terlibat produksi materi lucah anak bisa dipenjara hingga 10 tahun. Mereka yang mengunduh, melakukan stream, mengakses, atau memiliki film demikian dapat dipenjara hingga lima tahun, selain kemungkinan hukum cambuk dan denda.
Mereka yang menyebarkan materi pencabulan anak dapat dipenjara hingga tujuh tahun, dicambuk, didenda, atau kombinasi ketiganya. Sebelum undang-undang khusus diberlakukan, para pelaku hanya dapat dikenai tuntutan penyebaran materi lucah secara umum, dengan hukuman penjara maksimal hanya tiga bulan dan/atau denda.
PROSES REHABILITASI
Setelah dijatuhi hukuman, sebagian pelaku akan menjalani masa tahanan sekaligus diikutkan dalam program rehabilitasi.
SPS menyebutkan bahwa pelaku akan menjalani asesmen psikologis untuk mengidentifikasi kemungkinan mengulangi kejahatan dan kebutuhan intervensi.
Intervensi psikologis bertujuan untuk membantu pelaku mengatasi masalah-masalah terkait hal-hal berikut:
- Hubungan interpersonal
- Regulasi diri, misalnya kesulitan mengendalikan impuls atau keinginan seksual tidak patut
- Sikap negatif yang memperparah perilaku seksual yang melanggar hukum
- Tanggung jawab dalam penggunaan internet dan perilaku daring bermasalah lainnya
- Pemanfaatan waktu luang
Setelah itu, para narapidana dibimbing untuk mengembangkan rencana manajemen risiko per individu. Ada pula kegiatan rehabilitasi lain seperti berkarya, konseling agama, dan aneka program berbasis keluarga.
Setelah bebas, mereka dapat dirujuk ke lembaga-lembaga terkait di masyarakat untuk mendapatkan konseling dan dukungan lanjutan jika dinilai perlu oleh psikolog.
Pelaku tindak kejahatan serius sesuai spesifikasi First Schedule of the Prisons Act (Jadwal Pertama Undang-Undang Penjara) Singapura – meliputi kejahatan yang melibatkan materi pencabulan anak – wajib menjalani pengawasan dan dukungan pascapenahanan, termasuk pembatasan jam malam dan pemantauan elektronik.
SPS mengatakan: "Dengan Mandatory Aftercare Scheme (Skema Wajib Pemantauan Pascapenahanan), perlindungan masyarakat ditingkatkan melalui pengawasan lebih ketat ... terhadap para pelaku kejahatan serius ini setelah bebas, serta peningkatan dukungan pascapenahanan seperti manajemen kasus untuk membantu reintegrasi dan mengurangi kemungkinan mereka mengulangi kejahatan."

Psikiater Christopher Cheok, mengatakan bahwa ia biasanya bertemu dengan pelaku lucah anak selama asesmen forensik, yakni proses ketika praktisi kesehatan mental mengevaluasi seorang tertuduh untuk memastikan keadaan mentalnya.
Selaku kepala departemen psikiatri forensik di Institute of Mental Health (Institut Kesehatan Jiwa) atau IMH di Singapura, dr. Cheok mengaku belum ada yang secara sukarela meminta bantuan karena kecanduan materi lucah anak di internet atau memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak.
Ia menambahkan, IMH dapat menawarkan perawatan bagi mereka yang merasa tertekan oleh kecenderungan pedofilia. Perawatan ini dapat menargetkan cara mengendalikan perilaku maupun dorongan untuk melihat materi lucah anak di internet.
Jika pasien mau, ada pula obat-obatan yang dapat menurunkan dorongan seksual mereka, tambah dr. Cheok.
PERKEMBANGAN PERATURAN
Meski lengan panjang hukum telah berhasil menangkap sebagian pelaku, legislasi perlu terus mengikuti tren global yang terus berkembang.
Amandemen penting terhadap Hukum Pidana Singapura disahkan di parlemen dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020, berikut undang-undang khusus yang membidik produksi, distribusi, iklan, dan kepemilikan materi pelecehan terhadap anak.
Sebelumnya, para pelaku hanya dapat dihukum atas pelanggaran-pelanggaran lain terkait film lucah, mencakup pornografi secara umum.
Sebelum amandemen disahkan, komite peninjauan mencatat bahwa berbagai undang-undang sebelumnya tidak dirancang untuk "menangani masalah serius" yang ditimbulkan internet terkait materi pelecehan seksual terhadap anak. Komite tersebut juga menyoroti masalah livestreaming.
"Meski tidak ada penetrasi seksual terhadap anak oleh pelaku dalam situasi seperti itu, kerusakan psikologis yang ditimbulkan sangat serius bagi anak-anak yang dieksploitasi untuk menjadi bagian dari aktivitas semacam itu," tulis komite tersebut dalam laporan tahun 2018.
Beberapa undang-undang baru yang membidik materi pencabulan anak juga bersifat ekstrateritorial. Misalnya, warga negara Singapura maupun penduduk tetap yang menggunakan anak untuk memproduksi materi pelecehan terhadap anak dapat diadili meski tindakannya dilakukan di luar negeri.
Menanggapi penyebaran konten ilegal di berbagai platform media sosial, pemerintah di seluruh dunia telah menyusun atau memberlakukan undang-undang keamanan daring.
Singapura tidak terkecuali. Rancangan Online Criminal Harms Act (Undang-Undang Kejahatan Daring) diperkirakan akan diperkenalkan di parlemen tahun ini. Jika disahkan, legislasi tersebut akan memberi pemerintah Singapura wewenang untuk menghentikan atau menghapus komunikasi daring yang membuka jalan bagi kejahatan di dunia nyata.
Beberapa bulan lalu, amandemen Undang-Undang Penyiaran Singapura telah disahkan di parlemen, memungkinkan Infocomm Media Development Authority (Otoritas Pengembangan Media Informasi dan Komunikasi) untuk menangani konten daring berbahaya yang dapat diakses oleh para pengguna di Singapura, di mana pun konten tersebut di-host atau dimulai.
Para advokat mengatakan bahwa meski upaya Singapura melawan materi lucah anak di internet dinilai memuaskan, dunia harus siap menghadapi berbagai perkembangan baru, terutama ketika makin banyak anak yang mengakses internet.
Menurut Bindu Sharma dari ICMEC, tantangan terbesarnya di awal adalah membuat pemerintah berbagai negara serta aneka perusahaan keuangan dan bank untuk menyadari gentingnya masalah ini.
"Makin lama, dengan makin banyaknya media yang menulis soal ini, sudah ada tinjauan-tinjauan hukum, semacam konsultasi publik yang memunculkan pemahaman," tambahnya.
"Kita harus mengakui bahwa manusia memiliki sisi gelap dalam banyak hal. Ini adalah isu yang sangat sensitif dan orang-orang tadinya tidak mau bicara soal ini."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini soal program deradikalisasi bagi para pemuda berpaham ekstrem di Singapura.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.